Sesampai di lokasi,  Darmawan sejenak merasa ragu. Benarkah ini adalah tempat yang ia maksud? Ia merasa takjub dan tak percaya dengan apa yang terhampar di depan matanya.  Sebuah masjid megah berdiri kokoh nan indah di hadapannya, bukan lagi sebuah mushala kecil tempat ia dulu biasa mengaji bersama teman-temannya.
      "Masyaallah .... indah sekali Mas, masjidnya," ucap Septia kagum.
      "Allahu Akbar! 37 tahun yang lalu, ini adalah sebuah mushala kecil, Mah," ucap Pak Darmawan tak kalah kagumnya.
       Beberapa saat, dipandanginya masjid itu hingga ke sudut-sudutnya. Dari jauh tampak seorang lelaki tua berjenggot putih panjang. Badannya sedikit gempal, dengan sebuah peci hitam  di kepalanya. Lelaki itu tengah membersihkan sebuah kamar mandi. Sepertinya,  Darmawan mengenal lelaki tua berjenggot putih itu. Tapi, saat ini baginya sulit untuk mengingat dan menyebutkan sebuah nama.
      "Assalamu'alaikum, Bapak," ucap Darmawan memberanikan diri seraya menghampiri dan mengulurkan tangannya kepada lelaki tua itu.
      "Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab lelaki itu ramah menjabat erat tangan  Darmawan.
      "Ngapunten Pak, badhe nyuwun pirsa, punopo Bapak, leres Pak Karnadi?" tanya Pak Darmawan setengah bimbang. [Bahasa Jawa : Maaf Pak, mau bertanya, apakah Bapak benar Pak Karnadi?]
       "Injih leres Nak, panjenengan sinten?" Bapak yang disapa dengan nama Pak Karnadi itu pun balik bertanya. [Bahasa Jawa :  Benar Nak, anda siapa?]
      "Oh, Alhamdulillah, sssaa ... saya .. Darmawan Pak," jawab  Darmawan tetiba gugup.
      Bapak tua yang memang bernama Pak Karnadi itu mengernyitkan dahinya. Matanya menatap  Darmawan dalam-dalam. Tangan yang mulai mengeriput namun masih tampak kuat itu menggenggam lengan  Darmawan kuat-kuat.
      "MasyaAllah .... apakah benar ini Nak Wawan? Allahu Akbar, bagaimana kabarnya Nak? Kemana saja selama ini?" tanya Pak Karnadi menyebut  Darmawan dengan panggilan masa kecilnya.