Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

"Drama" di Kompasiana dan Napak Tilas Perjalanan

13 Agustus 2021   04:45 Diperbarui: 13 Agustus 2021   23:20 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang Kompasianer, saya termasuk Kompasianer mode "terbatas". Dalam artian, saya jarang melakukan "blogwalking", karena kebiasaan membaca cepat yang biasa saya terapkan, ternyata kurang efektif di gadget.

Mata menjadi mudah lelah, karena membaca dalam paparan cahaya konstan dari gadget ternyata menguras banyak tenaga. Alhasil, saya memilih fokus menulis dan membalas komentar yang masuk.

Dengan kondisi saya yang punya kelainan syaraf motorik bawaan, saya kadang harus melakukan beberapa langkah adaptasi. Mulai dari tidur sebelum dan sesudah menulis, sampai harus bersabar saat sedang menulis.

Penyebabnya, saya hanya bisa mengetik huruf per huruf, dan itu bisa sedikit dipercepat, dengan bantuan fitur teks prediktif.

Meski begitu, ketidaksinkronan antara ketikan di tangan, dengan rangkaian kata yang sudah jadi di dalam kepala masih terjadi. Biasanya, saat tangan saya baru selesai mengetik kalimat kedua, di dalam kepala ini sudah menuntaskan satu-dua kalimat berikutnya.

Sedikit membingungkan, tapi ini sudah saya alami sejak masih sekolah. Tak ada masalah, karena ini sudah biasa.

Jadi, saya tidak terlalu memikirkan, apakah tulisan saya dapat label headline, punya banyak orang yang memberikan vote, atau masuk bagian terpopuler. Apalagi, bereaksi pada tulisan atau "drama" yang terjadi.

Sederhananya, bisa menyelesaikan satu tulisan sampai tuntas, dan menayangkannya dengan lancar sesuai aturan saja sudah melegakan. Selebihnya, terserah pembaca dan admin.

Praktis, interaksi dengan sesama Kompasianer lebih banyak saya lakukan di media sosial, event rutin komunitas, atau event Kompasiana, seperti Kompasianival, baik online atau offline.

Sekali waktu, saya juga sempat berkunjung langsung ke markas Kompasiana di bilangan Palmerah, saat masih jadi anak rantau di Jakarta. Dari situ, saya bisa bertemu langsung dengan para admin dan mengintip sekilas suasana di dapur Kompasiana.

Meski paduan caranya tak biasa, saya bersyukur karena pada prosesnya bisa mengenal para senior seperti Prof Pebrianov, fans Timnas Indonesia yang ternyata masih satu almamater di universitas, dan Pak Yon Bayu, eks wartawan yang nyentrik.

Meski mereka punya banyak jam terbang dan ilmu di dunia tulis-menulis, tak ada gap generasi. Mereka begitu cair, kadang tak sungkan memberi masukan dan saran secara personal, termasuk dalam hal yang sifatnya teknis.

Itu baru dua Kompasianer, belum termasuk Kompasianer-Kompasianer lain, yang punya berbagai latar belakang. Mereka tak bisa saya sebutkan satu persatu saking banyaknya.

Tapi, dari gaya menulis dan interaksi keduanya, ada satu hal yang bisa ditarik. Mereka tak akan rempong menulis sebuah "drama" antarpenulis di Kompasiana, kecuali jika ada yang memang perlu disampaikan lewat tulisan atau secara terbuka.

Kebetulan, dalam dua hari terakhir, Prof Peb dan Pak Yon secara berurutan menyuarakan pendapat mereka tentang drama ini, dengan gaya masing-masing.
 
Inilah yang membuat saya tergelitik untuk ikut berbicara lewat tulisan ini. Sekalian kilas balik perjalanan selama hampir lima tahun di Kompasiana.

Dari pengamatan saya, drama ini bermula dari perbedaan pandangan antara dua Kompasianer centang biru, yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan, karena memang pada dasarnya beda alam, menurut saya.

