"Bukan, sayang. Itu bukan salahmu dan mama tidak merasa ditelantarkan. Kamu memang dibutuhkan diluar sana. Itulah panggilanmu. Kamu ingatkan ikrar kita berdua dulu? Tapi dunia mama juga sudah berbeda. Kita masih bertemu, kapan saja kau bisa. Mama selalu ada disana."
"Tapi apa kata orang nanti, mama? Mereka pikir aku anak durhaka!"
"Sejak kapan mama membesarkanmu untuk hidup menurut kata orang?"
Aku pun mengingatkannya peristiwa-peristiwa yang pernah kami alami bersama.
Ketika ia masih kecil dulu dan melihatku memunguti sampah plastik yang bertebaran. Tak lelah menggaungkan untuk membuang sampah ke tempatnya. Lalu suatu kali di halaman kami  bertebaran sampah plastik dan sampah lain-lain, yang datangnya entah darimana.
"Mengapa mereka membuangnya dihalaman kita ya, mama ?"
Tanyanya polos waktu itu, sembari melihatku membereskan semuanya. Aku tak punya jawabannya. Jawaban yang tepat yang membuat hati dan jiwanya tetap utuh.
Tapi dia menemukan sendiri jawabannya ketika kemudian saat remaja, dia menjadi pencetus gerakan anti bully di sekolahnya. Hania pun di bully, di teror di dunia nyata dan maya oleh mereka yang terlalu pengecut untuk berhadapan muka ataupun mencerna.
Dia tak lagi bertanya padaku, kenapa. Dia sudah tahu jawabannya. Iya, itulah hidup, Hania. Tidak semua orang suka meskipun kita mengajaknya untuk hal yang baik. Ada banyak alasannya, ego dan gaya hidup yang terganggu atau hal-hal yang lainnya.
Itu pula yang menginspirasinya menuliskan essay tentang jalan sunyi sang perintis. Essay yang  mengantarkannya mendapatkan beasiswa dan memulai langkah pertamanya melanglang buana mewujudkan cita-citanya sedari mula.
"Kalau sejak anak-anak mereka dididik dengan baik, tentu akan mudah dibiasakan melakukan hal yang baik pula," begitu kesimpulannya, yang mengantarkannya bekerja di lembaga dunia, mengentaskan anak-anak bukan hanya dari miskin secara raga, tapi juga membebaskan mereka dari miskin mencerna.