Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renjana di Punthuk Setumbu

7 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:36 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Punthuk Setumbu (sumber gambar : dokpri/dengan bantuan canva)

Aku menelan ludah lalu berkata, "Seto kok malah ngerayu? Tapi, makasih atas pujiannya kepada keripik saya. Saya siapkan dulu ya keripiknya." Saat aku melangkah beberapa meter, Seto menyusulku dan memegang bahuku." Aku tak merayu, aku berkata yang sesungguhnya. Aku yang bilang atau Paman yang bilang?" katanya sambil melirik Ayah. "Maksudnya?" tanyaku sambil melepaskan tangan Seto. "Kamu saja yang cerita!" pinta Ayah. Seto mengangguk tanda setuju. "Jana, ikut aku sebentar!" ajaknya sambil menarik tanganku.

"Kaulihat Punthuk Setumbu itu! Indah bukan? Tapi bagiku, lebih indah jika aku bisa bertemu denganmu Jana. Selama dua puluh lima tahun aku tak pernah tahu kalau aku ini punya adik kandung. Kamu itu aku kandungku Jana. Aku baru tahu sebulan lalu, saat aku melihat Papa bertemu dengan seorang laki-laki di atas kita yang mengaku bahwa Beliau telah membuangmu. Maksudku, mengambilmu lalu meninggalkanmu di rumah Paman. Beliau memberikan foto yang tadi kucari, sebagai bukti," ceritanya padaku. Jawabku, "Jadi, kita saudara kandung?" Mas Seto mengangguk.

"Maaf, aku seharusnya memanggil Mas Seto dari awal kita ketemu," kataku sambil memalingkan muka karena malu. "Tidak apa adikku. Kamu kan baru tahu sekarang. Paman juga minta agar aku yang memberi tahu, biar suasana semakin syahdu. Ehm, kamu nggak mau meluk Mas? Atau pengen Mas aja yang meluk?" tanya Mas Seto sambil menawarkan pelukan. Aku nggak pernah berpelukan sama laki-laki, kecuali Ayah. Aku bingung, gimana ya? Aku menunduk, tiba-tiba Mas Seto memelukku.

"Kamu lama jawab gitu aja Jana. Aduh. Ini kan Mas kandungmu, nggak usah malu!" katanya sambil memelukku erat sampai aku hampir nggak bisa nafas. "Meluk sih meluk Mas. Hati-hati! Sesak banget ini," kataku sambil menggerutu. "Hehe, maaf ya. Seneng banget ini," kata Mas Seto sambil memamerkan gigi putihnya. "Sudah pelukannya? Sakit ya Renjana?" tanya Ayah. Aku hanya tersenyum. "Paman, aku boleh membawa Jana ke rumah hari ini? Papa pasti sudah rindu," rayu Mas Seto.

"Sebentar Mas, aku kan belum tahu kenapa bisa sampai Punthuk Setumbu? Aku dibuang apa gimana ini?" tanyaku karena penasaran. "Bukan dibuang, hanya Papa tidak mau Jana dijahati orang lain. Mama dan Papa bercerai setelah Jana lahir. Rencana semula adalah Mas ikut Papa dan Jana ikut Mama. Waktu itu Papa tahu kalau Mama akan menikah lagi, karena ternyata sudah pacaran dengan pria lain saat masih dengan Papa. 

Papa tidak mau melihat Jana hidup serumah dengan Papa tiri, takut kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Papa sayang sekali sama Jana. Makanya dulu meninggalkan Jana di rumah Paman dengan sebuah surat. Beberapa waktu lalu asisten Papa mencari rumah Paman, baru setelah ngobrol dengan Paman, Mas ke sini jemput Jana. Papa kangen sama Jana. Mama sudah meninggal Jana, makanya Papa meminta Jana kembali, kita tinggal bertiga," cerita Mas Seto.

Aku melirik Ayah dengan wajah sedih. "Mas, aku nggak mau ninggalin Ayah. Beliau yang mengurusku dari kecil. Aku nggak mau Ayah sendiri, Beliau tak punya istri dan anak. Aku..." kataku tak sanggup menyelesaikannya. Aku masuk kamar sambil menangis. Aku sudah menganggap Ayah sebagai Ayah kandungku. Kalau aku harus meninggalkan Beliau, nasib Beliau gimana? Aku juga ingin bertemu Ayah kandungku. Aku bingung. Aku masih menangis dan enggan keluar kamar.

"Seto, sepertinya Renjana belum berkenan pulang ke rumah kalian. Tinggalkan saja! Seminggu lagi datang lagi ke sini ya! Coba ajak Papa! Biarkan Renjana berpikir dulu, siapa tahu berubah pikiran. Nanti Paman akan bicara baik-baik padanya," pinta Ayah. Mas Seto mengangguk, aku menguping pembicaraan mereka dari balik tirai pintu kamarku. 

Aku melihat Mas Seto berpamitan dengan Ayah sambil menoleh ke tirai pintu kamarku. Aku langsung menutup tirai itu, takut terlihat Mas Seto, tapi sepertinya Mas Seto tadi melihat. Aku masih meneteskan air mata, tapi sudah tidak sederas tadi.

Aku mengintip dari jendela kamarku. Aku melihat Mas Seto berjalan kaki cukup lambat, apakah karena lelah? Pasti. Lelah berkelana seharian atau lelah merayuku untuk pulang ke rumah mereka? Atau malah keduanya? Kasihan juga Mas Seto. Sia-sia Ia tak berhasil membawaku pulang. Papa pasti berharap esok aku sudah bisa memeluknya. Aku menunduk meratapi semua ini. Mas Seto pasti akan merindukan Punthuk Setumbu. Renjana di Punthuk Setumbu. Tepat sekali. Aku pun pasti juga akan merindukan Mas Seto.

Aku keluar kamar mencari Ayah sambil berlari. "Ayah, aku mengejar Mas Seto sebentar ya," sambil mencium tangan Ayah. "Hati-hati Renjana. Seharusnya Seto belum jauh, Ia tadi nampak lelah. Seharusnya Ia akan rehat sejenak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun