Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiga Ruang

25 Desember 2019   15:12 Diperbarui: 25 Desember 2019   15:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa boleh buat, aku harus rela menjalani hidup sebagai pekerja serabutan, lengkap dengan segala kepahitannya; mulai dari penghasilan tak menentu, sampai mendapat cap tak enak sebagai "pengangguran". Tunggu, mana ada pengangguran yang punya sedikit penghasilan?

Dalam situasi tak menentu, aku sempat mendapat kesempatan merintis usaha patungan bersama teman. Saat itu, aku melihat ini sebagai sebuah jawaban atas semua ketidakmenentuanku. Menjadi wirausaha, dan dipandang orang jika sukses, siapa tak mau? Untuk sesaat, aku terbuai dalam bayangan mimpi manusia kekinian: menjadi wirausaha.

Sayang, mimpi hanyalah mimpi. Usaha patungan itu ternyata hanya modus tipu-tipu. Uang yang kutabung susah payah dibawa lari. Bahkan, aku hampir saja diseret ke dalam permainan kotor, yang tak lebih dari satu usaha mereka untuk memerasku lebih jauh.

Teror dan gangguan demi gangguan terus kudapat dan harus kuhadapi sendirian. Semua itu membuatku makin sengsara. Hidup tak tenang, uang tak ada. Tubuh lemah ini juga membuatku tak berdaya; melawan tak bisa, diam makin sengsara. Padahal, merekalah yang seharusnya takut, karena membawa lari milik orang lain.

Pada akhirnya, mimpi buruk itu berakhir, segera setelah aku merelakan semua uang itu pergi. Ini menjadi tragedi dan luka berikutnya buatku. Dalam deraan rasa sakit teramat sangat, aku memutuskan, suatu hari nanti, aku harus pergi.

Setelah melewati masa sulit itu sendirian, akhirnya aku mendapat jalan keluar dari Kota Klasik. Tak tanggung-tanggung, aku mendapat kesempatan merantau ke Ibukota, hidup sendiri sebagai anak kost.

Meski harus hidup sendiri, entah kenapa aku justru menemukan rasa nyaman, yang sudah lama sekali tak kujumpai. Benar, aku menjalani hari-hari melelahkan di sini, ditemani kemacetan dan absurditas khas Ibukota.

Tapi, aku bersyukur, karena sang waktu terus menuntun langkah kaki rapuh ini, menemukan satu persatu harta berharga, yang tersusun layaknya kepingan puzzle. Ada teman, ada keluarga, semua bergantian mengisi hari-hariku di sini. Rasa lelah selalu terobati dengan istirahat, seperti halnya rasa sakit. Kata "pulih" yang dulu terlihat begitu lambat, kini bisa bergerak sangat cepat.

Di sini, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa "utuh" sebagai seorang manusia. Semua kepahitan yang sudah kualami di Kota Klasik membuatku kehilangan banyak rasa rindu padanya. Banyak orang bilang, setiap sudut Kota Klasik penuh kenangan dan terbuat dari rindu, tapi, aku tak sepenuhnya setuju.

Benar, selain semua kenangan pahit itu, aku juga punya kenangan manis di sana. Inilah yang membuat Kota Klasik seperti segelas kopi susu buatku. Tapi, aku tidak hidup di alam kenangan, aku juga bukan seorang yang layak dikenang bagai pahlawan. Aku hanya layak diingat, jika orang lain berpendapat demikian. Aku hanya seorang "nobody", bukan "somebody".

Lagipula, aku tak berasal dari Kota Klasik, aku lahir dan menghabiskan masa kecil di Kota Dingin. Bagiku, disanalah kata "rindu" dan "pulang" menemukan kesejatiannya, karena dari sanalah semua dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun