Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perbaikan Permohonan Gugatan Paslon 02 Bak Penderita Diabet Disuguhi Minuman Susu Kental Manis

17 Juni 2019   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2019   14:34 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPU, TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, dan banyak pihak keberatan atas perbaikan permohonan gugatan Paslon 02 atas hasil Pilpres 2019. Alasannya, hal tersebut tidak dikenal dalam hukum acara MK. Pakar hukum tata negara, Dr Bayu Dwi Anggono, juga menyatakan hal itu.

Bagi Bayu, Perbaikan permohonan pemohon dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres tidak dimungkinkan dilakukan. Sebab, bertentangan dengan hukum acara PHPU Pilpres yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu dan Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Menurut mereka, perbaikan tersebut menyalahi aturan. Bertentangan dengan ketentuan Pasal 475 UU Pemilu; Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2018 tentang tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilu; dan Peraturan MK No 4 Tahun 2008 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Pilpres.

Atas keberatan tersebut, Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan memang tidak diatur dalam aturan mana pun. Itu artinya tidak ada larangan, juga tidak diwajibkan. Ini merupakan otoritas hakim MK, katanya kepada media.

Sejalan dengan Fajar, Hakim MK, Suhartoyo, meminta pihak manapun agar semua tenang. Perbaikan permohonan tidak usah dipersoalkan. Suhartoyo menyarankan agar semua pihak percaya kepada majelis hakim MK.

"Semua serahkan kepada Mahkamah, nanti Mahkamah yang akan menilai secara cermat dan bijaksana dengan pertimbangan hukum yang bijaksana. Tidak perlu dipersoalkan," ujar Suhartoyo sebagaimana diwartakan Kompas.com.

Menurutnya, perbaikan permohonan belum tentu dijadikan pertimbangan. Semua hal tergantung pada pertimbangan dan musyawarah majelis hakim, katanya lagi.

Setelah mengikuti polemik tersebut, saya jadi penasaran. Saya ingin tahu mengapa hal itu dipersoalkan, dan apa bunyi aturannya. Setelah browsing, membaca, saya pun melakukan telaah sederhana.

Kesamaan di depan hukum

Pada tahapan pengajuan PHPU Pilpres yang diatur dalam urutan 1.c. Lampiran Peraturan MK No 1 Tahun 2019 perbaikan permohonan pemohon memang tidak diatur. Yang diatur hanya perbaikan permohonan pemohon pada PHPU DPR, DPRD, dan DPD sebagaimana tertuang pada urutan 3 pada lampiran Peraturan tersebut.

Untuk PHPU DPR, DPRD, dan DPD perbaikan dapat dilakukan setelah pemohon menerima APBL (Akta Permohonan Belum Lengkap). Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 jo Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan MK No 5 tahun 2018.

Pada Peraturan MK No 4 Tahun 2018, perbaikan permohonan pemohon tidak diatur sama sekali. Pada Pasal 10 hanya ditentukan lima tahap kegiatan dalam menyampaikan permohonan pemohon kepada MK. Di antara kelimanya, tak satu pun ada ketentuan yang memungkinkan tahap perbaikan permohonan.

Ketiadaan dasar hukum inilah yang membuat banyak pihak merasa keberatan terhadap perbaikan permohonan Paslon 02.

Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak diatur dalam hukum acara PHPU Pilpres? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, pembuat Peraturan MK khusus pada PHPU Pilpres lupa memasukkannya dalam peraturan. Hal ini bisa terjadi karena berbagai sebab juga. Bisa saja karena ketergesa-gesaan pembuat peraturan yang tak diiringi oleh pemeriksaan ketat sebelum diterbitkan, atau bisa disebabkan faktor lain.

Kedua, pembuat peraturan MK berpikir bahwa akibat yang muncul pada PHPU Pilpres dan Wapres jauh lebih serius daripada PHPU DPR, DPRD, dan DPD. Jangkauan akibatnya lebih luas, bersifat nasional. Sementara pada PHPU DPR, DPRD, dan DPD secara relatif terbatas pada pribadi atau partai.

Berdasarkan anggapan itu, pembuat Peraturan MK berpikir bahwa permohonan (para) pemohon pasti lebih serius. Akan disusun secara hati-hati, cermat, sehingga permohonan lebih sempurna, tanpa atau dengan sedikit kesalahan.

Namun, kedua hal itu hanyalah dugaan. Alasan yang sesungguhnya hanyalah pembuat Peraturan MK yang tahu. Persoalannya, mengapa hakim MK tetap memberikan kesempatan perbaikan permohonan kepada Paslon 02 tanpa dasar hukum? Apakah hakim MK tidak adil atau lebih condong memenangkan gugatan Paslon 02?

Tampaknya bukan itu alasannya. Ada beberapa kemungkinan pertimbangan hakim MK. Pertama, hakim MK bukan melulu tergantung pada apa yang diatur dalam aturan tertulis. Lebih dari itu. Mereka mengedepankan alasan filosofi berupa penegakan asas kesamaan hak di depan hukum.

Sangat mungkin MK berpikir jika perbaikan permohonan diberikan pada PHPU DPR, DPRD, dan DPD, maka tidak keliru kalau hal yang sama diberikan kepada pemohon PHPU Pilpres. Ini salah satu wujud kesamaan hak warga negara di depan hukum.

Kedua, MK sadar betul kenyataan bahwa manusia mustahil luput dari kekhilafan. Mustahil bisa bekerja secara sempurna. Peluang terjadinya kesalahan selalu ada. Atas dasar pikiran ini MK menilai akan lebih adil bila peluang perbaikan permohonan tetap diberikan sebagaimana diberikan pada PHPU DPR, DPRD, dan DPD.

Ketiga, dan yang tak kalah penting, majelis hakim MK memiliki diskresi sebagaimana para hakim dan pejabat negara pada umumnya. Diskresi ini dipakai untuk mengedepankan keadilan substantif daripada sekedar keadilan prosedural. Sebab, keadilan substantif itu lebih menyentuh keadilan yang sesungguhnya ketimbang keadilan prosedural.

Pertimbangan utama hakim

Bertolak dari alasan tersebut, TKN dan penasehat hukum Paslon 01 semestinya tak perlu risau. Suhartoyo sendiri bilang perbaikan permohonan kelak belum tentu dijadikan pertimbangan.

Mengapa? Karena penentu keputusan MK pada PHPU Pilpres tidak tergantung pada sempurna tidaknya permohonan secara fisik, melainkan pada substansi. Kendati tampilan fisik permohonan "wow", aduhai seperti Selena Gomes, Jennifer Aniston, Luna Maya, Syahrini, atau Nikita Willy, namun kalau antara pokok perkara (posita) dan permohonan (petitum) tak nyambung tetap saja tidak dikabulkan.

Di situlah titik kerapuhan gugatan Paslon 02. Jika disandingkan dengan Ketentuan Pasal 8 ayat (1), huruf b, angka 1-5, Peraturan MK No 4 Tahun 2018, permohonan pemohon paling parah di bagian 4 dan 5. Uraian no1-3 tentang kewenangan MK, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan tenggang waktu permohonan memang sudah bagus, rapi, klop dengan aturan. Tetapi uraian tentang posita di bagian 4 dan petitum pada bagian 5 banyak ngawurnya.

Yang ditentukan pada bagian 4 semestinya berisikan uraian, rincian tentang kesalahan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan termohon dan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon, sama sekali tidak terpenuhi. Padahal, inilah pokok persoalan yang wajib dibuktikan oleh pemohon.

Hal itu sudah tegas diatur pada Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu, yang menentukan bahwa "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden." Bukan yang lain!

Itulah sebenarnya dasar petitum pemohon agar MK membatalkan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan termohon. Apabila hasil perhitungan suara pemohon bisa dibuktikan, maka dengan mudah hakim MK membatalkan penetapan hasil perhitungan suara dari termohon. Dengan begitu, Paslon 01 bisa kalah dan Paslon 02 menang.

Tanpa data tersebut, maka uraian panjang tentang kecurangan yang juga tidak tak disertai bukti tak lebih dari bualan yang tak bermakna.

Kalau Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana memiliki data dan bukti tentang hasil perhitungan suara yang menurut mereka benar, sudah tentu petitum pemohon pada bagian 5 tak perlu muluk-muluk. Tak perlu terlalu banyak poin. Cukup berisikan enam pokok permohonan kepada MK berikut.

Satu, memohon mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya; Kedua, membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil perhitungan suara KPU. Tiga, memerintahkan KPU mencabut keputusan tentang penetapan hasil perhitungan suara KPU tersebut. Empat, memerintahkan KPU membuat surat keputusan tentang penetapan hasil perhitungan suara berdasarkan data pemohon, yang memenangkan Paslon 02. Lima, memerintakan KPU melaksanakan dan/atau patuh pada keputusan MK. Enam, menghukum termohon (KPU) untuk membayar biaya perkara (kalau ada).

Nyatanya, dalam petitum Paslon 02 pokok-pokok tersebut tidak dimohon secara logis dan tegas.

Hal tersebut sangat dipahami oleh majelis hakim MK. Setelah permohonan diperbaiki dengan menambah jumlah poin petitum, keadaaanya bukan tambah baik. Malahan makin parah. Mirip pasien penderita diabet. Kadar gulanya sudah mencapai 450, tapi masih disuguhi minuman jus nanas ditambah susu kental manis, merek nona manis. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun