A Koh menghampiri saya, duduk di ranjang. Sambil membalas senyuman, dia meraih tangan kanan saya, menggemgamnya erat sekali.
“Ya ampun! Anak kecil ini ternyata sudah punya anak kecil.” kata A Koh seraya mengusap-usap pipi saya.
Saya menarik tangan A Koh dan menciumnya berkali-kali. Hubungan saya dan A Koh sebetulnya kurang begitu akrab, karena itulah saya sangat terharu dia mau jauh-jauh datang ke Long Island hanya untuk mendukung adiknya.
“Gue boleh gendong ponakan gue ini?” tanya A Koh sambil menatap ke arah bayi yang berada dalam box.
“Boleh tapi cuci tangan dulu pake sabun. Tangan lo kotor kan” Saya dan A Koh selalu ber ‘Lu gue’ sejak dari kecil.
Tidak lama kemudian, A Koh dan Mama sibuk bermain dengan Cindy kecil Sedangkan Cindy yang besar ngobrol dengan saya.
“Kamu yang menghubungi Mama ya? Dasar kamu kawan yang nggak bisa dipercaya.” kata saya sambil tersenyum.
“Kamu kan anak Mama. Bayi itu cucu Mama. Mama kamu berhak tau tentang keberadaan cucunya.” sahut Cindy sambil mengusap-usap kaki saya.” Dan kamu pernah bilang bahwa Mama kamu jangan sampai tau sampai bayi ini lahir.”
Luar biasa ya sahabat saya ini. Dengan caranya sendiri, Cindy telah membereskan semua persoalan saya. Dia menampung ketika saya terlunta-lunta. Dia menghubungi Mama dengan keyakinan seorang Nenek berhak mengetahui keberadaan cucunya. Saya yang takut jika Mama sampai mengetahui apa yang saya alami ternyata tidak marah.
Benar kata orang bahwa 90% dari ketakutan kita, biasanya tidak terjadi. Kita tidak boleh lari dari masalah. Hadapi saja sebesar apapun masalah yang menghadang di hadapan kita.
Sebulan lamanya Mama dan A Koh tinggal menemani saya, sebelum akhirnya kami berbondong-bondong pulang ke Jakarta. Mark dan Cindy mengantarkan kami sampai airport.