Tidak untuk saat ini, entah. Kantuk itu hilang entah ke mana. Kurasa istriku juga merasakan hal yang sama. Kantuk yang sangat, kemudian hilang tiba-tiba.
"Sudah pukul lima lho, ayo salat Subuh bergantian. Doakan yang terbaik untuk Rafif!" kuraih pundak istri pelan, pintaku lirih.
"Ya... " jawabnya tidak bersemangat. Ia beranjak dari duduknya, memutar dan melangkah perlahan. Selepas punggung istriku menghilang di balik pintu, ku sandarkan badan ini -- yang sudah mulai terasa lemah, lelah, mengantuk datang lagi, dan pasrah -- di kursi samping tempat tidur Rafif.
Kulirik wajah anakku satu-satunya, sayu tanpa rona lucu yang kesehariannya aku lihat. Entah ke mana kini. Nafasnya masih memburu, tersengal-sengal, layaknya anak kecil yang kecapaian berlari-larian. Iba. Kasihan, pilu dan rasa tidak rela melihat wajah seperti ini. Ya Allah, dosa apakah anak saya ini? Semoga Tuhan memberi jawab lewat salat istriku.
Tak terasa air mata hangat mengalir di kedua pipiku. Duh, sudah tidak malu lagi menangis dalam kondisi seperti ini. Tak lama istri sudah muncul, cepat aku seka bekas air mata di pipi. Tak ingat kapan ia datang karena aku sibuk dengan lamunanku sendiri.
Aku bangun dari kursi, kupersilakan istri duduk. Bergantian.
-----&&&------
Pagak-Malang, 29-09-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H