Lalu suatu kali ada pesan di ponselku.
Aku pulang, mama. Ada tawaran pekerjaan di Indonesia.
Aku gemetar membacanya.
Kamu yakin akan menerima tawaran pekerjaan di sini? Jangan melakukannya hanya karena mama dan papa, kalau ada tawaran pekerjaan yang lebih baik disana, ambil saja. Kamu khan sudah terbiasa disana.
Aku mengetik jawabannya. Jangan tanya rasa hatiku. Berat sekali kalau kau ingin tahu, tapi aku tak ingin memerangkap dunianya dalam duniaku. Tak adil baginya.
Tidak mama, ini pekerjaan yang aku impikan. Selain karena memang dekat dengan papa mama.
Kami menjemputnya di bandara dengan sukacita, memulai kembali rutinitas seperti dulu kala. Lalu Ayahnya pulang ke sorga, dan kamipun tinggal berdua saja.
Dia dengan pekerjaannya yang mengharuskannya sering melanglang buana, dan aku yang sibuk dengan publikasi buku baruku. Kami sibuk tapi tak pernah jeda bicara lewat segala media. Melewatkan hari-hari saat bisa bersama dengan berjalan-jalan dan menikmati suasana tenang di kedai kopi langganan atau sekedar duduk bermalas-malasan di sofa tua di teras belakang.
Suatu hari saat aku bersiap pergi ke sebuah stasiun radio yang mengundangku bicara, aku terpeleset, jatuh. Tulang panggulku retak. Dunia kami berbalik seketika. Duniaku, lebih tepatnya.
Sepulang dari rumah sakit, suster menemani hari-hariku. Hania masih harus sering melanglang buana karena pekerjaannya. Aku tak ingin menghambatnya dengan keluhku, tapi aku memang kesepian.
Aku tak bisa lagi menulis ataupun mengajar karena aku tak bisa lagi berlama-lama duduk. Fungsi tubuhku sudah berbeda. Kemandirianku sudah lenyap. Teman-temanku pun sudah banyak yang berpulang ke sorga atau yang masih hidup, kondisinya serupa tapi tak sama denganku, tak memungkinkan kami saling berkunjung lagi.
Lalu ada info tentang panti wreda yang bagus. Seorang teman tinggal di situ, dan ia bahagia. Ia mengajakku. Kesinilah, katanya, kita bisa berbincang panjang dan lama. Ada perawat terlatih yang menjaga dan mengurusi segalanya.
Pertama kali ku utarakan pada Hania, ia terlihat terpukul.
"Maafkan Hania, mama. Hania terlalu sibuk sampai mama merasa kesepian dan ditelantarkan," ungkapnya penuh sesal. Aku mengusap pipinya yang basah.