Saat aku menyukai seseorang, aku hanya bisa menangis pilu, karena semua selalu berawal dan berakhir menyedihkan. Di awal, aku menangis pilu, karena luka masa lalu dan rasa minder menyerangku tanpa ampun. Di akhir, aku kembali menangis pilu, karena mereka hanya merasa kasihan atau kagum, tanpa ada sedikitpun rasa di hati, persis seperti lirik yang terlantun di lagu "Hanya Memuji"
Kuakui tubuhku melunglai
Sempat kumemuji dalam hatiku
Jangan pikir aku kan mencinta
Ku hanya kagumi, hanya memuji
Situasi ini terus berulang, sampai aku sendiri akhirnya merasa lelah. Lagu itu seperti lagu wajib yang mereka "koor"-kan, tiap kali aku mencoba jujur kepada mereka soal perasaanku. Pada akhirnya, mereka menjebakku di area "friendzone", sebelum akhirnya menghapus total diriku dari ingatan mereka. Tanpa malu-malu lagi, mereka membuatku menjadi seperti makhluk astral; masih ada, tapi diperlakukan seperti sudah tiada. Sungguh kejam, lebih kejam dari pembunuh berdarah dingin.
Aku tahu, aku hanya menjadi aib buat mereka, khususnya dalam hal percintaan. Bagi banyak orang, punya "penggemar" bisa menjadi sebuah kebanggaan, tapi jika penggemarnya "buruk rupa" atau "buruk wujud", itu bisa membuatnya jadi bahan tertawaan.
Setidaknya, penolakan seperti ini masih lebih baik, daripada dipaksa kalah sebelum bertanding, akibat keduluan para lelaki kaya nan manja. Meskipun, keduanya selalu menyisakan rasa sakit tanpa berdarah di hati.
Pada akhirnya, kegetiran yang kualami makin lengkap, setelah Opa berpulang dua tahun setelah memberiku pesan:
"Jangan sampai kamu tidak menikah."
Pesan itu sebenarnya adalah satu penyemangat sekaligus tekanan buatku untuk mau berjuang lebih keras. Â Sayang, aku harus rela menanggung sendiri begitu banyak luka. Luka itu terus bertambah sebelum sempat diobati. Semakin aku berusaha, semakin banyak pula luka yang kudapat.
Semua rasa sakit itu seolah tak henti melantunkan lirik lagu "Dari Sebuah Mimpi Buruk", yang membuat semua terasa kian getir:
Jika ku sandingkan ku dengannya
Tiada habis lara
Yang ada hanya tangis belaka
Dan berbuah luka
Pilu nyatanya
Memar hatiku
Oh rentannya aku
Sungguh malu
Runtuh...
Runtuh...
Runtuh...
Dalam deraan segudang rasa sakit, hatiku hanya bisa bertanya: