“Merindu itu tak pernah bersahabat dengan Melukai”
Ini bukan karena aku tak ikhlas, aku hanya ingin melihat senyumnya lagi, demi masa lalu, demi persahabatan masa lalu. Ahh, ya, mungkin hatiku masih tertambat di situ, harap maklum aku belum menemukan dermaga yang tepat. Maafkan.
Berusaha berdamai dengan waktu, tapi aku tak kuasa mencegah jemari menari, menjentik dengan ajaib kalimat-kalimat penuh kerinduan di sosial media yang pasti dia baca juga.
"Ata, apa yang kamu lakukan? bukankah kamu telah memproklamirkan diri akan ikhlas? Kenapa jemarimu membabi buta dengan kata kerinduan?", aku bertanya sendiri.
Monolog jiwa berulang, "aku mengerti Kawan, larik-larik kerinduan penuh sayap itu untuk penyembuhanku. Jika larik bersayap itu, yang juga dia baca, menyakitinya, tentu dengan senang hati akan kuhentikan. Masalahnya aku tak tahu apakah dia gelisah dengan larik-larik kerinduanku? Jika iya, akan kuhentikan dan kucari penyembuhanku dengan cara lain. Tapi aku benar-benar tak tahu Kawan, bahkan suara riangnya tak lagi bisa kudengar secuilpun".
Aku rindu senyuman dan suara itu, tak terasa tiba-tiba hatiku menjadi sendu dan mataku pun sembap tak lagi bisa kukendalikan.
"Tantri, maafkan jika ini membuatmu gelisah"
Ya, kaca itu retak, tercerai berai tanpa ampun.
Di ujung kerinduan, aku merangkai ini untukmu Tantri, namamu yang tak pernah kusebut dengan eksplisit dalam kerinduanku di sosial media. Ini untukmu, lagi, sebuah monolog jiwa, hanya untukmu kawan tercintaku.
Kaca itu tak sengaja kujatuhkan, dia tak lagi utuh, dia retak
Tak bisa kuputar waktu, aku bukan penguasa waktu ... Andai kuasa itu atasku, akan kulempar ketaksengajaan itu dan membiarkanmu tetap utuh, indah