Dia memang seorang musisi yang berbakat, sukses, dan cantik. Sebuah paket lengkap seorang public figure yang membuat banyak orang tak sulit untuk sekadar memandangnya bahkan mendeklarasikan diri sebagai fans beratnya.
Namun dia juga kerap dihujat oleh karena kehidupan pribadinya. Dianggap sebagai "player" yang dengan mudahnya berganti-ganti teman lelaki, sekaligus menjadi diva yang nampak tak pernah sempurna secara penampilannya di mata banyak orang.
Ya, dia adalah Taylor Alison Swift atau lebih dikenal dengan nama Taylor Swift, seorang musisi yang lahir di Pennsylvania, Amerika Serikat 30 tahun yang lalu.
Mendulang sukses sejak usia 14 tahun dengan menjadi artis termuda yang direkrut Sony/ATV Music Publishing dan di usia 15 tahun mendapatkan kontrak rekaman pertamanya, Taylor Swift langsung menjadi America's Sweetheart berkat bakat dan pesonanya di atas panggung.Â
Di usianya yang ke-16 tahun, lagu yang ditulisnya sendiri bahkan memuncaki tangga lagu billboard US dan menjadikannya artis termuda yang memuncaki tangga lagu Billboard Hot Country Song.
Setelahnya, kita tahu bahwa Taylor  Swift lantas berkembang menjadi musisi kelas atas yang karya-karyanya selalu dinanti banyak orang di seluruh dunia.Â
Tapi, cukup sampai di sini pembahasan karir dan prestasi yang didapatkan oleh Taylor Swift, karena Miss Americana tidak hanya sekadar membahas prestasi Taylor Swift, melainkan juga kehidupan pribadinya.
"Obviously, i'm not a perfect person"-Â Taylor Swift
Setelah membaca beberapa paragraf pembuka tulisan ini, mungkin sebagian dari pembaca mengamini bahwa Taylor nampak seperti pribadi yang sempurna. Dia berprestasi sejak usia muda, bergelimang piala dan pengakuan atas kesuksesannya, kaya raya, bahkan selalu mendapatkan pria yang menjadi idaman banyak wanita.
Namun kutipan kalimat di atas yang diucapkan oleh Taylor Swift pada dokumenter Miss Americana tersebut seakan langsung menarik kita dari imajinasi akan sosok selebriti yang sempurna, kepada kenyataan bahwa Taylor Swift tidaklah sesempurna itu. Ia tetaplah manusia normal yang juga memiliki berbagai problem hidup yang kadang terlalu berat untuk dihadapi.
Menjadi official selection pada gelaran Sundance Film Festival 2019 yang lalu, film dokumenter yang disutradarai oleh Lana Wilson(The Departure) kemudian dilengkapi oleh penata musik Alex Sommers(The Circle, How To Train Your Dragon 2) serta Sinematografer Emily Topper yang memang sudah menjadi langganan sinematografer pada film atau serial dokumenter.
Dari sisi teknis nampak tidak ada masalah berarti. Karena baik musik latar yang digunakan untuk memberikan mood pada narasi yang diucapkan oleh Taylor Swift, hingga kemudian berpadu dengan musik ciptaan Taylor Swift yang semakin menegaskan suasana dan timeline pada sebuah cerita, menjelma menjadi kombinasi musik yang membuat penonton ikut larut dalam cerita sembari menikmati alunan nadanya.
Pun begitu dengan cara bertutur yang disampaikan Lana Wilson, dimana kerjasamanya dengan sinematografer Emily Topper mampu membuat perpaduan footage lama dan baru begitu artistik, serta membuat kita percaya bahwa Taylor adalah seorang manusia biasa.Â
Di mana perkembangannya hingga menjadi seperti sekarang ini adalah buah dari kerja keras dan konsistensinya terhadap suatu hal yang benar-benar dicintainya.
Bagaimana dinamika penceritaan Taylor yang dimulai dari gambaran dirinya di awal-awal karir hingga mencapai puncak kejayaan, lalu mendapatkan perundungan di dunia kerjanya, hingga kemudian mencoba bangkit kembali, tentu menjadi sebuah gaya bercerita yang menarik untuk diikuti. Positioning tiap sebab-akibat hingga punchline penutup sebuah konflik terasa pas, hingga membuat kita ikut bersimpati dan berempati pada tiap fase penceritaan Taylor.
Jika dari sisi teknis nampak tidak ada yang bermasalah, lantas bagaimana dengan isi yang ingin disampaikan oleh dokumenter ini? Apakah worth untuk disaksikan?
Jawabannya tentu saja, "iya, sangat worth". Karena setidaknya ada 4 pesan yang ingin disampaikan oleh Taylor Swift lewat dokumenter Miss Americana ini.Â
Yaitu tentang kerja kerasnya yang menjadi inspirasi banyak orang, usahanya dalam menerima dirinya sendiri, juga tentang toxic masculinity, dan tentu saja mengenai pesan untuk berani mengambil posisi dan bersuara dengan lantang untuk suatu hal yang kita yakini benar.