Saya sebut demikian, karena yang satu membahas soal idealisme dalam hal menulis, sementara yang lainnya membahas soal "kebaruan" dengan cara pandang cenderung pragmatis, yang dia hadirkan di rumah biru ini, disamping tulisan lintas topik yang sama-sama mereka hadirkan.

Sebenarnya "kebaruan" yang disebut bukan kebaruan, karena sudah pernah ada sebelumnya, tapi responnya biasa saja. Untuk saat ini, kebetulan booming karena sedang menemukan momen yang pas, dan momentum ini konsisten dijaga.

Satu hal yang sangat saya sayangkan di sini adalah, keduanya saling menjelekkan, dan merasa paling benar.

Yang memegang idealisme, memandang kualitas sebagai kunci, sementara yang berpandangan pragmatis terlihat bangga, karena nyaris rutin mengantongi pemasukan sebesar gaji standar pekerja kantoran di Jakarta.

Jumlah itu bisa ditabung cukup banyak, berdasarkan pengalaman saya selama bekerja dan kost di jantung kota Jakarta, sebelum corona menyerang.

Sebagai penulis amatiran yang kadang absen mendapat K-Rewards, pendapatan saya secara material di sini mungkin cuma seiprit dibandingkan sang juara satu. Tapi, apa yang sudah saya dapat jauh melebihi nilai rupiah yang tercantum di akun saya.

Saya masih ingat betul, bagaimana K-Rewards yang dulu saya dapatkan rutin saya kumpulkan, untuk modal berangkat merantau ke Jakarta sendirian.

Jumlahnya tak seberapa, tapi terkumpul lebih dari cukup, saat digabungkan dengan pemasukan dari pekerjaan tulis-menulis di tempat lain.

Sebuah usaha yang terlihat remeh, tapi hasilnya sungguh menggembirakan. Apalagi, semua itu berawal dari menulis di Kompasiana.

Di luar itu, saya juga mendapat banyak relasi, pengalaman, dan diterima dengan baik, terlepas dari kondisi fisik saya. Semua itu, terutama yang disebut terakhir, nilainya sulit diukur dengan angka.

Jadi, membanggakan angka jelas bukan sesuatu yang pas. Kita memang butuh uang di zaman sekarang, karena idealisme kadang lupa memberi makan, tapi, jika konteksnya adalah menulis, itu lain urusan.

Setiap orang punya cerita dan perjalanan masing-masing, Tak bisa dibandingkan secara apple to apple.

Saat "drama" seperti ini terjadi, mungkin inilah saatnya kita kembali bertanya, apa tujuan kita menulis. Jika jawabannya adalah "demi idealisme" atau "demi cuan", tak ada yang salah, semua benar sesuai porsinya, begitupun jika semua jadi jawabannya

Saat tujuannya sudah teridentifikasi, kita perlu bertanya lagi, sebagai siapa kita menulis di sana. Apakah sebagai diri sendiri, atau sebagai ego kita.

Kalau kita menulis sebagai diri sendiri, tentunya kita tak akan mau buang waktu menjelekkan tulisan dan capaian orang lain, karena fokus bereksplorasi. Kalaupun terpaksa dilakukan, itu hanya dilakukan jika memang ada yang salah. Bentuknya berupa masukan konstruktif, bukan hujatan atau caci-maki.

Dari sinilah, kita bisa lebih berkembang, berkelanjutan, bahkan memberi dampak positif.

Kalau kita menulis sebagai ego kita, mungkin rasanya akan sedikit melelahkan. Selalu ada kekurangan orang lain yang bisa dikritik, beserta obsesi pada angka atau hal-hal semacam itu, karena merasa dirinya paling sempurna.

Padahal, kalau itu terus-menerus diikuti, tak ada ujungnya. Bukannya bertumbuh kembang, malah hanya akan jadi bonsai. Tidak mati, tapi layu, merana perlahan-lahan.

Pada akhirnya, itu semua kembali ke diri sendiri. Apapun pandangannya sah-sah saja, selama tak memaksakan itu ke orang lain. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, karena semua seharusnya setara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun