"Kesalahan besar macam apa yang kamu buat di kehidupan lalu, sampai jadi seperti ini?"
Aku hanya memilih diam, kalaupun akhirnya harus menjawab, aku hanya akan balik bertanya,Â
"Apa kalian ini pemegang kunci surga?"
Pertanyaan ini mungkin terdengar kejam, tapi rasanya setimpal dengan pertanyaan yang kudapat. Mereka berani bertanya seperti itu, jadi seharusnya siap jika ditanya balik dengan pertanyaan yang sama.
Sederhananya, aku hanya menyesuaikan, dengan apa yang kuterima. O ya, di tempat yang konon katanya sangat berbudaya ini, diskriminasi kadang bisa jadi begitu canggih, karena diperhalus sedemikian rupa.
Saking halusnya, tak semua orang akan langsung menyadarinya. Inilah yang sering membuat repot, karena mereka tak merasa salah, bahkan bisa balik menyerang dengan entengnya.
"Ah, ternyata kamu mudah tersinggung."
"Aku tak bermaksud membuatmu sakit hati."
Dan entah apa lagi.
Hal-hal semacam ini, memang sering berbuah tak baik, karena jadi penghakiman terselubung. Ini bukan kejutan, karena diskriminasi sudah jadi pola pikir yang membudaya, bahkan sampai ke alam bawah sadar.
Mereka akan sakit hati jika dibegitukan, tapi terbiasa dan terbudaya bersikap begitu kepada yang lemah. Kalau mereka cukup waras, tidak seharusnya kekurangan orang lain diobok-obok, selagi mereka sendiri masih belum sempurna.