"Everybody in music has their own niche specialty thing that they do that sets them apart from everybody else, and my storytelling is what it is for me"
Kita tahu bahwa sepanjang 15 tahun karirnya, Taylor Swift selalu menulis sendiri lagu-lagunya. Ia tahu bahwa setiap musisi membawa sesuatu yang spesial dalam dirinya dan ia harap bahwa lagu yang ditulisnya sendiri menjadi sebuah cerita personal yang bisa dibagikan kepada pendengarnya.
Kerja kerasnya yang bahkan juga ditampilkan lewat footage pada saat dirinya di studio juga semakin kuat dalam menyampaikan pesan bahwa apa yang dilakukan Taylor selama ini adalah murni kerja kerasnya dan bukan sekadar 'privilege' atas kecantikannya yang membuat kagum banyak orang.
"There's always some standard of beauty that you're not meeting. Because if you're thin enough, then you don't have that ass that everybody wants, but if you have enough weight on you to have an ass, then your stomach isn't flat enough. It's all just f***ing impossible."
Layaknya kita yang terkadang tidak tahan dengan celotehan orang di sekitar atau hujatan netizen terhadap penampilan kita, Taylor Swift pun demikian. Dirinya yang terobsesi untuk tampil sempurna lantas pernah menempatkannya pada kondisi kehidupan yang tidak sehat dan mengalami "eating disorder".
Taylor jelas mengirimkan pesan kuat kepada semua orang untuk mencintai diri sendiri dan tidak memaksakan sesuatu di luar porsinya. Self acceptance jelas diperlukan sebelum menjalani kehidupan pada level selanjutnya.
"When you're living for the approval of strangers, and that is where you derive all of your joy and fulfillment, one bad thing can cause everything to crumble"
Kembali ke momen VMA Awards 2009, tentu beberapa dari kita ingat bahwa Kanye West memperlakukan Taylor Swift dengan kata-kata yang tidak pantas terkait penghargaan yang diterimanya. Sekejap suasana menyenangkan menjadi kikuk dan semua orang meneriakkan "boo" terhadap kejadian tersebut.
Perlakuan Kanye kepada Taylor di atas panggung tersebut tentu menjadi contoh toxic masculinity yang tak bisa menerima keberhasilan seorang wanita muda. Dan nyatanya hal tersebut memang masih kerap terjadi di belahan dunia manapun, pada jenis pekerjaan apapun.
"I want to wear pink and tell you how I feel about politics. And I don't think that those things have to cancel each other out"
Hal itu diungkapkannya setelah dirinya secara terbuka memberikan dukungannya kepada calon senator Teneessee tahun 2018 silam, Phil Breseden, dan menentang lawan politiknya yaitu Marsha Blackburn, yang dianggap hanya memiliki embel-embel "calon wanita" namun tidak memiliki visi kesetaraan gender dan feminisme. Apalagi Taylor kemudian juga menyebut bahwa Marsha tak lebih dari seorang Donald Trump yang memakai rok dan wig.
Namun yang pasti, Taylor mengirimkan sinyal kuat bagi setiap orang untuk tidak takut pada sesuatu yang kita anggap benar dan berani untuk mengambil keputusan dalam bersuara walau mungkin akan sedikit menimbulkan riak pada kehidupan kita.
Penutup
Sebagai film dokumenter berdurasi 85 menit yang ditayangkan di platform Netflix, Miss Americana sangat padat dalam memberikan isi cerita, berimbang, dan cukup obyektif dalam menyampaikan inti pesannya.Â
Karena seperti kita ketahui, banyak dokumenter yang berisi cerita public figure tertentu hanya dimaksudkan sebagai "buku putih" atas kehidupannya. Namun beruntung, Miss Americana tidak seperti itu.
Miss Americana mengizinkan kita melihat Taylor Swift dalam berbagai sisi dan sudut pandang. Mengizinkan kita untuk melihat bahwa Taylor adalah seorang manusia biasa layaknya kita.
Dan walaupun pernah dilecehkan secara seksual di masa lalunya, namun Taylor tidak tenggelam dalam kesedihan tersebut. Taylor terus bangkit, bekerja keras, dan terus berkarya, bahkan tidak ragu dalam setiap pilihan hidup yang diyakininya.
Miss Americana jelas menjadi sebuah dokumenter yang tak boleh dilewatkan, entah anda seorang Swifties atau bukan.
Miss Americana juga bisa menjadi pelengkap yang mengasyikkan, jika kita sudah lebih dulu menonton video konser Reputation World Tour yang sama-sama ditayangkan di Netflix.
Skor: 8/10
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H