Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiga Ruang

25 Desember 2019   15:12 Diperbarui: 25 Desember 2019   15:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gampang, kamu bisa suruh dia membungkuk atau menekuk kakinya. Kalo ternyata dia enggan, kalian tak perlu kencan.", Bin melengos pergi sambil tersenyum sinis.

Ternyata, percakapan ini dimanfaatkan Bin untuk membuat gosip: aku menyukai Gadis. Perlu beberapa waktu untuk membereskan ini. Aku sendiri sempat mendapati, Gadis marah padaku. Bahkan, akun medsosku sempat diblokir, sebelum akhirnya ia tahu, ini hanya gosip tak penting.

Sebelumnya, aku juga pernah beberapa kali menerima  gosip serupa. Sekali waktu, pernah aku dikaitkan dengan Imel, Si Sosialita, di lain waktu, aku dikaitkan dengan Emma, Si Manis Bersuara Rocker, dan entah siapa lagi. Saking seringnya, aku malas untuk mengingat. Semua selalu dimulai dan selesai tanpa jejak, dengan menghasilkan kerusakan yang mengganggu.

Inilah salah satu jenis "bullying" yang dulu biasa kuterima. Seperti biasa, untuk "bersenang-senang" mereka mempermalukan kejombloanku, sambil memperingatkanku secara halus, kalau tubuh rentaku adalah sebuah
"kelemahan alami nyaris sempurna" di mata para wanita. Jadi, aku dilarang, meski hanya sebatas bermimpi, untuk memiliki, meski sosok cantik selalu saja ada, dan mengisi hari-hari remaja dan mudaku di Kota Klasik.

Insiden gosip antara aku dan Gadis ini sempat membuatku enggan untuk berpikir soal cinta. Bagiku saat itu, cinta hanyalah sampah, karena kondisi fisik seseorang masih menjadi hambatan seperti halnya uang. Cinta memang butuh uang, tapi di usia remaja dan muda (belum bekerja), cinta dan uang hanya simbol hura-hura.

Masih ada begitu banyak hal yang jauh lebih penting, daripada menghabiskan uang hanya untuk kencan. Kalau memang pacaran itu hubungan berlandaskan "cinta" yang "dewasa", tak seharusnya seseorang rajin merengek minta uang, hanya untuk membayar ongkos kencan ke orangtuanya, seperti bocah minta dibelikan es krim. Jelas, merekalah yang kencan, bukan orangtuanya.

Inilah yang membuatku tertawa, karena masih ada rundungan datang, atas hal yang sebenarnya bukan urusan mereka. Apa perlunya?

Di sisi lain, aku marah, karena Bin masih berani menyerang kelemahanku, meski sebenarnya ia sama-sama masih jomblo, dan gerak-geriknya sangat gemulai seperti penari balet.

Sayang, tubuhku terlalu rapuh untuk marah, apalagi mengamuk di depannya. Apa boleh buat, semua kemarahanku ini terpaksa kusimpan. Seiring berjalannya waktu, kemarahan ini mengendap menjadi kegetiran nan traumatis.

Semua kegetiran ini tersimpan rapi di kepalaku, sampai kudapat "lampu hijau" dari Papa untuk mulai cari pacar. Lampu hijau itu sukses memaksaku memutar ulang semua memori pahit tentang cinta, lengkap dengan bumbu rasa minder.

Dalam perjalanannya, kegetiran ini menjadi awal dari kegagalan demi kegagalan, kesedihan demi kesedihan. Semua kembali kuhadapi sendirian dengan hati hancur, tanpa ada harapan pasti tentang kabar baik. Aku merasa, aku sungguh mengenaskan, berantakan, tanpa arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun