Untuk masalah kedua, akhirnya aku bisa meledakkan semua amarah yang sudah kubendung selama hampir dua tahun. Entah dapat nyali dari mana, aku berani menggugat ulah mereka. Dalam gelombang amarah tak tertahankan, aku bertanya, "Andai badanku normal, apa aku masih akan kalian beginikan juga?".
Cukup satu pertanyaan, tapi hari itu aku tetap menangis sesampai di rumah. Ada dua rasa di hatiku. Di satu sisi, aku bersyukur, amarah yang selama ini ingin aku keluarkan bisa meledak tanpa sisa, layaknya letusan Gunung Merapi saat sedang "punya gawe". Ironisnya, di sisi lain, aku merasa sangat menyesal, karena bisa (dan sudah) berbuat sekejam itu kepada mereka.
Kesan "kejam" dari pertanyaanku saat itu kudapat, karena aku melihat sendiri, segera setelah pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutku, wajah para perundung itu tampak terguncang. Mungkin mereka tak menyangka, aku si tubuh lemah yang masih jomblo ini, ternyata masih bisa marah besar dan memukul balik mereka, hanya dengan satu pertanyaan. Gila!
Saking terguncangnya, aku ingat, mereka sama sekali tidak berkata sepatah katapun selama beberapa hari. Mereka baru berkata-kata lagi, saat ujian akhir mendekat. Semuanya meminta maafku dengan penuh penyesalan, bahkan ada yang sampai berlinang air mata.
Ya, kalian benar, aku memaafkan mereka semua. Tapi, aku butuh waktu sedikit lebih lama, untuk berdamai dengan semua memori pahit itu. Inilah yang membuatku tak pernah sempat memikirkan cinta, sampai pesan dari Opa itu datang tepat setahun setelahnya.
Dua: Cinta
"Setiap makhluk hidup diciptakan Tuhan berpasang-pasangan. Papa rasa kamu sudah cukup dewasa. Kamu boleh cari pacar mulai sekarang."
Begitu pesan Papa saat kami sedang makan sore, beberapa hari setelah pesan Opa itu kuterima. Kebetulan? Entahlah.
Buat kebanyakan orang, terutama mereka yang sudah kebelet pacaran, pesan Papaku tadi mungkin akan dirayakan dengan meriah. Minimal, ada kegembiraan yang bakal awet selama beberapa hari.
Tapi, jika ada yang bertanya kepadaku, apa yang kurasakan, mari kujawab.
Gembira? Sedikit.
Kaget? Sangat!
Bingung? Pastinya.
Jelas, setelah semua gonjang-ganjing yang kulewati nyaris sendirian, aku merasa kosong saat mendapat "lampu hijau" itu. Aku tak tahu harus mulai dari mana atau berbuat apa.