Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renjana di Punthuk Setumbu

7 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Punthuk Setumbu (sumber gambar : dokpri/dengan bantuan canva)

Aku tak pernah tahu, mengapa aku diberi nama Renjana. Aku harus tanya siapa? Aku ini ditinggal oleh orang tuaku dan ditinggal di depan rumah Ayahku, tepatnya Ayah angkatku. Apa alasannya? Apa salahku? Ibu angkat juga aku tak punya, Ayah bercerita, istrinya meninggal sepuluh bulan sebelum bertemu denganku. Ayah juga tidak memiliki anak dengan istrinya itu. Aku dan Ayah tinggal di sebuah desa di dekat wisata yang kurang begitu terkenal, makanya sepi, namanya Punthuk Setumbu, di daerah Magelang, Jawa Tengah.

Tiap hari Ayah membuat mainan anak untuk dijajakan di rumah, dititipkan di penjual mainan, kadang kalau musim liburan, kami menjual di Punthuk Setumbu, menikmati keindahan pesona dari alam yang jarang diketahui para wisatawan. Begitu dingin hingga kerap kali kami membawa baju hangat dan meminum minuman hangat sebagai teman kami. Aku paling suka dengan mainan si bebek, lucu soalnya, terbuat dari kayu. Seharusnya anak kecil menyukainya, tapi tidak juga.

Kadang aku kasihan sama Ayah kalau nggak dapat pemasukan, aku pun hanya bekerja di penginapan dekat wisata itu, jarang juga ada yang menginap. Aku pernah ditawari saudara kerja di Surabaya, tapi aku nggak mau ninggalin Ayah, sudah tua, sendiri. Tapi Ayah selalu memaksa agar aku mau, selain gaji lumayan, mungkin aku bisa bertemu orang tua kandungku, mungkin. 

Aku selalu bilang tidak ke Ayah dan ke saudaraku, hingga suatu ketika aku bertemu dengan lelaki asal Surabaya yang berkunjung ke Magelang dan menikmati Punthuk Setumbu. Ia nampak bingung karena sendirian dan sepertinya baru kali ini berkunjung.

Kuberanikan diri menyapanya, "Siang Mas, ada yang bisa dibantu? Seperti kebingungan, sendiri ya?" "Iya ni Mbak, saya sedang mencari sesuatu," katanya sembari merogoh kantongnya. "Cari apa Mas? Ada yang jatuh?" tanyaku. Ia mengangguk sambil melihat sekeliling. Raut mukanya tampak sedih saat mencari. Aku masih penasaran apa yang sedang dicari.

 "Mas, cari apa? Boleh ku bantu? Apakah benda berharga?" tanyaku sambil melihat kesana-kemari. Ia menjawab, "Iya Mbak, satu-satunya benda berharga yang ku punya entah kemana. Aku memfotonya, padahal jelas hanya itu, sebuah foto lama yang sudah agak kotor, mungkin tadi jatuhnya pas aku sedang mengambil uang di dompet."

"Maaf, foto siapa ya Mas?" tambahku seraya ingin tahu. Ia terdiam dan raut mukanya sedih. Ada yang salah ya dengan pertanyaanku? Aku meninggalkannya tanpa pamit karena aku merasa bersalah. Baru aku melangkah beberapa meter, Ia memanggilku, "Renjana?" 

Aku pun menoleh sambil bertanya, "Mas manggil saya?" Ia menggeleng sambil berkata, "Tidak, aku hanya berkata renjana karena aku sedang rindu, rindu bertemu seseorang. Sebentar lagi matahari akan terbit, pasti sungguhlah indah, sayang tempat sebagus ini masih sepi karena belum banyak yang tahu. Sayang juga di kala aku di tempat ini malah kehilangan sesuatu yang berharga."

"Saya pikir Mas manggil saya, nama saya Renjana," sambil kuulurkan tangan berharap menyambut tangannya untuk berkenalan. Ia pun mengambil tanganku dan memperkenalkan diri, "Seto, Renjana dan Seto. Begitu? Nggak usah pakai Mas, panggil Seto saja! Ehm, Renjana? Renjana yang ku maksud bukan ya?" "Kok Seto? Sini kan Setumbu, bukan Seto. Nanti jadi Renjana di Punthuk Seto. Oh iya, maksudnya Seto mencari Renjana? Tadi kok bilang Renjana yang dimkasud atau bukan?" tanyaku sambil menahan tawa.

"Kalau Renjana yang dicari Seto itu kamu, berarti betul," katanya padaku sambil tersenyum. Aku bertanya dalam hati, maksudnya apa ya? Baru sebentar kami menikmati indahnya mentari yang masih malu untuk muncul, tiba-tiba Ayahku menghampiri kami. "Indah bukan? Tak banyak yang tahu soal ini, sayang sekali. Tapi akhirnya Kau sudi ke sini, hanya untuk bertemu sosok di foto ini," kata Ayah sambil menunjukkan foto di tangan kanannya.

"Lho, itu kan foto saya yang tadi saya cari, kok. bisa di Paman?" tanya Seto dengan heran. "Paman menemukan foto ini di toilet bawah itu, dan pasti punyamu, karena tak ada wisatawan lain hari ini. Betul?" tanya Ayah sembari melihat ke arah Seto.

 Seto mengangguk sambil mengambil foto itu, "Terima kasih Paman, akhirnya ketemu selembar kertas berharga ini." "Kau telah menemukannya Nak," sahut Ayah sambil melirikku. "Maksud Paman, menemukan foto ini?" tanya Seto dengan sedikit keraguan. Ayahku menggeleng tanda tidak setuju lalu mendekatiku dan memegang pundakku, "Renjana ini yang Kau cari, bukan renjana di Punthuk Setumbu, tapi Renjana di hatiku."

Aku meneteskan air mata sambil memeluk Ayahku. "Jadi Paman sudah melihat foto itu dan nama di baliknya?" tanya Seto pada Ayah. Ayah mengangguk sambil melihatku, "Renjana, ini Seto, yang selama ini mencarimu, seperti tertulis di balik foto itu." Aku pun mengambil foto yang diberikan Seto padaku sambil membacanya dalam hati.

"Renjana Hapsari

Punthuk Setumbu, Magelang

Setelah bertemu dengannya, bawalah padaku!"

Aku bertanya dalam hati, "Ini maksudnya apa ya? Kenapa ada namaku dan ini adalah foto waktu saat aku masih balita, sama. seperti yang pernah Ayah tunjukkan padaku.

"Kamu bingung ya Na? Mari ke rumah Nak, kita ngobrol masalah ini!" pinta Ayah pada kami. Akhirnya kami sampai di rumah yang mungil namun penuh dengan kebahagiaan. Aku ke dapur untuk membuatkan segelas teh manis untuk Seto dan segelas kopi tanpa gula untuk Ayah. Ayah dari dulu tak suka kopi manis. Beda denganku, jika lebih suka kopi susu, dengan sedikit manis. 

Aku mendengar tawa bahagia dari teras rumah kami. Apakah gerangan sumber kebahagiaan itu? Aku sudah tak sabar ingin segera keluar melihat atau mendengar apa yang sedang terjadi. Tapi, sebelum aku keluar, aku tersenyum kecil, karena teringat Seto, yang sedari tadi membuatku bahagia.

Aku keluar membawa nampan berisi minuman hangat dan setoples keripik kentang buatanku. Aku memberikan toples itu sambil menawarkan pada Seto, "Seto, silahkan dicicipi, keripik itu buatan saya sendiri, yang biasa saya jual di area wisata. Kadang melayani pesanan juga." Seto mengambil satu genggam keripik dan memakan dengan lahapnya, "Empuk sekali, sangat mudah Eyang untuk mengunyahnya.

 Aku beli lima bungkus ada? Buat camilan selama perjalanan pulang dan buat oleh-oleh Eyang, pasti suka. Ini enak, gurih, nikmat pokoknya. Nikmat lagi kalau nyemilnya sambil memandangmu."

Aku menelan ludah lalu berkata, "Seto kok malah ngerayu? Tapi, makasih atas pujiannya kepada keripik saya. Saya siapkan dulu ya keripiknya." Saat aku melangkah beberapa meter, Seto menyusulku dan memegang bahuku." Aku tak merayu, aku berkata yang sesungguhnya. Aku yang bilang atau Paman yang bilang?" katanya sambil melirik Ayah. "Maksudnya?" tanyaku sambil melepaskan tangan Seto. "Kamu saja yang cerita!" pinta Ayah. Seto mengangguk tanda setuju. "Jana, ikut aku sebentar!" ajaknya sambil menarik tanganku.

"Kaulihat Punthuk Setumbu itu! Indah bukan? Tapi bagiku, lebih indah jika aku bisa bertemu denganmu Jana. Selama dua puluh lima tahun aku tak pernah tahu kalau aku ini punya adik kandung. Kamu itu aku kandungku Jana. Aku baru tahu sebulan lalu, saat aku melihat Papa bertemu dengan seorang laki-laki di atas kita yang mengaku bahwa Beliau telah membuangmu. Maksudku, mengambilmu lalu meninggalkanmu di rumah Paman. Beliau memberikan foto yang tadi kucari, sebagai bukti," ceritanya padaku. Jawabku, "Jadi, kita saudara kandung?" Mas Seto mengangguk.

"Maaf, aku seharusnya memanggil Mas Seto dari awal kita ketemu," kataku sambil memalingkan muka karena malu. "Tidak apa adikku. Kamu kan baru tahu sekarang. Paman juga minta agar aku yang memberi tahu, biar suasana semakin syahdu. Ehm, kamu nggak mau meluk Mas? Atau pengen Mas aja yang meluk?" tanya Mas Seto sambil menawarkan pelukan. Aku nggak pernah berpelukan sama laki-laki, kecuali Ayah. Aku bingung, gimana ya? Aku menunduk, tiba-tiba Mas Seto memelukku.

"Kamu lama jawab gitu aja Jana. Aduh. Ini kan Mas kandungmu, nggak usah malu!" katanya sambil memelukku erat sampai aku hampir nggak bisa nafas. "Meluk sih meluk Mas. Hati-hati! Sesak banget ini," kataku sambil menggerutu. "Hehe, maaf ya. Seneng banget ini," kata Mas Seto sambil memamerkan gigi putihnya. "Sudah pelukannya? Sakit ya Renjana?" tanya Ayah. Aku hanya tersenyum. "Paman, aku boleh membawa Jana ke rumah hari ini? Papa pasti sudah rindu," rayu Mas Seto.

"Sebentar Mas, aku kan belum tahu kenapa bisa sampai Punthuk Setumbu? Aku dibuang apa gimana ini?" tanyaku karena penasaran. "Bukan dibuang, hanya Papa tidak mau Jana dijahati orang lain. Mama dan Papa bercerai setelah Jana lahir. Rencana semula adalah Mas ikut Papa dan Jana ikut Mama. Waktu itu Papa tahu kalau Mama akan menikah lagi, karena ternyata sudah pacaran dengan pria lain saat masih dengan Papa. 

Papa tidak mau melihat Jana hidup serumah dengan Papa tiri, takut kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Papa sayang sekali sama Jana. Makanya dulu meninggalkan Jana di rumah Paman dengan sebuah surat. Beberapa waktu lalu asisten Papa mencari rumah Paman, baru setelah ngobrol dengan Paman, Mas ke sini jemput Jana. Papa kangen sama Jana. Mama sudah meninggal Jana, makanya Papa meminta Jana kembali, kita tinggal bertiga," cerita Mas Seto.

Aku melirik Ayah dengan wajah sedih. "Mas, aku nggak mau ninggalin Ayah. Beliau yang mengurusku dari kecil. Aku nggak mau Ayah sendiri, Beliau tak punya istri dan anak. Aku..." kataku tak sanggup menyelesaikannya. Aku masuk kamar sambil menangis. Aku sudah menganggap Ayah sebagai Ayah kandungku. Kalau aku harus meninggalkan Beliau, nasib Beliau gimana? Aku juga ingin bertemu Ayah kandungku. Aku bingung. Aku masih menangis dan enggan keluar kamar.

"Seto, sepertinya Renjana belum berkenan pulang ke rumah kalian. Tinggalkan saja! Seminggu lagi datang lagi ke sini ya! Coba ajak Papa! Biarkan Renjana berpikir dulu, siapa tahu berubah pikiran. Nanti Paman akan bicara baik-baik padanya," pinta Ayah. Mas Seto mengangguk, aku menguping pembicaraan mereka dari balik tirai pintu kamarku. 

