Dan sekarang, mengapa harus merisaukan apa kata orang?
Biarkan mama merajut hari penuh warna di panti wreda. Bernostalgia penuh tawa dengan yang seusia, melakukan hal-hal yang penuh sukacita saat dilakukan bersama, dengan segala keterbatasannya.
Kau harus menuntaskan cita-citamu yang mulia, supaya tak lagi sunyi jalan mereka yang berjuang untuk hidup yang baik dan sepantasnya, supaya tak patah pula semangat mereka yang kini sunyi jalannya.
Hania mengangguk. Memelukku begitu erat. Penuh was-was di kunjungan pertama, terlihat semakin bahagia di kunjungan-kunjungan berikutnya. Aku menggoda rona bahagia di wajahnya.
Karena mama bahagia, jawabnya merona.
Kami pun bertukar cerita. Cerita tentang pangeran tampan tak berkuda dan tentang anak-anak yang dibantunya menemukan harkat hidupnya dan ceritaku tentang tingkah mereka yang berusia senja disini yang tak henti mengundang tawa.
Aku menatap senja yang mulai menggelap, di ruangan seberang kudengar riuh tawa berdendang, mereka pasti sedang bercanda lagi. Teman-teman baruku di panti wreda, yang sudah kukenal seratus hari lamanya.
Suster wandira datang dan membawakan syal hangat yang dikalungkannya dengan lembut di leherku.
"Waktunya makan malam, oma. Besok ulang tahun, harus bugar," ujarnya dengan senyum ceria. Ia mendorong kursi rodaku ke ruang makan, dimana yang lain sudah menungguku disana.
Senjaku yang ke seratus disini, dan tak sedetikpun kusesali.
**Dear cantikku, ini untukmu.
Ingatkanlah mama jika suatu hari kelak mama terlupa.