Dua puluh detik kemudian menulis email dengan keyakinan 50 %, sendu, tapi aku tau ini tak boleh menyakiti dia, cukup aku saja yang merasakannya.
"Keindahan itu sejatinya adalah sebuah kebebasan, nikmatilah .....
Menikmati keindahan itu tidak dengan membelenggunya atas nama apapun, ikhlaskanlah ....
Kamu hanya perlu menjadi bayanganya .... Aku hanya akan menjadi bayanganmu"
“Tantri, aku mengucap terima kasih atas kejujuranmu, aku memancangkan ikhlas walau kutau itu perlu waktu. Sampai ada dermaga yang siap menerimaku berlabuh”.
Kaca itu retak, benar-benar retak. Kemudian waktu menjadi kejam dengan membuatnya lebih lambat buatku. Aku terajam oleh waktu.
Retak, dan sampai saat ini aku tak lagi bisa melihatnya tersenyum.
Oohh Kawan, aku merindukan senyumannya lagi, lebih pekat dari kerinduan selama 7 tahun ini. Taukah kerinduan seperti apa yang kurasakan? Kerinduan yang menyakitkan sekaligus membahagiakan.
Paradoks? Iya, entahlah, mungkin itulah Cinta, Cinta itu kadangkala rumit Kawan.
"Ata, kamu tak ikhlas?", hatiku protes.
Bukan, bukan, bukan ku-tak ikhlas. Aku hanya merindukannya. Dosakah itu?