Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ojol yang Mati Karena Kelaparan, Sebuah Ironi Sekaligus Pelajaran

15 September 2024   22:48 Diperbarui: 16 September 2024   00:19 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Solidaritas memberi makan/depositphotos

MEMBACA Topik Pilihan yang disampaikan Kompasiana baru-baru ini  bahwa di Medan, Sumatera Utara, seorang driver ojol meninggal dunia lantaran kelaparan akibat tak memiliki uang. Saat kejadian, driver tersebut tengah menerima orderan untuk membeli  sebuah makanan.

Saya secara pribadi merasa kaget dengan kejadian tersebut dan seakan-akan tidak percaya. Sebab pertama, bagaimana mungkin seorang Ojol bisa meninggal dunia karena kelaparan akibat tak punya uang. Memangnya manusia makan uang? Pada hal saat kejadian itu sang driver sedang menerima orderan untuk membeli sebuah makanan.

Kedua, bagaimana mungkin seorang Ojol bila mati kelaparan di tengah keramaian kota Medan yang penuh dengan berbagai macam merk makanan dan aneka rumah makan yang menjajakan makanan. Kematian ini ibarat tikus yang mati di tengah lumbung beras.

***

Meninggalnya Ojol di Sumatera Utara itu menjadi suatu tamparan kepada kemanusiaan kita. Pada hal, Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dan di Sumatera. 

Kota Medan dikenal juga sebagai Kota Melayu Deli. Yaitu sebuah sebutan yang mengacu pada Kesultanan Deli yang konon memegang kekuasaan sejak Perang Dunia II.

Apakah penduduk kota sebesar Medan itu tidak mampu memberikan makanan kepada satu orang Ojol sehingga ia harus meninggal dunia secara mengenaskan seperti itu?

Sekali lagi terhadap kematian Darwin Mangudut Simanjuntak (49 tahun) gara-gara antrean orderan customer pada Minggu (11/8/2024) itu menimbulkan 2 (dua) syak wasangka:

Pertama, Kurang Keterbukaan atau Sikap Tertutup dari sang Ojol.

Orang boleh saja mengejar uang setoran atau pun apa itu namanya, tetapi soal kesehatan dan makan sebenarnya harus bisa dikomunikasikan dengan orang lain. Apa lagi di kota besar seperti Medan. 

Kalau saja DMS itu seorang pribadi yang terbuka, ia bisa saja meminta makanan dari rumah makan terdekat. Bisa dalam bentuk BON atau kredit, yang akan dibayarkan atau dilunasi setelah menerima bayaran.

Ada banyak orang yang sebenarnya bisa membantu, kalau kita mau terbuka terhadap orang lain. 

Menurut Fimela.com, alasan paling umum seseorang takut bersikap terbuka adalah kekhawatiran terhadap penolakan. Sebelum ia mengungkapkan perasaannya, ia sudah terlebih dahulu membayangkan pasti ia akan ditolak. Ada semacam ketakutan bahwa orang akan berpikir buruk terhadap kita. Demikian yang dialami oleh sang Ojol. Karena itu terpaksa dia harus meregang nyawa akibat kelaparan.

Kedua, Lemahnya Nilai Rasa Sosial Masyarakat dan adanya egoisme dan individualisme 

Kehidupan di kota besar seperti di kota Medan telah dikuasai oleh sikap egoisme dan individualisme yang menyebabkan orang tidak pusing dengan orang lain. Hal tersebut menurut para pakar etika dan moral disebut lemahnya nilai rasa sosial kemasyarakatan.  

Ketika dalam suatu masyarakat terdapat sikap dan nilai rasa seperti ini maka sebenarnya kehidupan sosialnya telah terganggu. Sebab pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial (en sociale).

***

Kejadian ini merupakan suatu ironi. Ada orang yang mati karena kelaparan, sementara itu ada orang lain yang membuang-buang makanan.  Terhadap kejadian seperti ini, adakah sesuatu yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita ?

1.    Pesan Paus Fransiskus pada Hari Pangan Sedunia 2019

"Sungguh kejam, tidak adil dan paradoksal, pada masa kini ketika ada makanan untuk semua orang, tetapi tidak semua boleh mengaksesnya. Atau ada daerah di dunia di mana makanannya berlimpah-limpah, dibuang, dikonsumsi berlebihan atau dimanfaatkan untuk tujuan lain bukan untuk memenuhi kebutuhan." (Surat Paus Fransiskus kepada Mr. Qu Dongyu, Direktur Jenderal FAO pada 16 Oktober 2019 bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia).

2.    Paus Fransiskus mengecam kebiasaan membuang makanan

Dari Vatican City, Paus Fransiskus mengecam kebiasaan warga negara-negara Barat yang kerap menyisakan makanan mereka. Paus menyamakan kebiasaan itu seperti mencuri makanan dari orang miskin.

Pernyataan Paus tersebut disampaikan dalam kotbahnya pada peringatan  Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dicanangkan PBB.

Paus mengatakan: "Budaya membuang makanan membuat kita kehilangan sensitifitas. Kebiasaan ini sangat menjijikkan di saat banyak orang dan keluarga di seluruh dunia masih kelaparan dan kekurangan gizi."

"Dulu, nenek moyang kita sangat berhati-hati terhadap makanan dan tak pernah menyisakan makanan yang disantap. Konsumerisme membuat kita terbiasa melihat sisa makanan yang dibuang, yang menurut kita tak bernilai. Maka membuang makanan itu tak ubahnya dengan mencuri makanan dari meja orang miskin dan kelaparan".

3.    Organisasi Pangan Sedunia (WTP)

Berdasarkan data yang disampaikan Organisasi Pangan Sedunia (WTP) bahwa setiap tahun ada sebanyak 1,3 miliar sisa makanan dibuang begitu saja. Jumlah tersebut sama dengan sepertiga dari jumlah makanan yang diproduksi dunia selama satu tahun. Untuk itu WTP pada Hari Keamanan Pangan Sedunia tahun 2024 menghimbau masyarakat dunia untuk memperhatikan 6 (enam) hal berikut:

Satu: Meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah tentang pentingnya keamanan pangan.

Dua: Mendorong kolaborasi antara berbagai pihak untuk berbagi pengetahuan, praktik baik, dan sumber daya.

Tiga:  Mendidik konsumen tentang cara menangani makanan dengan aman.

Empat: Mendukung pembangunan ekonomi dengan memfasilitasi perdagangan dan akses pasar untuk produk pangan.

Lima: Mendorong inovasi dan perbaikan dengan mengembangkan teknologi dan praktik baru yang meningkatkan keamanan pangan.

Enam: Memperkuat sistem keamanan pangan.

***

Kematian DMS  memberikan pembelajaran tersendiri kepada kita "Mengapa  di sekitar kita masih ada yang kelaparan hingga kehilangan nyawanya" sementara kita yang lain mengalami kelebihan makanan sampai menyisakan makanan di piring hingga terbuang ke tempat sampah.

Sebagai warga masyarakat dan umat beragama seharusnya kejadian meninggalnya DMS tidak terjadi kalau  di antara sesama Ojol itu membangun komunitas, bukan hanya untuk mengumpulkan uang, tetapi membangun solidaritas di antara sesama Ojol, termasuk memberi makan kepada yang tak punya makanan.

Maka pendekatan komunitas Ojol yang dibangun tidak semata-mata pendekatan uang, tetapi terlebih dahulu membangun solidaritas di antara sesama anggota Ojol.

Untuk itu pemerintah dalam hal ini Ketenagakerajaan membantu memfasilitasi Komunitas Ojol untuk membentuk Koperasi Simpan Pinjam di antara mereka sehingga ketika seorang anggota kekurangan uang untuk membeli makan, ia bisa mendapatkan bantuan untuk itu.

Dengan demikian kejadian seperti yang dialami DMS tidak terjadi lagi ke depannya! Semoga bermanfaat.

Atambua: 15.09.2024

Sumber:

1. https://www.mirifica.net/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-pangan-sedunia-tahun-2019/

2. https://news.detik.com/berita/d-7376046/hari-keamanan-pangan-sedunia-7-juni-2024-tema-dan-cara-peringatinya

3. https://www.fimela.com/lifestyle/read/5684090/8-alasan-kita-takut-bersikap-terbuka-pada-orang-lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun