Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renjana di Punthuk Setumbu

7 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:36 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Punthuk Setumbu (sumber gambar : dokpri/dengan bantuan canva)

Bawa minum ini! Takutnya air minumnya habis," pesan Ayah sambil memberikan sebotol air minum padaku. Aku mengambil botol minum itu sambil berjalan agak cepat. Mengingat jalan yang ku lalui terjal. Tapi di saat aku sudah melalui jalan terjal, aku kadang berlari kecil agar bisa lebih cepat menemukan Mas Seto.

Aku sudah melewati jalan terjal dan datar, tapi tak ada tanda-tanda Mas Seto di depanku. Aduh, aku sangat khawatir. Jangan-jangan. Karena ada jurang di bawah sana. Aku takut. Oh tidak. Mas Seto. Aku sedikit lari, tapi aku terpeleset, jatuh. Minuman yang ku bawa masuk ke jurang. Tiba-tiba ada seseorang mengulurkan tangan padaku hendak memberi bantuan. 

Aku menerima tangannya tapi belum melihat wajahnya. "Renjana, ayo bangun sayang!" kata seseorang sambil menarikku. Aku menatap wajah itu, asing, siapa ya? Tahu namaku dan memanggilku sayang.

Aku berdiri dan masih berpikir. "Ini Papa. Papa sengaja menjemput kalian. Papa khawatir, Seto lama sekali, takut tersesat atau sakit atau hal buruk terjadi," begitu kata Papa yang penuh dengan perhatian. Eh, aku udah bisa nyebut Papa ya. "Papa seharusnya nggak ninggalin kamu di tempat ini Renjana. Papa salah, maafkan ya. Nama Renjana, itu Papa yang berikan sewaktu meninggalkanmu di sini. Karena Papa akan sangat merindukanmu. Seto juga," kata Papa sambil melirik Mas Seto.

Papa memelukku, dan Mas Seto juga. Entah kenapa aku bahagia bertemu mereka, hangat sekali pelukan mereka. "Aku maafkan Papa, tapi, aku nggak mau meninggalkan Ayah, yang sedari kecil merawat aku Pa. Kasihan," kataku sambil memandang Papa sambil meneteskan air mata. "Tenang Renjana, besok Ayahmu akan tinggal tak jauh dari rumah kita. Papa akan siapkan semuanya dan membuka warung kecil-kecilan, biar bisa berdagang mainan seperti sekarang. Gimana?" kata Papa sambil mengusap air mataku. Aku mengangguk.

Kami bertemu dengan Ayah, mencoba merayu, dan Ayah setuju. Kami tak akan berpisah, walau harus menempuh beberapa kilometer dari rumah kami. Ayah adalah Ayah pertamaku, sebelum aku mengenal Papa. Sebagai ucapan terima kasih, Papa memberikan apa yang Ayah butuhkan. "Ayah, terima kasih ya atas semuanya," kataku sambil memeluk Ayah. "Terima kasih telah merawat Renjana ya Mas," tutur Ayah yang tidak mau kalah. Akhirnya usaha Ayah dan aku laris, dan memiliki banyak pegawai, menjual mainan dan keripik tersebut sampai ke luar negeri, dibantu Papa dan juga Mas Seto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun