Walaupun kehidupan kami sederhana, kami tidak pernah kekurangan kasih sayang. Bapak dan Ibu adalah sosok orang tua yang sangat perhatian dan selalu mementingkan pendidikan ketiga putrinya.
      Untuk beaya kuliah Mbak Nanda, pernah, Bapak terpaksa harus menjual tanah pekarangan yang tak seberapa luas, peninggalan Kakek. Tapi semua itu kami lalui dengan rasa syukur, bahwasannya kami tak pernah kekurangan makan walaupun dengan menu sederhana.
      Pukulan terberat kami adalah, ketika suatu hari datang sebuah berita yang mengabarkan, bahwa Bapak mengalami kecelakaan di jalan sepulang beliau bekerja. Sebuah truck bermuatan bahan pokok, mengalami pecah ban. Truck yang melaju tak terkendali menabrak Bapak. Motor yang dikendarai Bapak hancur, dan Bapak dinyatakan meninggal dunia di tempat kejadian.
      Sepeninggal Bapak, Ibu harus putar otak dan banting tulang memenuhi kebutuhan hidup dan beaya pendidikan kami. Uang pensiun yang tak seberapa, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja. Mbak Nanda sempat minta untuk tidak melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi, namun Ibu tidak mengijinkan. Beliau tetap berusaha sekuat tenaga bisa membeayai kuliah Mbak Nanda sampai selesai.
      "Kamu harus tetap melanjutkan kuliahmu sampai selesai, dengan ijin Allah swt, Ibu pasti bisa membeayaimu, ndak usah mikir gimana cara Ibu mendapatkan uang, ya Nduk, janji sama Ibu," kata Ibu ketika suatu malam Mbak Nanda menangis di pangkuan Ibu karena tak tega melihat kerja keras Ibunya.
       Ibu merintis usaha katering kecil-kecilan, dibantu Mbak Nanda dan aku. Astri masih duduk di bangku SMP saat itu. Berkat kegigihan Ibu, usaha katering lambat laun mulai berkembang. Sampai akhirnya Ibu memiliki 100 orang karyawan untuk membantunya. Dan, saat itu Mbak Nanda juga sudah lulus dan diterima bekerja di suatu perusahaan. Dari situlah Mbak Nanda bisa ikut meringankan beban Ibu, untuk membantu beaya kuliahku dan sekolah Astri.
      Karena prestasinya, Mbak Nanda mendapatkan kesempatan melanjutkan S2 nya yang dibeayai oleh perusahaan tempatnya bekerja. Di situ pula Mbak Nanda bertemu laki-laki berkebangsaan Belanda bernama Oliver Van Dijk yang kelak menjadi suaminya. Saat itu Oliver datang sebagai tamu di perusahaan tempatnya bekerja. Pertemuan singkat itu ternyata berlanjut dengan dilamarnya Mbak Nanda.  Oliver pun memboyongnya ke Belanda.
      Tahun demi tahun berlalu, usia Ibu pun sudah tak muda dan tak segesit dulu lagi.  Setelah Astri menikah, kami meminta Ibu untuk beristirahat dari aktifitasnya di bisnis katering. Semula Ibu merasa keberatan, karena memasak adalah bagian dari jiwanya. Astri, adik ragil kami yang paling lincah dan ceriwis itulah yang mewarisi bakat Ibu dalam hal masak-memasak. Aku? He he he ... sebenarnya aku suka sih, memasak, tapi sekedar memenuhi tugas dan tanggungjawabku sebagai seorang Ibu rumah tangga yang baik! Bukan untuk menghendel sebuah katering!
      "Kasihan mereka Nduk, mereka sudah lama ikut Ibu, kalau harus ditutup kateringnya, bagaimana nasib mereka nanti?" ujar Ibu ketika kami meminta Ibu untuk menutup bisnis kateringnya.
      Akhirnya, sesuai kesepakatan kami bertiga, Astri lah yang dipercaya Ibu untuk memegang pimpinan usaha katering Ibu.
      Seiring waktu, kesibukan Astri yang juga bekerja di suatu perusahaan garmen, akhirnya kami sepakat untuk mempercayakan usaha katering kepada Mbak Dinda, putri dari Budhe Tatik yang juga menemani Ibu di rumah keprabon hingga saat ini.