"Atau, kamu mau aku suruh Si Gadis menemanimu?"
Tawaran Bin yang satu ini sempat membuatku bergetar. Aku terdiam sejenak, jiwaku pergi sebentar ke alam lamunan. Maklum, Gadis adalah seorang Primadona, kulitnya putih mulus, tubuhnya proporsional, sikapnya pun anggun layaknya seorang putri bangsawan.
Terlepas dari sikapnya yang terkadang gesrek saat diajak bercanda, ia memang gambaran sosok wanita idaman; cantik, baik hati, mandiri, berotak encer, dan berasal dari kalangan berada. Tak heran, banyak pria rela mengantri hanya sebatas untuk berkenalan dengannya.
Secara pribadi, aku dan Gadis sebenarnya saling mengenal dan bertetangga, meski tak dekat. Sebagai seorang pria tulen, aku pun dengan jujur mengakui, ia benar-benar sukses membuat hati pria manapun berdesir tajam, hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Jadi, jangan tanyakan seperti apa rasa di dalam hati kami para pria tulen, jika ia mau membalas sapaan kami, apalagi sampai sudi menyapa dalam senyum dan sikap ramah.
Mungkin, inilah wujud Juwita, yang pernah digambarkan dalam lirik lagu "Juwita", yang legendaris itu
Selembut kurasakan tatapan rembulan
Kau dewiku bintang kejora
Tiada lagi cahaya kudamba
Mengusik kalbu dalam pesona
Andai saja tubuhku normal, dan hatiku saat itu tak sedang luka karena trauma, aku akan berani memikirkannya, meskipun aku tetap saja belum tentu berani melangkah lebih jauh, karena ia sungguh berkelas. Oke, aku bisa saja bermimpi jadi "Cinderella Boy.", Tapi dunia nyata tidak semudah itu, Luciano!
Saat aku kembali ke alam sadar, aku melihat Bin menatapku dengan nakal. Entah kenapa, sikapnya kini tampak sangat kontras dengan tubuh atletisnya.
"Hei, mukamu merah.", Tegurnya.
"Ah, enggak kok.", Elakku gugup.
"Kalo kamu mau, kamu bisa ajak dia. Aku dengar kalian bertetangga. Beruntung sekali.", Bin menggodaku.
"Tapi, aku sedikit lebih pendek dari dia.
Badanku pun begini. Apa tidak memalukan buatnya?", Aku mencoba jujur.
Rupanya, inilah kalimat "skakmat" yang ditunggu Bin keluar dari mulutku.