Â
        Sampai di sebuah tempat, tetiba Darmawan meminggirkan mobilnya di bahu jalan. Sebuah plang bertuliskan nama sebuah desa di wilayah pesisir utara pulau Jawa, membuat jantungnya kian berdegup kencang tak beraturan. Wajahnya menegang dan memerah, terlihat aliran keringat di wajahnya. Tubuhnya tetiba menggigil, suara gemeretuk dari giginya makin membuat tubuhnya kaku. Dingin. Septia mengambil selembar tissue untuk menyeka keringat yang mengucur deras di dahi suaminya.
      "Istighfar Mas, istighfar," ucap Septia pelan.
      Tak jauh dari Darmawan meminggirkan mobilnya, terlihat sebuah jalan rel kereta api melintang di depannya. Sekira 3 kilometer lagi mereka akan sampai di tempat tujuan mereka. Desa tempat kelahiran  Darmawan.
      Suasana jalan saat itu cukup ramai, karena esok adalah hari di mana orang biasa menyebut dengan Syawalan,  atau ada juga yang menyebutnya sebagai lebaran ketupat, yaitu kira-kira seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Dari kejauhan, jalanan nampak lebih ramai, sebuah pasar tradisional penuh sesak dengan orang-orang. Rerata mereka membawa beberapa ikat kelontong ketupat. Sebuah tradisi yang masih terjaga hingga kini, yaitu  membuat ketupat lengkap dengan opor ayam, sambal goreng, dan kerupuk udang, untuk saling berbagi dengan orang-orang tercinta.Â
      Rizky dan Amanda, dua anak  Darmawan dan Septia itu sengaja ditinggal di rumah neneknya, ibu dari Septia yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan ke desanya. Sebuah rahasia besar yang berkaitan dengan desa ini masih tersimpan rapat di benak Darmawan. Itulah sebabnya  Darmawan tidak mengajak serta anak-anaknya, ia belum sanggup berbagi kisah tentang masa lalunya.  Hanya kepada istrinya, Septia,  Darmawan mengungkapkan sebuah peristiwa pilu sekitar 37 tahun yang lalu!
      "Mas," ucap Septia sambil menyentuh bahu Darmawan suaminya yang masih memegang setir mobil.
      "Atur nafas, istighfar dan berdzikirlah, ikhlaskan semua yang telah berlalu, semua sudah diatur oleh Sang Pembuat Hidup, Mas," lanjut Septia dengan lembut menenangkan suaminya.
      "Apa sebaiknya kita cari masjid, untuk shalat dan beristirahat sebentar, Mas?" tanya Septia sambil memandangi wajah suaminya. Ia tampak khawatir dengan kondisi suaminya saat itu. Wajahnya kian tampak pucat pasi.
      "Tidak Mah, beri aku waktu 10 menit saja untuk mengatur nafas dan menenangkan pikiranku, lalu kita lanjutkan perjalanan menuju ke desaku, tempat aku dilahirkan," pinta Darmawan sambil menghela nafas panjang.
      "Bismillahirrahmanirrojim ..." gumam  Darmawan sambil memejamkan mata. Baru kali inilah ia memberanikan diri kembali ke desanya, setelah hampir 37 tahun ia meninggalkan desa tempat kelahirannya. Desa yang sejuk, asri, tempatnya bermain bersama teman-teman seusianya. Bermain di sawah, mencari keong, mandi di sungai atau sekedar membantu Pakde Parmo mengusir burung-burung yang memakan buliran padi yang sudah menguning di sawahnya.
      "Hoee ... hoeeee... hoeeee ... husssshh ... husshhhh ...," teriak Darwawan dan teman-temannya sambil menarik tali,  membunyikan deretan kaleng-kaleng bekas yang diikatkan pada sebuah tali panjang,  untuk mengusir burung.
      "Klonthangg ... klonthaaang ... klontaannng ....  ha ha ha .....," suara keras kaleng diikuti gelak tawa Darwawan dan teman-temannya yang masih anak-anak kala itu riang. Prio, Sholeh, Dullah, Asnawi, Hamdani, dan Reno, mereka adalah sahabat masa kecil Darmawan
      "Astaghfirullahal adziiim !!!" Darmawan berteriak sambil menutupkan kedua belah telapak tangannya ke wajahnya.
      Tetiba, ia kembali peristiwa itu!  Darmawan tak kuasa mengendalikan ingatannya saat sebuah rel kereta api tepat berada di depan mobilnya.
      Diin ... diiinn .. diin ... terdengar riuh suara klakson motor dan mobil dari arah belakang. Beberapa kendaraan tertahan tepat di belakang mobil  Darmawan, gegara ia berhenti mendadak di depan perlintasan rel kereta api. Saat itu bukanlah jadwal kereta api melintas di area itu. Jadi palang pintu perlintasan dibiarkan terbuka.
      "Pak, ada apa? Apa ada yang perlu dibantu?" seorang penjaga perlintasan menghampiri mobil  Darmawan.
      "Mas, Mas ... yuk jalan lagi, itu kendaraan di belakang kita sudah tak sabar untuk melewati rel ini," ucap Septia lembut. Ia tak mau suaminya makin gugup dengan situasi saat itu.
      "Eh, iya maa .. maaf Pak, tidak ... tidak ada masalah dengan mobil saya kok," jawab  Darmawan kepada penjaga palang pintu terbata.Â
       Ia berusaha menenangkan dirinya. Dan kembali melanjutkan perjalanan melewati rel kereta api yang melintasi desa itu.
      "Mah, aku ingat, di depan sekira 200 meter lagi ada sebuah mushala kecil, kita berhenti dan shalat di situ saja ya," ucap  Darmawan kepada Septia, istrinya.
      Sesampai di lokasi,  Darmawan sejenak merasa ragu. Benarkah ini adalah tempat yang ia maksud? Ia merasa takjub dan tak percaya dengan apa yang terhampar di depan matanya.  Sebuah masjid megah berdiri kokoh nan indah di hadapannya, bukan lagi sebuah mushala kecil tempat ia dulu biasa mengaji bersama teman-temannya.
      "Masyaallah .... indah sekali Mas, masjidnya," ucap Septia kagum.
      "Allahu Akbar! 37 tahun yang lalu, ini adalah sebuah mushala kecil, Mah," ucap Pak Darmawan tak kalah kagumnya.
       Beberapa saat, dipandanginya masjid itu hingga ke sudut-sudutnya. Dari jauh tampak seorang lelaki tua berjenggot putih panjang. Badannya sedikit gempal, dengan sebuah peci hitam  di kepalanya. Lelaki itu tengah membersihkan sebuah kamar mandi. Sepertinya,  Darmawan mengenal lelaki tua berjenggot putih itu. Tapi, saat ini baginya sulit untuk mengingat dan menyebutkan sebuah nama.
      "Assalamu'alaikum, Bapak," ucap Darmawan memberanikan diri seraya menghampiri dan mengulurkan tangannya kepada lelaki tua itu.
      "Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab lelaki itu ramah menjabat erat tangan  Darmawan.
      "Ngapunten Pak, badhe nyuwun pirsa, punopo Bapak, leres Pak Karnadi?" tanya Pak Darmawan setengah bimbang. [Bahasa Jawa : Maaf Pak, mau bertanya, apakah Bapak benar Pak Karnadi?]
       "Injih leres Nak, panjenengan sinten?" Bapak yang disapa dengan nama Pak Karnadi itu pun balik bertanya. [Bahasa Jawa :  Benar Nak, anda siapa?]
      "Oh, Alhamdulillah, sssaa ... saya .. Darmawan Pak," jawab  Darmawan tetiba gugup.
      Bapak tua yang memang bernama Pak Karnadi itu mengernyitkan dahinya. Matanya menatap  Darmawan dalam-dalam. Tangan yang mulai mengeriput namun masih tampak kuat itu menggenggam lengan  Darmawan kuat-kuat.
      "MasyaAllah .... apakah benar ini Nak Wawan? Allahu Akbar, bagaimana kabarnya Nak? Kemana saja selama ini?" tanya Pak Karnadi menyebut  Darmawan dengan panggilan masa kecilnya.
      Mereka berdua saling berpelukan, saling melepas rindu, bagai ayah dan anak yang sudah lama tak bersua.  Rasa yang sungguh mengharu biru membekap keduanya.  Darmawan merasakan sesak di dadanya, matanya mulai sembab oleh air mata yang tak mampu dibendungnya. Dan Septia, ia tak mampu berkata apa-apa menyaksikannya.
      "Oh, ternyata beliau ini yang pernah diceritakan oleh Mas Wawan," ucap Septia dalam hati yang sejak tadi berada di belakang Darmawan, suaminya.
      "Oh, maaf Pak, ini ... ini istri saya, Septia," ucap Darmawan seraya melepas pelukannya dan memperkenalkan istrinya.
      "Mas Wawan dulu pernah bercerita banyak tentang Bapak," ucap Septia pelan seraya menjabat tangan Pak Karnadi.
Sesaat kemudian, terdengar suara adzan dhuhur berkumandang. Para jamaah shalat dhuhur  pun mulai berdatangan.
      "Mas Wawan, Mbak Septi, kalau berkenan, bagaimana kalau kita ngobrol di gubug saya, tapi mohon maaf sebelumnya, sebaiknya kita melaksanakan shalat dhuhur dulu ya," ucap Pak Karnadi sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
      Mereka pun bergegas bersiap-siap ke tempat wudhu, pun  Darmawan beserta istrinya. Shalat jamaah siang itu diimami oleh Pak Karnadi. Beliau dari dulu dipercaya untuk mengurus masjid ini. Tidak hanya menjadi Imam  masjid, tapi bahkan beliau bersedia ikut merawat dan membersihkan masjid.
      Usai shalat,  Darmawan jauh merasa lebih tenang dari pada ketika ia mulai memasuki desa ini. Ya, sebuah kenangan kelam tak terlupakan seumur hidupnya itu, sempat membuatnya harus menjalani konseling selama hampir 10 tahun lamanya!
***
      Waktu itu, malam, selepas shalat tarawih seperti biasa 7 sahabat itu berjalan pulang sambil bersenda gurau. Mereka adalah Prio, Sholeh, Dullah, Asnawi, Hamdani, Reno, dan Wawan. Usia mereka hampir sama dan mereka sama-sama duduk dibangku sekolah menengah di desa itu. Meskipun kelas mereka berbeda, namun itu tak menghalangi persahabatan di antara mereka.
      "Nda, besok beneran ya, kita lanjut jalan-jalan setelah sahur dan subuhan," ucap Asnawi kepada para sahabatnya. Nda, adalah panggilan yang tren saat itu untuk  mereka ber tujuh yang menunjukkan keakraban mereka.
      "Iya, aku diampiri ya, takut kalau ketiduran setelah sahur," sahut Dullah tiba-tiba.
      "Ahh, kau Dul, kemarin aku panggil-panggil dari luar, kamu gak keluar, ehh ... rupanya ketiduran, ha ha ha ....," sahut Wawan sambil menepuk bahu sahabatnya.
      "Iya tu, Si Dul memang jago molor, ha ha ha ...," jawab Prio menegaskan ucapan Wawan.
      Dullah hanya cengar-cengir, mendengar celotehan para sahabatnya itu. Di antara mereka ber-tujuh, dialah yang paling besar badannya. Meskipun begitu, Dullah-lah yang paling pandai melucu, dia sering berdiri dan berbicara seolah-olah sedang ikut sebuah acara Stand Up Comedy. Teman-temannya pun suka melihat tingkahnya yang lucu dan acapkali mengundang gelak tawa.
      Perjalanan pulang  dari masjid, usai saat mereka sampai ke rumah mereka masing-masing. Malam itu Darmawan alias Wawan, merasa gelisah, ia tak tahu mengapa matanya sulit terpejam.
      "Kok belum tidur Le?" tanya ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar Wawan putranya saat melihat kamar Wawan masih menyala lampunya.
      "Gak apa-apa kok Bu, cuma ... gak tahu nih, kok dari tadi susah tidur, apa karena sepulang sekolah tadi  aku tidur terlalu lama ya Bu?" jawab Wawan sambil memandangi Ibunya.
      "Oh, iya kali Le, ya udah, cepat tidur, besok kesiangan sahurnya hlo. Katanya mau jalan-jalan lagi.  Ibu tinggal ya Le," kata Ibunya sambil melangkah keluar dan menutup pintu kamar putranya.
      Kegiatan jalan-jalan setelah makan sahur dan shalat subuh di mushala,  nyaris setiap hari mereka lakukan. Biasanya mereka keluar dan bertemu di ujung gang sekitar pukul setengah lima, dan seperti biasa jalan-jalan menyusuri  rel kereta api yang melintasi desa mereka. Kebetulan, sekolah masuk agak siang  pada waktu bulan puasa. Sekira pukul 6.30 mereka akan bergegas pulang untuk mandi dan segera berangkat ke sekolah.
      Setelah shalat subuh berjamaah di mushala, ke tujuh sahabat itu bertemu di ujung gang dengan berkalung sarung  mereka mulai berjalan-jalan menyusuri rel kereta api, tempat favorit mereka. Di kanan dan kiri rel, terlihat indahnya pemandangan sawah yang menghijau. Di kejauhan tampak jajaran gunung yang berdiri kokoh, begitu memesona siapapun yang memandangnya. Udara yang masih jauh dari polusi dan gemericiknya suara air di sekitar sawah serasa bagai alunan musik yang menenangkan jiwa. Kicauan suara burung liar di sepanjang jalan menambah asrinya suasana di desa itu. Ke tujuh sahabat itu benar-benar menikmati acara jalan-jalan di bulan ramadan saat itu. Bulan ramadhan adalah momen yang tepat untuk menikmati pagi beramai-ramai  di desa mereka.
      "Nda, aku capek nih, yuk berhenti dulu di sini sebentar," ucap Prio tiba-tiba.
      "Ah, sebentar lagi aja, kita nyari ikan di blumbang di dekat pohon beringin di sana sambil istirahat," gimana?" jawab Wawan sambil menunjuk lokasi blumbang yang tak jauh dari tempat mereka berhenti. Lokasi itu cukup jauh dari pemukiman penduduk.
      "Iya, kita di sini sebentar, setelah itu kita lanjutkan nyari ikan, oke ...?" sahut Dullah kemudian.
      "Baiklah, tapi sebentar saja ya, soalnya hari ini aku piket kelas, jatah menyapu nih," ucap Wawan " Aku takut kita telat piketnya, nanti dimarahi lagi sama Sri ketua kelompokku" lanjutnya.
      "Hmmm , benar juga, Sri memang cerewet, ha ha ha, tenanglah ...," sahut Prio. "Nanti aku bantu kau menyapu," lanjut Prio yang berada sekelas dengan Wawan.
      Mereka pun berhenti di atas rel sembari duduk  menikmati segarnya udara pagi dan pemandangan yang indah.
      "Whoaaaahhh .... aku kok ngantuk ya," ucap Dullah yang berbadan gendut berisi itu.
      "Humm ... biasaaa ... Kau selalu mengantuk di manapun berada, ha ha ha ...," jawab Sholeh sambil tertawa.
      Akhirnya mereka merebahkan diri di atas rel kereta api dengan posisi melintang dan saling berjejeran. Hanya Wawan yang mengambil posisi membujur di antara mereka.
      Semilirnya angin nan sepoi-sepoi ditingkahi suara burung berkicau merdu, kian membawa mereka mengantuk dan tertidur pulas. Mereka pun lupa untuk pergi mencari ikan di blumbang yang berada di dekat mereka tertidur.
      Waktu terus berlalu, mereka lupa bahwa sebentar lagi ada kereta api yang akan melewati jalur rel tersebut. Dan ke tujuh sahabat itu sudah tertidur pulas, di atas rel di mana kereta itu akan lewat! Deritan suara laju kereta api dan  loncengnya yang cukup keras, tak mereka dengarkan. Tak satupun di antara mereka yang terbangun saat kereta sudah mulai mendekat!! Entah mengapa!! Mereka seperti tuli mendadak,. Bahkan getaran laju kereta pun tak mereka rasakan! Akhirnya ...
      "Aaaahhhhhhhh ..........," Allahu Akbaaaarrrr .....!!" Wawan tetiba berteriak sangat keras.
      Badannya menggigil keras, suaranya menunjukkan ketakutan akan apa yang sedang dilihatnya saat itu. Ia menutupkan telapak tangannya ke mukanya. Ia ketakutan setengah mati melihat, di atasnya sedang melaju sebuah kereta api dengan guncangan dan deritan kerasnya!! Tuiiitttt ... tuiiitttt .... tuiiitttt ..... Suaranya sungguh memekakkan telinga Darmawan!
      Wawan tak berani membuka matanya, degupan jantungnya yang luar biasa membuatnya berkeringat dingin, tubuhnya bergetar hebat.  Ia shock berat!! Tetiba bau anyir meyeruak menusuk hidungnya. Otaknya memerintahkan untuk membuka mata dan segera berdiri, tapi kakinya dan badannya lemas tak bertenaga. Dan ia masih tak tahu apa yang sedang ia alami saat itu. Cukup lama Wawan terpaku dalam keadaan masih terbaring di atas rel!
      "Astaghfirullahal adziim... astaghfirullahal adzim ...," pelan-pelan Wawan mulai memberanikan diri membuka kedua matanya dan dengan susah payah bangkit berdiri.
      "Ahhhhhhhh ..... aaahhhhhh ...........," Wawan berteriak keras dan sesaat kemudian ia  memaku bagai patung menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan di depan matanya!
       Ia melihat beberapa potongan tubuh berserakan di mana-mana. Ceceran darah memenuhi rel dan sekitar lokasi. Potongan tubuh para sahabatnya!  Kereta api telah menggilas tubuh para sahabatnya sehingga hancur tak berbentuk! Tubuh Darmawan pun penuh ceceran darah dari para sahabatnya, meskipun tak ia tak terluka sedikit pun.
      Sesaat kemudian ia berlari kencang tak tahu arah, ia berlari dan terus berlari. Ia bingung dan mengalami shock berat. Betapa tidak? Mereka baru saja bersenda gurau bersama, dan kini Darmawan menyaksikan potongan-potongan tubuh sahabat-sahabatnya sudah tak berbentuk manusia utuh! Kereta api telah melindas tubuh-tubuh mereka dengan tragis, kecuali Wawan yang saat itu tidur dengan posisi membujur. Ia selamat, tapi ia tak sanggup melihat sahabat-sahabatnya dalam kondisi badan yang hancur saat itu. Apalagi saat itu ia masih berusia 14 tahun! Mentalnya tak mampu menerima situasi tragis saat itu. Sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa ke enam sahabatnya itu, akhirnya membuat Wawan shock!
      Suasana mendadak gempar dengan terjadinya kecelakaan itu. Darmawan kecil  hanya mampu bersembunyi di dalam kamarnya, dan ia mendadak tak mampu berbicara sepatah kata pun, tatapan matanya kosong dan wajahnya pucat pasi. Nyaris sebulan penuh ia hanya terdiam membisu, ketika ditanya tentang kejadian itu. Hampir tiap malam ia mengalami mimpi buruk. Pihak berwajib mendatangkan tenaga ahli untuk membantu memulihkan kondisi Darmawan yang shock saat itu, untuk secara perlahan mendapatkan keterangan tentang awal mula kejadian tragis itu dan memulihkan kondisi traumanya.
      Usai kejadian itu, orang tua Darmawan  memutuskan untuk pindah dari desa itu demi kesehatan putra mereka. Mereka membawanya menjalani terapi dan konsultasi paska kejadian itu dan butuh waktu nyaris 10 tahun lamanya.
      Hamdani adalah salah satu sahabat Darmawan yang menjadi korban dalam tragedi pagi berdarah itu. Ia adalah putra Pak Karnadi. Sejak peristiwa itu, Pak Karnadi dekat dengan Darmawan dan menganggapnya sebagai putranya, sebagai pengganti Hamdani untuk mengurangi beban mental yang ia rasakan atas kehilangan putra kesayangannya. Darmawan pun tak merasa keberatan. Pak Karnadi sungguh ikhlas dan tawakal dengan kejadian itu, meskipun  cobaan itu terasa sangat berat untuknya.
      Setelah kejadian itu, istri Pak Karnadi, ibu dari Hamdani mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia setahun kemudian. Kepedihan dan kesedihan telah dialami Pak Karnadi sepanjang hidupnya. Kini beliau hidup sendiri, setelah anak perempuannya, adik Hamdani menikah dan pindah ke luar kota mengikuti suaminya. Hari-harinya diisi dengan menyibukkan diri di masjid, seusai pensiun sebagai salah staf keuangan di kantor desa.
      Usai shalat dhuhur,  Darmawan alias Wawan dan istrinya memenuhi undangan Pak Karnadi untuk bertamu di rumahnya. Sebuah rumah mungil sederhana, bersih dan rapi yang terletak di samping masjid, menjadi tempat Pak Karnadi menghabiskan masa tuanya.
      "Assalamu'alaikum,"  Darmawan mengucapkan salam di depan rumah Pak Karnadi.
      "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, mari masuk Nak, maaf rumah Bapak kecil ya, " jawab Pak Karnadi ramah mempersilakan keduanya masuk.
      Mereka pun duduk di ruang tamu dengan kursi rotan antik yang masih sangat bagus dan terawat. Sebuah foto keluarga Pak Karnadi beserta kedua anaknya yang masih kecil terpajang di dinding ruangan itu.  Wajah Hamdani kecil di foto itu,  membuat hati Darmawan trenyuh.
      "Selamat Idul Fitri Pak, mohon maaf lahir dan batin, Pak," ucap  Darmawan sambil mencium tangan dan memeluk Pak Karnadi erat. "Maafkan saya, baru kali ini saya mengunjungi Bapak." imbuhnya lirih.
      "Terima kasih Pak, saya merasa bahagia akhirnya bisa bertemu Bapak saat ini," ucap  Darmawan pelan. Sebetulnya ia masih merasakan getaran di tubuhnya yang tak mampu ia kendalikan. Namun sekuat tenaga ia berusaha tak menampakkan kegugupannya di hadapan Pak Karnadi. Ingatan masa lalu tentang kecelakaan tragis itu sejenak kembali membelenggu pikirannya.
      "Teruslah istighfar Nak, jangan lupa selalu pasrah dan ihklas kepada Gusti Allah, semua yang terjadi itu sudah masa lalu. Itu bukan kesalahan Nak Wawan, semua memang sudah menjadi takdir dari Allah swt. Nak Wawan harus bisa melanjutkan hidup demi keluarga Nak Wawan," ucap Pak Karnadi bijak. Beliau sungguh pribadi yang kuat, ikhlas dan tawakal menjalani kehidupan.
      "Nabi Muhammad pun bersabda, "I'qilha wa tawakkal" (tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakal-lah). Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Kuncinya, ketika bertekad menjadikan Allah SWT sebagai wakil, maka yakinlah apa yang akan diputuskan atau jalan yang dipilihNya adalah hal yang terbaik," ucap Pak Karnadi kepada  Darmawan.
       Darmawan sungguh merasa tenang mendengar ucapan beliau, setelah hampir 37 tahun yang lalu ia sama sekali tak berani menginjakkan kakinya kembali ke desa kelahirannya ini.
      "Pak, mm ... bb  ... bolehkah saya mengunjungi makam mereka? Dan bersediakah Bapak menemani saya?" tanya  Darmawan pelan, suaranya seperti tercekat di tenggorokan, tertahan karena menahan gemuruh di dadanya.
      "Dengan senang hati Nak, kemarin sehabis shalat Idul Fitri saya mengunjungi makam Hamdani dan ibunya, dan juga makam sahabat-sahabatmu Nak," jawab Pak Karnadi teguh.
      Siang menjelang asyar mereka berjalan beriringan menuju pemakaman desa yang letaknya tak jauh dari masjid dan rumah Pak Karnadi. Suasana hening melingkupi area pemakaman. Beberapa pohon kamboja tengah berbunga indah, wangi semerbaknya mengiringi langkah kaki Darmawan menuju makam sahabatnya. Dengan kaki bergetar, Darmawan memasuki area pemakaman. Septia menggandeng erat lengan suaminya, ia tahu kondisi psikis suaminya saat itu.
      "Kuat Mas, ayo kita kunjungi makam sahabat-sahabatmu, kita doakan mereka," ucap Septia lirih.
      Satu demi satu, Pak Karnadi menunjukkan makam para sahabat Darmawan. Ia melihat nama-nama sahabatnya tertera di patok makam mereka. Tetiba badannya berguncang hebat, ia mendadak ambruk di salah satu sisi makam.  Tak terasa air matanya mengalir, membasahi pipinya. Ia terisak sesenggukan menahan rasa yang bercampur aduk menghimpit  dadanya. Ia teringat kembali peristiwa tragis itu.Â
      "Maafkan aku ... hu hu huuu ... maafkan aku sahabatkuu ...," Darmawan tak kuasa menahan tangisnya.Â
Septia berusaha menenangkan suaminya dengan mengusap pundaknya perlahan.
      "Istighfar Mas, istighfar ... mereka sudah tenang di sana," ucap Septia lirih.Â
      Sekuat tenaga ia bertahan berada di sisi makam mereka, matanya terpejam, dan terus mendoakan para sahabatnya. Setelah 37 tahun yang lalu, baru kali ini ia mengunjungi mereka di pemakaman. Prio, Sholeh, Dullah, Asnawi, Hamdani, Reno, sahabat masa kecil yang takkan pernah terlupakan!
      Setelah beberapa lamanya di area pemakaman, akhirnya terdengar kumandang adzan asyar dari kejauhan. Mereka pun perlahan meninggalkan area pemakaman. Meskipun sedih mengingat masa lalu, namun ada perasaan lega karena Darmawan telah mampu mengunjungi makam para sahabatnya dan mendoakan mereka.
      "Pak, saya secara pribadi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua perhatian dan kebaikan Bapak kepada saya dan telah menganggap saya sebagai putra Bapak sendiri, semoga Allah senantiasa merahmati Bapak, kami pulang Pak, Assalamu'alaikum ...," ucap Darmawan sambil mencium tangan Pak Karnadi.
      Ia berjanji akan sering datang mengunjungi Pak Karnadi sekaligus mengunjungi makan para sahabatnya di desa tempat ia dilahirkan.
      Sebuah pelukan hangat menutup pertemuan mereka sore itu. Darmawan melangkah ringan menuju ke mobilnya.  Jiwanya terasa ringan, seolah sebuah beban berat telah terlepas dari pundaknya.  Kini ia merasa siap mengikis trauma yang telah menghantuinya selama hampir 37 tahun lamanya! Tapi itu bukan berarti Ia  melupakan para sahabat masa kecilnya. Seperti apapun mereka tetap sahabat di hati Darmawan. Sahabat yang telah memberinya banyak pelajaran hidup.
~ Yfs ~
Ambarawa, Pertengahan bulan Syawal 1444 H
Diangkat dari sebuah kisah nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H