Mohon tunggu...
suryo hadi kusumo
suryo hadi kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan pejuang seni.

saya hanyalah seorang pencinta seni dan pengkahayal, yang memiliki pikiran abstrak, serta mengabdikan diri kepada sebuah seni.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Perbatasan

5 Januari 2024   20:00 Diperbarui: 5 Januari 2024   20:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kalau tiba masaku biar kupeluk hangat tubuhmu

Biar kuseka air matamu 

Biar kuperbaiki senyummu

Aku ingin melihat senyum itu lagi

Aku ingin mencium bau wangimu yang menghangatkan perasaanku

Karena aku ingat betul bau itu

Hanya kau seorang yang memiliki bau itu

Namun kau harus bersabar

Kau harus selalu berdoa juga

Ada yang lebih besar dari ini

Ada yang lebih mendesak dari ini

Dan yang lebih-lebih lagi yang berada didepan mataku saat ini

Aku hanya memiliki dua pilihan 

Dibunuh atau membunuh

Merdeka atau dijajah

Walau sebagai manusia ada kalanya aku merindukan hal-hal sederhana 

Namun tak disangka-sangka aku juga harus mewujudkan impianmu, impian orang tuamu, keluargamu, maupun rakyat kita

Bukankah tugasku sangat berat ....

Andaikata aku hanya seorang yang berkerja dibidang lain maka tak kan kutemui hal ini 

Kita bisa pergi kemanapun kita mau

Namun kemanpun kita pergi mereka selalu mengikuti

Kemanapun kita tidur mereka tidur lebih nyaman dari kita

Mereka lebih aman dan kuat

Dengan sokongan dari beberapa negara adidaya meruka seumpama gajah, dan kita hanya seekor srigala

Walau banyak namun tak semua bersatu padu

Namun lain kalau hal itu menyangkut perut, mereka berbondong-bondong datang

Ahh bodohnya

Padahal untuk melindungi wilayah kita butuh pengorbanan

Kita terlalu lama menyembunyikan taring dan kuku kita yang tajam

Apabila serigala-serigala bersatu padu melawan beberapa gajah pastilah ia ambruk juga

Singkat kata kita tiada akan merdeka apabila hanya memikirkan perut sendiri

Padahal kebutuhan perut akan terpenuhi kalau si gajah-gajah itu menghilang

Namun sepertinya kita memilih jalan yang sukar

Tak mau berpikir

Bertindak tak berdasarkan pikiran dan hati

Selalu saja berebut makanan

Selalu memperkeruh keadaan

Hal itu tentu saja membuat si gajah kegirangan

Kita tak lain hanya objek hiburan

Bertempur dengan sesama saudara

Meributkan masalah-masalah kecil

Tak suka apabila kawan lebih sukses dari kita

Sialan pemikiran macam apa itu

Tak sampai hati juga aku lihat berita-berita terkini

Seorang ibu dan anak dikoyak-koyak tiada ampun hanya perihal kesuksesannya

Seorang warga dibakar tanpa bukti 

Seorang warga dikeroyok masa

Seorang warga dihinakan karena tak mau disuruh mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya

Ahh sudah cukup ....

Sudah cukup ....

Melihat seorang ibu menarik gerobak sampah dengan anak balita di atasnya saja aku hampir-hampir tak tega

Tapi aku bisa apa ...

Hidupku juga tak bisa diandalkan

Kini aku ada di sebuah perbatasan

Kini aku melihat pagi dan malam bagai neraka

Kini aku harus mencurigai segala hal yang akan keluar dari dalam hutan itu

Bahkan kawan-kawanku harus kucurigai

Belum usai perang ini

Beramai-ramai pula media membuat masyarakat kita gaduh

Beramai-ramai pula sokongan dari negara sebelah memberi persenjataan

Mereka bisa makan dengan damai diatas sana 

Namun kami dan musuh kami ini dibuat babak belur

Dibuat berperang

Namun bisa apa aku?

Aku hanya seroang prajurit

Bukankah itu tugas para penduduk tahta sana

Kami hanya menyamankan duduk anda rupanya

Namun kami sesama bangsa harus berperang

Harus saling menyalahkan

Di sini diperbatasan ini

Hanya ada hidup atau mati

Esok masih bisakah kami merasakan matahari yang hangat?

Masih bisakah bercengkrama dengan keluarga?

Diperbatasan ini nama kami kadang dilupakan

Namun, tak apa

Bukankah seperti itu tugas seorang prajurit

Setidaknya jauh dibelakang garis pertahanan yang aman

Kau jaga perilakumu

Berbaik-baiklah dengan sesama manusia

Kita tak beda jauh dengan sesama kita sebagai bangsa

Kita hidup menumpang dari tumpah darah pendahulu-pendahulu kita

Setidaknya mengertilah

Setidaknya jangan egois

Bukankah kita diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama lain

Mengenal juga harus mengerti

Sebagai bangsa yang sudah berumur dewasa harus selalu memahami hal ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun