"Lho, itu kan foto saya yang tadi saya cari, kok. bisa di Paman?" tanya Seto dengan heran. "Paman menemukan foto ini di toilet bawah itu, dan pasti punyamu, karena tak ada wisatawan lain hari ini. Betul?" tanya Ayah sembari melihat ke arah Seto.
 Seto mengangguk sambil mengambil foto itu, "Terima kasih Paman, akhirnya ketemu selembar kertas berharga ini." "Kau telah menemukannya Nak," sahut Ayah sambil melirikku. "Maksud Paman, menemukan foto ini?" tanya Seto dengan sedikit keraguan. Ayahku menggeleng tanda tidak setuju lalu mendekatiku dan memegang pundakku, "Renjana ini yang Kau cari, bukan renjana di Punthuk Setumbu, tapi Renjana di hatiku."
Aku meneteskan air mata sambil memeluk Ayahku. "Jadi Paman sudah melihat foto itu dan nama di baliknya?" tanya Seto pada Ayah. Ayah mengangguk sambil melihatku, "Renjana, ini Seto, yang selama ini mencarimu, seperti tertulis di balik foto itu." Aku pun mengambil foto yang diberikan Seto padaku sambil membacanya dalam hati.
"Renjana Hapsari
Punthuk Setumbu, Magelang
Setelah bertemu dengannya, bawalah padaku!"
Aku bertanya dalam hati, "Ini maksudnya apa ya? Kenapa ada namaku dan ini adalah foto waktu saat aku masih balita, sama. seperti yang pernah Ayah tunjukkan padaku.
"Kamu bingung ya Na? Mari ke rumah Nak, kita ngobrol masalah ini!" pinta Ayah pada kami. Akhirnya kami sampai di rumah yang mungil namun penuh dengan kebahagiaan. Aku ke dapur untuk membuatkan segelas teh manis untuk Seto dan segelas kopi tanpa gula untuk Ayah. Ayah dari dulu tak suka kopi manis. Beda denganku, jika lebih suka kopi susu, dengan sedikit manis.Â
Aku mendengar tawa bahagia dari teras rumah kami. Apakah gerangan sumber kebahagiaan itu? Aku sudah tak sabar ingin segera keluar melihat atau mendengar apa yang sedang terjadi. Tapi, sebelum aku keluar, aku tersenyum kecil, karena teringat Seto, yang sedari tadi membuatku bahagia.
Aku keluar membawa nampan berisi minuman hangat dan setoples keripik kentang buatanku. Aku memberikan toples itu sambil menawarkan pada Seto, "Seto, silahkan dicicipi, keripik itu buatan saya sendiri, yang biasa saya jual di area wisata. Kadang melayani pesanan juga." Seto mengambil satu genggam keripik dan memakan dengan lahapnya, "Empuk sekali, sangat mudah Eyang untuk mengunyahnya.
 Aku beli lima bungkus ada? Buat camilan selama perjalanan pulang dan buat oleh-oleh Eyang, pasti suka. Ini enak, gurih, nikmat pokoknya. Nikmat lagi kalau nyemilnya sambil memandangmu."