"Kamu mau kan membujuk Papa, Yo? Please...!" kata Mama dengan suara memelas.
"OK, deh. Yoyo mau membujuk Papa tapi Yoyo nggak janji akan berhasil, lho," sahut saya menyerah.
"Just do your best. Namanya juga usaha. Kalo Papa menolak juga tidak apa-apa. Yang penting kan kita sudah mengusahakan sebisanya," kata Mama lagi.
Malam itu giliran saya jaga di rumah sakit. Saya duduk di samping ranjang, sementara Papa yang sedang tertidur kelihatan sangat pucat. Wajahnya kuyu dan badannya terlihat lemas. Saya memandang parasnya dengan rasa cinta dan iba tiada tara.
Sambil menemani Papa, saya membaca buku naskah drama berbahasa Perancis yang berjudul 'Huis Clos'. Nama penulisnya adalah Jean Paul Sartre, seorang penulis dan tokoh eksistensialisme asal Perancis yang hidup di tahun 1905 -- 1980. Buku ini sangat terkenal dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Di Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul 'Pintu Tertutup'.
"Kamu nggak pulang, Yo?" Sekonyong-konyong Papa bertanya tanpa membuka kelopak matanya.
"Yoyo malam ini nginep di sini nemenin Papa," sahut saya sambil menggenggam tangannya.
"Papa nggak usah ditemenin, Yo. Kamu pulang aja sana," kata Papa lagi.
"Nggak mau! Yoyo akan menginap di sini. Kalau perlu, Yoyo nggak akan pernah pulang sampai Papa sembuh."
"Anak gendeng!" gumam Papa seraya tersenyum sekilas.
Sejenak kami berdua terdiam. Kemudian saya mencoba membuka percakapan kembali, "Papa."