Aku melihat Mas Seto berpamitan dengan Ayah sambil menoleh ke tirai pintu kamarku. Aku langsung menutup tirai itu, takut terlihat Mas Seto, tapi sepertinya Mas Seto tadi melihat. Aku masih meneteskan air mata, tapi sudah tidak sederas tadi.

Aku mengintip dari jendela kamarku. Aku melihat Mas Seto berjalan kaki cukup lambat, apakah karena lelah? Pasti. Lelah berkelana seharian atau lelah merayuku untuk pulang ke rumah mereka? Atau malah keduanya? Kasihan juga Mas Seto. Sia-sia Ia tak berhasil membawaku pulang. Papa pasti berharap esok aku sudah bisa memeluknya. Aku menunduk meratapi semua ini. Mas Seto pasti akan merindukan Punthuk Setumbu. Renjana di Punthuk Setumbu. Tepat sekali. Aku pun pasti juga akan merindukan Mas Seto.

Aku keluar kamar mencari Ayah sambil berlari. "Ayah, aku mengejar Mas Seto sebentar ya," sambil mencium tangan Ayah. "Hati-hati Renjana. Seharusnya Seto belum jauh, Ia tadi nampak lelah. Seharusnya Ia akan rehat sejenak. 

Bawa minum ini! Takutnya air minumnya habis," pesan Ayah sambil memberikan sebotol air minum padaku. Aku mengambil botol minum itu sambil berjalan agak cepat. Mengingat jalan yang ku lalui terjal. Tapi di saat aku sudah melalui jalan terjal, aku kadang berlari kecil agar bisa lebih cepat menemukan Mas Seto.

Aku sudah melewati jalan terjal dan datar, tapi tak ada tanda-tanda Mas Seto di depanku. Aduh, aku sangat khawatir. Jangan-jangan. Karena ada jurang di bawah sana. Aku takut. Oh tidak. Mas Seto. Aku sedikit lari, tapi aku terpeleset, jatuh. Minuman yang ku bawa masuk ke jurang. Tiba-tiba ada seseorang mengulurkan tangan padaku hendak memberi bantuan. 

Aku menerima tangannya tapi belum melihat wajahnya. "Renjana, ayo bangun sayang!" kata seseorang sambil menarikku. Aku menatap wajah itu, asing, siapa ya? Tahu namaku dan memanggilku sayang.

Aku berdiri dan masih berpikir. "Ini Papa. Papa sengaja menjemput kalian. Papa khawatir, Seto lama sekali, takut tersesat atau sakit atau hal buruk terjadi," begitu kata Papa yang penuh dengan perhatian. Eh, aku udah bisa nyebut Papa ya. "Papa seharusnya nggak ninggalin kamu di tempat ini Renjana. Papa salah, maafkan ya. Nama Renjana, itu Papa yang berikan sewaktu meninggalkanmu di sini. Karena Papa akan sangat merindukanmu. Seto juga," kata Papa sambil melirik Mas Seto.

Papa memelukku, dan Mas Seto juga. Entah kenapa aku bahagia bertemu mereka, hangat sekali pelukan mereka. "Aku maafkan Papa, tapi, aku nggak mau meninggalkan Ayah, yang sedari kecil merawat aku Pa. Kasihan," kataku sambil memandang Papa sambil meneteskan air mata. "Tenang Renjana, besok Ayahmu akan tinggal tak jauh dari rumah kita. Papa akan siapkan semuanya dan membuka warung kecil-kecilan, biar bisa berdagang mainan seperti sekarang. Gimana?" kata Papa sambil mengusap air mataku. Aku mengangguk.

Kami bertemu dengan Ayah, mencoba merayu, dan Ayah setuju. Kami tak akan berpisah, walau harus menempuh beberapa kilometer dari rumah kami. Ayah adalah Ayah pertamaku, sebelum aku mengenal Papa. Sebagai ucapan terima kasih, Papa memberikan apa yang Ayah butuhkan. "Ayah, terima kasih ya atas semuanya," kataku sambil memeluk Ayah. "Terima kasih telah merawat Renjana ya Mas," tutur Ayah yang tidak mau kalah. Akhirnya usaha Ayah dan aku laris, dan memiliki banyak pegawai, menjual mainan dan keripik tersebut sampai ke luar negeri, dibantu Papa dan juga Mas Seto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun