Meski paduan caranya tak biasa, saya bersyukur karena pada prosesnya bisa mengenal para senior seperti Prof Pebrianov, fans Timnas Indonesia yang ternyata masih satu almamater di universitas, dan Pak Yon Bayu, eks wartawan yang nyentrik.
Meski mereka punya banyak jam terbang dan ilmu di dunia tulis-menulis, tak ada gap generasi. Mereka begitu cair, kadang tak sungkan memberi masukan dan saran secara personal, termasuk dalam hal yang sifatnya teknis.
Itu baru dua Kompasianer, belum termasuk Kompasianer-Kompasianer lain, yang punya berbagai latar belakang. Mereka tak bisa saya sebutkan satu persatu saking banyaknya.
Tapi, dari gaya menulis dan interaksi keduanya, ada satu hal yang bisa ditarik. Mereka tak akan rempong menulis sebuah "drama" antarpenulis di Kompasiana, kecuali jika ada yang memang perlu disampaikan lewat tulisan atau secara terbuka.
Kebetulan, dalam dua hari terakhir, Prof Peb dan Pak Yon secara berurutan menyuarakan pendapat mereka tentang drama ini, dengan gaya masing-masing.
Â
Inilah yang membuat saya tergelitik untuk ikut berbicara lewat tulisan ini. Sekalian kilas balik perjalanan selama hampir lima tahun di Kompasiana.
Dari pengamatan saya, drama ini bermula dari perbedaan pandangan antara dua Kompasianer centang biru, yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan, karena memang pada dasarnya beda alam, menurut saya.
Saya sebut demikian, karena yang satu membahas soal idealisme dalam hal menulis, sementara yang lainnya membahas soal "kebaruan" dengan cara pandang cenderung pragmatis, yang dia hadirkan di rumah biru ini, disamping tulisan lintas topik yang sama-sama mereka hadirkan.
Sebenarnya "kebaruan" yang disebut bukan kebaruan, karena sudah pernah ada sebelumnya, tapi responnya biasa saja. Untuk saat ini, kebetulan booming karena sedang menemukan momen yang pas, dan momentum ini konsisten dijaga.
Satu hal yang sangat saya sayangkan di sini adalah, keduanya saling menjelekkan, dan merasa paling benar.
Yang memegang idealisme, memandang kualitas sebagai kunci, sementara yang berpandangan pragmatis terlihat bangga, karena nyaris rutin mengantongi pemasukan sebesar gaji standar pekerja kantoran di Jakarta.
Jumlah itu bisa ditabung cukup banyak, berdasarkan pengalaman saya selama bekerja dan kost di jantung kota Jakarta, sebelum corona menyerang.