Papa diharuskan opname di rumah sakit. Saya memilih kamar VIP di Paviliun Swasta yang masih dalam naungan management Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Harga kamarnya mahal sekali, hampir sama tarifnya dengan kamar standar hotel bintang 5. Tapi tidak apa-apalah. Saya ingin memberikan yang terbaik buat Papa. Apalagi hubungan kami saat ini sangat luar biasa mesranya. Belum pernah saya mencintai Papa sedemikian besar seperti sekarang ini. Dan hal itu terjadi sejak Papa menjemput saya di bandara.
Team dokter bolak-balik melakukan berbagai macam test untuk menyelidiki penyakit Papa. Hasil pemeriksaan darah jelas-jelas menunjukkan bahwa hemoglobinnya menurun sampai 8 dari batas normalnya yaitu 14-18 gr/dL, sementara trombositnya menurun sampai 45.000 dari batas normal 150.000.
Tapi hasil pemeriksaan darah tidak menjelaskan apa-apa. Dokter yang menangani Papa mengatakan, penurunan trombosit dan hemoglobin banyak sekali penyebabnya. Karena itu Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI adalah alat pemindai yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. Cara melakukannya adalah Si Pasien dimasukan ke dalam sebuah tabung lalu discan untuk menemukan sumber penyakitnya. Â Proses scanning berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Jadi selama itu pasien tidak boleh bergerak sama sekali.
Konon kecanggihan MRI ini dapat memberikan informasi struktur tubuh yang tidak dapat ditemukan pada tes lain, seperti X-ray, ultrasound, atau CT scan. Dan biayanya Rp 2,5 juta. Bayangkan! Rp 2,5 juta bukan untuk pengobatan tapi baru tahap pemeriksaan.
Hasil MRI ternyata juga tidak membuahkan hasil yang maksimal. Buktinya dokter mewajibkan Papa untuk melakukan pemeriksaan endoskopi. Sayangnya, kali ini Papa menolak. Papa takut untuk diendoskopi. Hal ini bisa dipahami. Saya pun ngeri ketika dokter menjelaskan cara kerjanya. Caranya adalah dengan memasukkan kabel dari mulut sampai ke dalam lambung kemudian kabel tersebut akan memotret bagian dalam tubuh sehingga bagian yang sakit jadi lebih mudah terdeteksi.
Menurut dokter pemeriksaan endoskopi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penyakit Papa harus  didiagnosis dengan akurat. Dokter tidak bisa melakukan tindakan pengobatan apapun sebelum mengetahui apa yang menyebabkannya muntah darah sampai begitu hebat.
Mama dan A Koh bolak-balik bergantian merayu Papa untuk diendoskopi tapi Papa berkeras menolak. Dia bilang, lebih baik dirinya sakit daripada mulutnya dimasukan kabel sedemikian panjang sampai ke dalam lambung. Tentu saja kami sekeluarga bingung bukan main. Sementara muntah Papa masih terus berlangsung sehingga dokter harus mentransfusi darah baru secara terus-menerus untuk mengganti darah yang terbuang.
"Coba sekarang kamu yang merayu Papa, Yo," usul Mama.
"Ah, kalo sama A Koh dan Mama aja Papa menolak, apalagi sama Yoyo?" jawab saya.
"Coba aja dulu, Yo. Sekarang kamu keliatan dekat banget sama Papa. Siapa tau justru sama kamu, dia mau," A Koh ikut berkolaborasi dengan Mama untuk mempengaruhi saya.
Saya tidak menyahut. Sebetulnya saya bukan tidak bersedia merayu Papa untuk melakukan endoskopi. Tapi saya takut permintaan itu akan membuatnya marah. Saya sedang menikmati kemesraan saya dengan beliau sehingga saya enggan melakukan apapun yang sekiranya akan membuat hubungan kami berpotensi menjadi renggang.