Dampak Perubahan Iklim Terhadap Turunnya Populasi Kerbau Timor
Dampak Perubahan IklimÂ
Perubahan Iklim global berdampak pada berbagai sektor kehidupan. Perubahan itu menghantam berbagai sumber penghidupan masyarakat manusia. Tidak terkecuali ternak peliharaan mereka termasuk kerbau.
Baru-baru ini sebuah penelitian mengungkap populasi kerbau di Timor anjlok karena adanya perubahan iklim tersebut.Â
Boleh dibilang bahwa di Nusa Tenggara Timur, perubahan iklim sangat terasa pada mata pencaharian penduduk, khususnya kehidupan penduduk akar rumput, yaitu para petani peternak, termasuk populasi kerbau di pulau Timor.
Bagi masyarakat akar rumput di pulau karang ini, ternak sapi dan kerbau merupakan dua ternak besar yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat.
Dari generasi ke generasi, warga petani dan peternak Timor sangat akrab dengan tugas sebagai gembala sapi dan kerbau. Mereka menggembalakan sapi dan kerbaunya di padang penggembalaan yang terdiri dari savana rumput dan belukar.Â
Hutan kecil yang diselingi dengan padang rumput. Di sana ada juga sungai dan kali kecil dengan sedikit air yang cukup untuk menjadi kubangan sapi dan kerbau.
Biasanya ternak-ternak itu setelah merumput dan kenyang, mereka mencari sumber air yang dekat, sekedar untuk minum dan berbaring. Namun, kini populasi kerbau Timor pun mulai anjlok seiring perubahan iklim yang terjadi.
Mungkinkah perubahan iklim itu berdampak pada anjloknya populasi kerbau di pulau Timor ini? Tulisan ini mencoba menelusuri untuk menemukan dampak perubahan iklim dan sebab-sebab anjloknya populasi kerbau di pulau Timor ini.
Populasi Kerbau TimorÂ
Secara umum, populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya sebesar 3%.
Jika tidak ada perhatian dari pemerintah, maka populasi kerbau di Indonesia berpotensi terancam punah.
Ada pun populasi kerbau di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga kini berdasarkan BPS NTT tahun 2021 yang diperbaharui per-24 Februari 2024, sebagai berikut:
Sumba Timur: 30.905 ekor;Â
Sumba Barat: 7.191 ekor;Â
Kupang: 2.078 ekor;Â
Timor Tengah Selatan: 342 ekor;Â
Timor Tengah Utara: 861 ekor;Â
Belu: 305 ekor;Â
Malaka: 498 ekor.
Pulau Timor sebagai pulau savana pernah mengalami kejayaan karena memiliki populasi ternak, dalam hal ini sapi dan kerbau karena sebagian besar masyarakat Timor memiliki pekerjaan sebagai petani peternak.Â
Pada suatu waktu tertentu pernah terungkap bahwa rata-rata setiap rumah tangga memiliki ternak peliharaan minimal satu ekor sapi. Karena itulah maka pulau Timor pernah tercatat sebagai pulau pengekspor sapi terbanyak di nusantara.
Namun seiring bertambahnya waktu dan kemajuan zaman, populasi ternak khususnya sapi dan kerbau Timor mengalami penurunan.
Semakin menurunnya populasi kerbau di Timor terungkap dalam sebuah riset yang dilakukan belum lama ini.
Peneliti dari Bengkel Apek Nusa Tenggara Timur mengungkap hal tersebut dalam sebuah persentase hasil riset Koneksi (Knowledge Partnership Platform Australia-Indonesia) untuk lingkungan dan perubahan iklim, pada pekan terakhir Agustus 2024 di kota Batu, Malang, Jawa Timur oleh Universitas Mataram (Unram) bersama koalisi perisetnya.
Peneliti Vinsen Bureni dari Bengkel Apek, pada 23 Agustus 2024 di Club Bunga Hotel, Batu, Malang mengungkap anjloknya populasi kerbau Timor.
"Populasi kerbau di kabupaten Kupang saat ini berkurang sangat jauh," katanya.Â
Dalam riset partisipatif yang melibatkan para peternak kerbau ini menyebutkan bahwa anjloknya populasi kerbau Timor adalah sebuah realitas yang ditemukan yang punya korelasi kuat dengan perubahan iklim yang terjadi belakangan ini.
Ada pun populasi kerbau yang diteliti menyebar di 3 kedesaan di kecamatan Kupang Timur yaitu Desa Tanah Putih, Kelurahan Merdeka, dan Desa Olatomo.Â
Dalam penelitian itu mereka mengukur penurunan populasi kerbau di Timor ini menggunakan metode partisipatif, antara lain penelusuran alur sejarah populasi kerbau di Timor yang dimulai dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2024.
Bapak Yanto Oematan (52 tahun), salah seorang peternak kerbau Timor dari Desa Tanah Putih yang dilibatkan dalam penelitian partisipatif ini mengungkapkan data yang memperlihatkan adanya penurunan populasi kerbau di desanya saat ini (2024) sebanyak 43 ekor dari 3000-an ekor pada tahun 1970.
Sedangkan populasi di dua desa yang lain, penurunan terjadi sangat drastis hingga kini tinggal masing-masing belasan ekor saja. Menurut Yanto Oematan, selama 50 tahun terakhir, kerbau di desanya berkurang sebanyak 2.957 ekor.
"Di tahun 1990-an hampir setiap hari kerbau mati beruntun. Pada hal waktu itu, saya punya kerbau sekitar 1000 ekor," kisahnya.
"Bagi kami orang Timor, kepemilikan kerbau menjadi ukuran status sosial. Mereka yang punya kerbau, apalagi banyak ekor, tidak bisa dipandang remeh dalam masyarakat. Sebab kerbau itu mahal harganya, terutama pada saat urusan-urusan adat."
"Karena itu, semakin banyak kawanan kerbau yang dimiliki seseorang, semakin tinggi status sosial orang yang bersangkutan," kata bapak Yanto menjelaskan.
Jadi kerbau menunjukkan status sosial seseorang.
Dari kerbau juga diperoleh protein hewani berupa daging dan susu segar. Setiap hari seekor kerbau betina produktif menyumbang kurang lebih 15 liter susu segar.
Selain itu, kerbau mempunyai kegunaan lain sebagai tenaga kerja. Pada masa itu kerbau dijadikan alat untuk membajak sawah dan menarik gerobak pengangkut hasil panen dari kebun atau sawah.
Namun kini, apakah semua itu akan tinggal menjadi kenangan?
Sebab-Sebab Anjloknya Populasi Kerbau
Menurut laporan penelitian itu sekurang-kurangnya ada empat alasan sebab anjloknya populasi kerbau di Timor, yaitu:
1. Perubahan Bentangan Alam Timor
Berkurangnya populasi kerbau Timor antara lain disebabkan oleh perubahan bentangan alam Timor yang merupakan ekosistem kehidupan kerbau.
Penelitian mengungkapkan bahwa perubahan bentang alam karena dari tahun ke tahun curah hujan semakin berkurang, di samping itu terjadinya alihfungsi lahan. Padang penggembalaan kerbau semakin sempit oleh aktivitas penduduk.Â
2. Dampak Perubahan Iklim
Semakin berkurangnya curah hujan setiap tahun dapat menyebabkan terjadinya kekeringan. Dampak kekeringan itu bukan hanya dialami manusia, tetapi juga ternak, termasuk kerbau.
Curah hujan yang terus menerus berkurang dari tahun ke tahun menyebabkan kekeringan air pada kubangan-kubangan kerbau. Satu kebiasaan yang ada pada kerbau adalah berkubang. Dan kubangan sama dengan air.
Boleh disaksikan saat ini hampir tidak ada lagi bekas kubangan kerbau di Timor. Pada hal dulu, kubangan kerbau sekaligus menjadi semacam cekdam untuk menampung air pada saat musim hujan. Inilah dampak perubahan iklim pada semakin berkurangnya populasi kerbau Timor.
3. Alihfungsi Lahan
Dalam penelitian itu juga diungkapkan salah satu alasan semakin berkurangnya populasi kerbau karena selain kekurangan air, saat ini banyak dari kubangan-kubangan kerbau itu sudah beralihfungsi menjadi sawah yang menyingkirkan ternak kerbau.
"Alihfungsi lahan yang terjadi belakangan juga menyebabkan kubangan-kubangan kerbau berubah jadi sawah. Kerbau kehilangan tempat tinggalnya," kata Yanto Oematan.
4. Kurangnya Perhatian dari Pemerintah
Membanjirnya peternakan sapi, termasuk bantuan-bantuan dalam bentuk sapi dari pemerintah juga dianalisis dalam penelitian ini sebagai salah satu penyebab rendahnya perhatian pemerintah kepada para peternak kerbau.Â
Dengan kata lain, pemerintah lebih memberi fokus pada sapi sehingga mengurangi perhatian pada kerbau. Pada hal di pasar, harga kerbau jauh berbeda dengan harga sapi.
Rendahnya perhatian pemerintah kepada peternak kerbau turut mempengaruhi menurunnya populasi kerbau di Timor. Dengan demikian masa kejayaan kerbau semakin meredup seiring semakin bertambahnya perhatian kepada sapi.
Solusi yang Ditawarkan
Bagaimana upaya kita untuk mengembalikan kejayaan populasi kerbau di Timor? Sayangnya bahwa dalam penelitian itu tidak dibahas upaya-upaya untuk mengembalikan populasi kerbau di Timor. Meskipun demikian, malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak.Â
Kini kerbau hampir tidak dapat dijumpai lagi di Timor. Selain karena umur kebuntingan kerbau yang sangat lama yang tentu saja berpengaruh terhadap bertambahnya populasi kerbau, juga semakin berkurangnya akibat penyembelihan yang terus menerus.
Hasil penelitian Chantalakhana (1981) menyatakan umur beranak pertama kerbau di Indonesia berkisar 3,5-4,7 tahun. Lama kebuntingan kerbau 310-330 hari atau rata-rata 10-11 bulan.
Karena itu penulis menganjurkan kepada pemerintah untuk melindungi populasi kerbau di Timor dengan melakukan 'pelarangan' jual beli dan terlebih penyembelihan kerbau pada kurun waktu tertentu, supaya dengan itu bisa menambah atau mengembalikan kejayaan kerbau di Timor.
Dampak langsung dari perubahan iklim maupun kebijakan pembangunan sektor agraria, tidak saja mengubah matapenghidupan peternak dan petani, tetapi juga mengubah budayanya.
Anjloknya populasi kerbau berpengaruh juga pada berkurangnya budaya beternak kerbau. Bahkan anak-anak sekolah zaman sekarang tidak bisa melihat langsung kerbau di sawah, selain hanya melihat gambar kerbau.Â
Demikian pun budaya konsumsi susu segar produksi peternak kerbau, telah berubah menjadi budaya konsumsi susu kaleng.Â
Pada zaman dulu, ketika masih banyak kerbau di Timor, anak-anak Timor bermain sambil memeras susu segar pada pagi hari dan minum susu segar.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Atambua, 03.12.2024
Sumber Referensi:
Melkior Koli Baran, Anjloknya Populasi Kerbau Timor (Kabar Flobamora)Â dalam Majalag Flobamora, Edisi 109 Tahun keduabelas 2024, hlm. 20-21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H