Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Saat Anak Sakit"

14 November 2021   22:00 Diperbarui: 14 November 2021   22:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Yoyo Goyol ( @yoyo_setiawan_79)

Tiba-tiba telepon gawai yang kukantongi bergetar, ada panggilan masuk. Tak biasanya selarut ini ada yang menelepon. Dari Eko, rekan kerja beda tim yang rumahnya di depan rumahku.

"Yo, tolong pulang cepat ya, ini Rafif sekarang demam tinggi, cepat minta ijin bos!" terdengar suara Eko dari seberang. Pukul 03:05 dini hari, aku sedang masuk kerja malam di pabrik tissue, tempatku bekerja dua tahun terakhir. Secepatnya tanpa ba-bi-bu, aku temui pak Hadi, supervisorku, untuk meminta ijin pulang.

Karena kondisi darurat, pak Hadi menyetujui. Alhamdulillah, prosedur tidak berbelit seperti dugaanku. Kukendarai cepat sepeda motor tua Karisma buatan tahun 1994 ini, lebih cepat dari biasanya. Secepat mungkin agar aku bisa bertemu Rafif di rumah.

Sesampai di rumah, aku begitu kaget! Rumah terang benderang karena semua lampu dinyalakan, tapi kondisi sepi sunyi. Aku tengok kiri-kanan, sepi. Ya Allah, tadi Eko di telepon bilang Rafif sakit, sekarang rumah kok kosong? Ku ketuk-ketuk pintu -- asalamu alaikum---berkali-kali ku coba, nihil. Dasar pikiran sedang panik, tidak terpikir untuk menelepon. Ting, entah darimana setelah lima menit di depan pintu yang membeku karena dinginnya malam, aku baru teringat harus menelepon kembali Eko.

"Ko, Eko.  Asalamu alaikum, Rafif dan istriku, sekarang di mana ya?" kata-kataku lirih terbata-bata. Bingung, menunggu suara jawaban dari seberang sana.

"Eh iya, Yo. Tadi aku langsung bawa Rafif sama istrimu ke klinik Bakti Husada. Ini sekarang sedang di UGD. Maaf ya, tadi nelpon tidak memberitahu tempatnya, kamu buru-buru menutup teleponnya ", jelas Eko dari seberang dengan suara lantangnya.

"Ya sudah, terima kasih banyak Eko. Aku sekarang di depan rumah. Baiknya aku langsung susul saja ya" jawabku singkat. Bingung mau jawab apa lagi. Kututup telepon, telepon genggam kukantongi kembali dan bersiap naik sepeda motor meluncur ke tempat yang dimaksud Eko.

Secepatnya kembali ku kebut sepeda motor agar segera sampai di klinik Bakti Husada. Perlu waktu lima belas menit dengan lumayan ngebut, sampailah aku di sana. Kuparkir sepeda motor, bergegas menuju ruang UGD. Kulihat beberapa selang transparan memenuhi wajah & kepala Rafif. 

Kasihan, anakku dengan tubuh bongsornya. Matanya tertutup, muka sayu, nafasnya memburu, dadanya berdegup dua kali lebih cepat dari nafas normal. Yah, sakit asma mendadak datang menyerang.

Tapi ini penyakit penyerta, artinya ada penyakit utam sedang diobservasi sekarang, yang terjadi sebelumnya. Memang sewaktu aku berangkang kerja malam pukul 8 malam, tidak ada tanda-tanda pada diri Rafif. Semua tampak baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi di depan mataku sungguh berbeda.

Ya Allah, kenapa semua ini terjadi padaku dan keluargaku. Apa salah anakku, ya Allah? Batinku memberontak. Tapi bibirku kelu. Kepalaku berat. Kulihat pula istriku dengan wajah sayu, tampak bekas tangis di kedua pelupuk matanya, bengkak. Semakin bingung aku harus berbuat apa.

"Bagaimana Rafif sekarang?" kucoba pelah tanya istri, sengaja agar tidak tergoncang jiwanya. Perlahan ia menoleh, bibir keringnya tetap terdiam. Ia bangun dari posisi duduk pasrah di depan wajah Rafif, sayu sekali.

"Rafif terkena serangan demam tinggi, mas. Tadi pukul dua aku terbangun kaget, lihat Rafif menggigil, terus aku panik, bangun. Cepat aku cek dengan termometer, 40 derajat mas. Belum pernah sepanas itu kan mas?"

"Aku keluar rumah, teriak minta tolong sama mas Eko, pas datang ia lihat Rafif sudah kejang, cepat dia gendong ke rumahnya, terus minta persetujuanku untuk bawa Rafif ke sini, mas!" istriku menjelaskan serasa berbisik di dadaku, sangat takut Rafif terbangun. Kulihat matanya berkaca-kaca, sebentar lagi tumpah kesedihannya!

"Tenang ya, sayang. Percayalah Allah pasti melindungi anak kita, ayo berdoa agar Rafif diberi kesembuhan". Aku coba menenangkan istri, walau hatiku sendiri sudah teriris-iris melihat kondisi Rafif saat ini. Kuusap pelan rambut dan punggung istri agar lebih tenang. Perlahan nafas istri yang sesenggukan mereda. Sesaat kemudian, seorang perawat masuk ruangan.

"Keluarga anak Rafif, mohon maaf bisa salah satu ikut saya, dokter memerlukan keterangan Anda" kata perawat muda berkacamata yang masuk ruangan UGD ini.

"Iya mas, saya segera ke sana!" sahutku cepat. Ingin secepatnya agar Rafif ditangani dengan sebaik-baiknya.

"Ayo mas, kamu saja, tanyakan semuanya ke dokter ya, kenapa Rafif bisa seperti ini?" kata istri lirih sembari usap kedua matanya. Lesu. Pasrah.

"Ya, tenang sayang, pasti aku minta dokter menangani secepatnya" kataku meredam kegalauan istri.

Jarak beberapa meter dari ruangan Rafif terbaring ke ruangan dokter jaga serasa jauhnya ratusan meter, berat sekali langkah kakiku untuk segera sampai.

"Silakan duduk pak, keluarga anak Rafif, dengan bapak siapa ? Kenalkan saya dokter Ronal, dokter jaga UGD yang akan mengobservasi sakit anak bapak" kata dokter muda berkacamata tebal, mengulurkan tangan perkenalan kepadaku.

"Saya Yoyo Setiawan dok, ayahnya Rafif " jawabku singkat. Serasa berat sekali badan ini kusangga. Jadi cepat-cepat aku letakkan pantatku di kursi kosong depan dokter itu.

"Begini pak Yoyo, melihat tanda-tanda visual anak Anda diperkirakan terkena serangan virus, ini baru diagnosa awal. Kami dan seluruh dokter di sini akan selalu memonitor terus dengan melakukan tes laboratorium lengkap agar penanganan dan pengobatan yang tepat pula sehingga secepatnya anak bapak bisa pulih seperti sediakala!" jelas dokter ganteng di depanku. Aku cuma bisa mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti penjelasan dokter.

"Agar pelayanan terbaik dapat kami berikan, silakan pak Yoyo isi data di lembar isian ini !" Pria berkumis tipis itu menyodorkan beberapa lembar kertas formulir. Tanpa banyak bertanya, aku menurut saja. Ku isi seluruh pertanyaan, perlunya anak saya cepat ditangani dan cepat mendapatkan kesembuhan.

Aku benar-benar tidak bisa berpikit jernih, jangankan memahami kata-perkata, membacanya saja sangat tidak sempat. Saya pasrahkan pada Allah dengan berusaha percaya pada pelayanan rumah sakit bonafit di kota ini. Tanganku secepatnya menggoreskan pena, memenuhi baris-baris dan kolom-kolom kosong di beberapa lembar kertas di hadapanku. Pikiranku entah ke mana.

Batinku sedang sibuk memohon, meminta pertolongan kepada Tuhan agar Yang Maha Menyembuhkan, segera mengabulkan doaku. Entah berapa waktu yang aku habiskan untuk melengkapi berkas itu. Aku kaget begitu disapa perawat di sampingku yang tak kusadari ternyata sedari tadi memerhatikan.

"Bapak, maaf. Bapak tidak apa-apa?" tegur perawat itu.

"Oh ya, maaf. Aku melamun" sahutku malu dan bingung.

"Sudah selesai pak isiannya, silakan kembali ke ruangan. Terima kasih ya pak!" jelas perawat Irul, terbaca dari papan nama di dadanya.

"Ya pak, terima kasih kembali" jawabku singkat.

Cepat bergegas aku hampiri istri dan anak di ruangan dingin UGD.  Masih seperti tadi, Rafif belum ada perubahan masih bernafas selayaknya orang yang lelah berlarian. Kasihan ya Allah, sembuhkanlah anakku! Doaku lirih dan pasrah.

Kulihat istri duduk terdiam di depan wajah sang buah hati.. Ia terlihat sangat bingung. Nah kalau sudah seperti ini, aku juga ikut bingung! Apa yang harus aku lakukan? Baru kali ini, rasa kantukku terkalahkan melihat kondisi Rafif seperti ini. Tidak seperti biasanya, kalau pulang selepas kerja malam, pukul 5 pagi seperti ini harusnya cepat berbaring di kamar, obati kantuk semalaman.

Tidak untuk saat ini, entah. Kantuk itu hilang entah ke mana. Kurasa istriku juga merasakan hal yang sama. Kantuk yang sangat, kemudian hilang tiba-tiba.

"Sudah pukul lima lho, ayo salat Subuh bergantian. Doakan yang terbaik untuk Rafif!" kuraih pundak istri pelan, pintaku lirih.

"Ya... " jawabnya tidak bersemangat. Ia beranjak dari duduknya, memutar dan melangkah perlahan. Selepas punggung istriku menghilang di balik pintu, ku sandarkan badan ini -- yang sudah mulai terasa lemah, lelah, mengantuk datang lagi, dan pasrah -- di kursi samping tempat tidur Rafif.

Kulirik wajah anakku satu-satunya, sayu tanpa rona lucu yang kesehariannya aku lihat. Entah ke mana kini. Nafasnya masih memburu, tersengal-sengal, layaknya anak kecil yang kecapaian berlari-larian. Iba. Kasihan, pilu dan rasa tidak rela melihat wajah seperti ini. Ya Allah, dosa apakah anak saya ini? Semoga Tuhan memberi jawab lewat salat istriku.

Tak terasa air mata hangat mengalir di kedua pipiku. Duh, sudah tidak malu lagi menangis dalam kondisi seperti ini. Tak lama istri sudah muncul, cepat aku seka bekas air mata di pipi. Tak ingat kapan ia datang karena aku sibuk dengan lamunanku sendiri.

Aku bangun dari kursi, kupersilakan istri duduk. Bergantian.

-----&&&------

Pagak-Malang, 29-09-2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun