Inilah saat yang sangat menentukan. Kesempatan emas ini tidak boleh saya sia-siakan, "Begini, Pa. Yoyo sayang sama Papa. Yoyo pengen Papa sembuh. Papa nggak boleh sakit."
"Siapa sih manusia di dunia ini yang mau sakit, Yo?" tukas Pak Yo. Tangannya bergerak meraih kepala saya, mengusap rambut lalu pindah mengusap-usap pipi dan bertanya, "Kamu minta apa, Yo?"
Dengan suara hampir tak terdengar saya melanjutkan, "Yoyo mau minta supaya Papa mau menjalani pemeriksaan endoskopi itu."
Ada sedikit keterkejutan di mata Papa. Tangannya turun kembali ke atas kasur. Rupanya dia sama sekali tidak menyangka permintaan saya itu.
"Menurut dokter, itu satu-satunya cara untuk mendeteksi penyakit Papa," sambung saya lagi.
Saya menunggu tapi Papa tidak berucap sepatah kata. Bahkan kini dia kembali menutup matanya.
Aduh! Saya takut sekali Papa marah sehingga tidak berani mendesaknya lebih lanjut. Saya pun meraih buku tadi dan meneruskan membaca.
Keheningan yang berlangsung cuma sekitar 5 menit tapi terasa lama sekali, sampai akhirnya Papa kembali membuka matanya dan berkata, "Yoyo."
"Ya, Pa?" tanya saya harap-harap cemas.
Papa sejenak terdiam lagi. Dia menghela napas panjang beberapa kali lalu melanjutkan perkataannya, "Papa bersedia melakukan endoskopi sesuai dengan permintaan kamu."
Yeay! Saya girang bukan main mendengarnya. Saya genggam tangannya dan berucap, "Terima kasih, Papa. Somoga dengan cara ini penyakit Papa bisa terdeteksi dan bisa segera sembuh."