Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Past Life

30 April 2021   19:59 Diperbarui: 30 April 2021   20:02 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Huffpost.com)

"Mungkin kamu melakukan satu kesalahan fatal di kehidupan sebelumnya."

Itulah satu praduga yang biasa kudengar, terkait alasan keadaan tubuh ini. Bukan pertama kalinya kudengar, dan jujur ini lama kelamaan membuatku muak.

Aku tak asing dengan praduga macam ini. Aku lebih memilih diam, karena agama yang kuyakini tak mengajarkan itu.

Kalau memang masalah itu yang jadi penyebab, itu bukan porsiku sebagai manusia untuk melangkah lebih jauh. Ada kuasa jauh lebih besar, yang berhak menakar dan memutuskan hal itu.

Hal itu tak mungkin kulangkahi. Kalaupun diberi kesempatan untuk mengetahui, lebih baik diam. Kebetulan, aku sudah pernah diperlihatkan, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Apa yang kulihat di sana, persis tayangan video di YouTube.

Tapi, jujur saja, mengetahui hal-hal semacam itu, bukan hal yang benar-benar penting. Apalagi, jika "Past Life" itu dikorelasikan dengan cacat fisik.

Bagaimana kalau kenyataan berkata lain? Bagaimana kalau itu membuat orang berpikir hidupnya sia-sia? Maukah mereka yang membicarakan itu membantu membereskan masalah?

Bagiku, hal-hal semacam ini kadang terlihat menjijikkan, karena justru bisa menjadi racun. Lebih menyakitkan lagi, jika pemahaman tak utuh  akan hal-hal semacam ini, justru jadi satu alasan langgengnya sebuah diskriminasi.

Aku masih ingat, seberapa banyak tatapan tak suka yang kudapat karena tubuh ini, berapa banyak orang yang berkata "amit-amit jabang bayi", seolah aku seorang penjahat kelas kakap, atau makhluk halus yang menampakkan diri.

Selama bertahun-tahun, aku sudah menerimanya, lengkap dengan ejekan dan tingkah gila para perundung. Nyaris seorang diri.

Jadi, saat ada yang bertanya,

"Kesalahan besar macam apa yang kamu buat di kehidupan lalu, sampai jadi seperti ini?"

Aku hanya memilih diam, kalaupun akhirnya harus menjawab, aku hanya akan balik bertanya, 

"Apa kalian ini pemegang kunci surga?"

Pertanyaan ini mungkin terdengar kejam, tapi rasanya setimpal dengan pertanyaan yang kudapat. Mereka berani bertanya seperti itu, jadi seharusnya siap jika ditanya balik dengan pertanyaan yang sama.

Sederhananya, aku hanya menyesuaikan, dengan apa yang kuterima. O ya, di tempat yang konon katanya sangat berbudaya ini, diskriminasi kadang bisa jadi begitu canggih, karena diperhalus sedemikian rupa.

Saking halusnya, tak semua orang akan langsung menyadarinya. Inilah yang sering membuat repot, karena mereka tak merasa salah, bahkan bisa balik menyerang dengan entengnya.

"Ah, ternyata kamu mudah tersinggung."

"Aku tak bermaksud membuatmu sakit hati."

Dan entah apa lagi.

Hal-hal semacam ini, memang sering berbuah tak baik, karena jadi penghakiman terselubung. Ini bukan kejutan, karena diskriminasi sudah jadi pola pikir yang membudaya, bahkan sampai ke alam bawah sadar.

Mereka akan sakit hati jika dibegitukan, tapi terbiasa dan terbudaya bersikap begitu kepada yang lemah. Kalau mereka cukup waras, tidak seharusnya kekurangan orang lain diobok-obok, selagi mereka sendiri masih belum sempurna.

Jadi, bukan kejutan lagi kalau diskriminasi masih ada dimana-mana, bahkan untuk hal-hal seperti "Past Life", yang sebenarnya belum tentu benar. Kalaupun benar, seharusnya itu tak akan meracuni, karena hanya jadi tontonan, dengan manusia sebagai penonton.

Tak ada yang bisa dilakukan, cukup tahu saja dan diam, karena manusia tetaplah manusia yang hanya bertugas menjalani semuanya sampai akhir. 

Kalaupun ada berkat untuk boleh mengetahui, itu seharusnya bukan untuk diumbar, apalagi jadi alat menghakimi orang lain. Konyol rasanya, kalau perkara batin diumbar layaknya berita gosip. 

Apalah artinya kehidupan lalu yang gemilang, jika kehidupan kini begitu suram, selagi kehidupan mendatang tak jelas juntrungannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun