Bapak Yanto Oematan (52 tahun), salah seorang peternak kerbau Timor dari Desa Tanah Putih yang dilibatkan dalam penelitian partisipatif ini mengungkapkan data yang memperlihatkan adanya penurunan populasi kerbau di desanya saat ini (2024) sebanyak 43 ekor dari 3000-an ekor pada tahun 1970.
Sedangkan populasi di dua desa yang lain, penurunan terjadi sangat drastis hingga kini tinggal masing-masing belasan ekor saja. Menurut Yanto Oematan, selama 50 tahun terakhir, kerbau di desanya berkurang sebanyak 2.957 ekor.
"Di tahun 1990-an hampir setiap hari kerbau mati beruntun. Pada hal waktu itu, saya punya kerbau sekitar 1000 ekor," kisahnya.
"Bagi kami orang Timor, kepemilikan kerbau menjadi ukuran status sosial. Mereka yang punya kerbau, apalagi banyak ekor, tidak bisa dipandang remeh dalam masyarakat. Sebab kerbau itu mahal harganya, terutama pada saat urusan-urusan adat."
"Karena itu, semakin banyak kawanan kerbau yang dimiliki seseorang, semakin tinggi status sosial orang yang bersangkutan," kata bapak Yanto menjelaskan.
Jadi kerbau menunjukkan status sosial seseorang.
Dari kerbau juga diperoleh protein hewani berupa daging dan susu segar. Setiap hari seekor kerbau betina produktif menyumbang kurang lebih 15 liter susu segar.
Selain itu, kerbau mempunyai kegunaan lain sebagai tenaga kerja. Pada masa itu kerbau dijadikan alat untuk membajak sawah dan menarik gerobak pengangkut hasil panen dari kebun atau sawah.
Namun kini, apakah semua itu akan tinggal menjadi kenangan?
Sebab-Sebab Anjloknya Populasi Kerbau
Menurut laporan penelitian itu sekurang-kurangnya ada empat alasan sebab anjloknya populasi kerbau di Timor, yaitu: