Badannya menggigil keras, suaranya menunjukkan ketakutan akan apa yang sedang dilihatnya saat itu. Ia menutupkan telapak tangannya ke mukanya. Ia ketakutan setengah mati melihat, di atasnya sedang melaju sebuah kereta api dengan guncangan dan deritan kerasnya!! Tuiiitttt ... tuiiitttt .... tuiiitttt ..... Suaranya sungguh memekakkan telinga Darmawan!
      Wawan tak berani membuka matanya, degupan jantungnya yang luar biasa membuatnya berkeringat dingin, tubuhnya bergetar hebat.  Ia shock berat!! Tetiba bau anyir meyeruak menusuk hidungnya. Otaknya memerintahkan untuk membuka mata dan segera berdiri, tapi kakinya dan badannya lemas tak bertenaga. Dan ia masih tak tahu apa yang sedang ia alami saat itu. Cukup lama Wawan terpaku dalam keadaan masih terbaring di atas rel!
      "Astaghfirullahal adziim... astaghfirullahal adzim ...," pelan-pelan Wawan mulai memberanikan diri membuka kedua matanya dan dengan susah payah bangkit berdiri.
      "Ahhhhhhhh ..... aaahhhhhh ...........," Wawan berteriak keras dan sesaat kemudian ia  memaku bagai patung menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan di depan matanya!
       Ia melihat beberapa potongan tubuh berserakan di mana-mana. Ceceran darah memenuhi rel dan sekitar lokasi. Potongan tubuh para sahabatnya!  Kereta api telah menggilas tubuh para sahabatnya sehingga hancur tak berbentuk! Tubuh Darmawan pun penuh ceceran darah dari para sahabatnya, meskipun tak ia tak terluka sedikit pun.
      Sesaat kemudian ia berlari kencang tak tahu arah, ia berlari dan terus berlari. Ia bingung dan mengalami shock berat. Betapa tidak? Mereka baru saja bersenda gurau bersama, dan kini Darmawan menyaksikan potongan-potongan tubuh sahabat-sahabatnya sudah tak berbentuk manusia utuh! Kereta api telah melindas tubuh-tubuh mereka dengan tragis, kecuali Wawan yang saat itu tidur dengan posisi membujur. Ia selamat, tapi ia tak sanggup melihat sahabat-sahabatnya dalam kondisi badan yang hancur saat itu. Apalagi saat itu ia masih berusia 14 tahun! Mentalnya tak mampu menerima situasi tragis saat itu. Sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa ke enam sahabatnya itu, akhirnya membuat Wawan shock!
      Suasana mendadak gempar dengan terjadinya kecelakaan itu. Darmawan kecil  hanya mampu bersembunyi di dalam kamarnya, dan ia mendadak tak mampu berbicara sepatah kata pun, tatapan matanya kosong dan wajahnya pucat pasi. Nyaris sebulan penuh ia hanya terdiam membisu, ketika ditanya tentang kejadian itu. Hampir tiap malam ia mengalami mimpi buruk. Pihak berwajib mendatangkan tenaga ahli untuk membantu memulihkan kondisi Darmawan yang shock saat itu, untuk secara perlahan mendapatkan keterangan tentang awal mula kejadian tragis itu dan memulihkan kondisi traumanya.
      Usai kejadian itu, orang tua Darmawan  memutuskan untuk pindah dari desa itu demi kesehatan putra mereka. Mereka membawanya menjalani terapi dan konsultasi paska kejadian itu dan butuh waktu nyaris 10 tahun lamanya.
      Hamdani adalah salah satu sahabat Darmawan yang menjadi korban dalam tragedi pagi berdarah itu. Ia adalah putra Pak Karnadi. Sejak peristiwa itu, Pak Karnadi dekat dengan Darmawan dan menganggapnya sebagai putranya, sebagai pengganti Hamdani untuk mengurangi beban mental yang ia rasakan atas kehilangan putra kesayangannya. Darmawan pun tak merasa keberatan. Pak Karnadi sungguh ikhlas dan tawakal dengan kejadian itu, meskipun  cobaan itu terasa sangat berat untuknya.
      Setelah kejadian itu, istri Pak Karnadi, ibu dari Hamdani mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia setahun kemudian. Kepedihan dan kesedihan telah dialami Pak Karnadi sepanjang hidupnya. Kini beliau hidup sendiri, setelah anak perempuannya, adik Hamdani menikah dan pindah ke luar kota mengikuti suaminya. Hari-harinya diisi dengan menyibukkan diri di masjid, seusai pensiun sebagai salah staf keuangan di kantor desa.
      Usai shalat dhuhur,  Darmawan alias Wawan dan istrinya memenuhi undangan Pak Karnadi untuk bertamu di rumahnya. Sebuah rumah mungil sederhana, bersih dan rapi yang terletak di samping masjid, menjadi tempat Pak Karnadi menghabiskan masa tuanya.