“kalau kamu nggak mau? Terus kamu mau ke mana?”
“Belum tau tapi yang pasti nggak tinggal sama kamu.”
Mendengar jawaban saya, Cindy memeluk saya lagi, “Yoyo, dengerin aku. Kalau kamu nggak mau tinggal sama aku...okay, fine! Tapi kamu belum tau mau ke mana kan? Kamu nggak ada tempat tujuan, kan?” katanya.
Saya masih sesunggukan.
“Sebelum kamu dapet tempat tujuan, kamu tinggal sama aku aja dulu. Minimal sampe bayi itu lahir.”
Saya masih belum bisa menghentikan sesunggukan ini.
“Kamu mau kan tinggal sama aku? Sementara aja dulu. Nanti kalau kamu udah ada tempat tujuan, silakan kalau kamu pergi.”
Sedu sedan yang kata Chairil Anwar tidak perlu itu ternyata masih mendominasi emosi saya.
“Okay kan Yo? Please? Kalau kamu nggak melakukannya untuk kamu, lakukanlah untuk anak kamu.”
Gara-gara dia menyebut demi anak yang ada di dalam perut, saya jadi berpikir ulang,‘Iya betul. Anak saya tidak boleh terlunta-lunta nasibnya. saya tidak bisa menolak lagi. Saya peluk Cindy seerat mungkin dan pecahlah kembali tangis saya. Kali ini kencang sekali sehingga Si Bartender kembali menghampiri.
“Excuse me Ladies. Is she sick? How can I help you? I can call a doctor if you like.” kata Sang Bartender.