Ah, mungkin sudah sangat telat jika penulis baru membahas film ini sekarang. Sangat telat karena penulis pun baru sempat menyaksikan film ini kemarin sore, di bioskop yang tak jauh dari kantor. Untungnya, masih ada bioskop yang menayangkan film ini sehingga penulis tidak ketinggalan tontonan yang memang sudah dinantikan cukup lama ini.
Tentu penulis tidak perlu menuliskan lagi sinopsisnya karena tentunya sudah banyak bertebaran di berbagai blog film dan media sosial. Lagipula, siapa sih yang tidak tahu betapa legendarisnya seorang Susi Susanti? Heuheu. Pun ulasan film ini sejatinya juga sudah dibahas oleh beberapa Kompasianer beberapa waktu yang lalu.
So, melalui tulisan ini penulis akan mencoba membahas film ini dari beberapa sisi yang berbeda, yang semoga bisa memberikan pandangan lain bagi para pembaca yang masih penasaran dengan film ini namun belum sempat ke bioskop.
Jadi tak usah berlama-lama, yuk kita masuk ke pembahasannya.
Sajian Biopik dengan Visual yang Menggugah
Bukan berarti biopik lainnya lantas memiliki visual buruk. Hanya saja, Susi Susanti mampu melampaui aspek visual tersebut hingga membuatnya nampak artistik.
Tata artistik dari art director Frans Paat lah yang sekali lagi menunjukkan hasil kerjanya yang menawan di film ini setelah sebelumnya juga menunjukkan prestasi yang gemilang lewat film Perempuan Tanah Jahanam.
Pemilihan tone yang lebih ke warna coklat sejatinya juga merupakan pilihan tepat. Karena tak hanya mampu membuat efek dramatis film ini mencapai klimaksnya, namun juga mampu menghidupkan warna-warni latar dan pakaian yang memang disesuaikan dengan era 80 dan 90'an.
Apalagi kemudian disempurnakan dengan rekonstruksi apik pertandingan fenomenal Susi Susanti kala berlaga di final Sudirman Cup 1989 melawan pebulutangkis Korea Selatan Lee Young-suk dan juga final Olimpiade Barcelona 1992 melawan Bang Soo-hyun.
Meskipun digambarkan secara singkat, namun berbagai detail yang melengkapinya mampu menjadikan adegan tersebut layaknya pertandingan asli yang saat ini bisa kita lihat di youtube. Sehingga tiap adegan rally dan smash yang tercipta, mampu membuat jantung ini ikut berdegup kencang. Persis seperti kala kita menyaksikan pertandingan bulutangkis di televisi.
Pun begitu dengan berbagai shoot lainnya untuk menunjukkan detail suasana Jakarta era 80 dan 90'an. Restoran Chinese food di salah satu sudut kota Jakarta, Plaza Melawai, hingga toko kaset yang menjadi ikon 90'an, mampu ditampilkan dengan detail yang menawan dan ditangkap dengan sangat apik oleh sinematografer Yunus Pasolang (Marlina, Fiksi, Headshot).
Memang masih ada beberapa kekurangan terkait pace di 1/3 akhir film yang nampak terburu-buru dieksekusi demi mencapai konklusinya. Cukup mencederai pace yang sudah terbangun apik sedari awal.
Sehingga beberapa adegan memang nampak ditampilkan layaknya sebuah klip video yang tak benar-benar ada konklusinya alias dibiarkan menggantung. Padahal menurut penulis, jika durasi film ini ditambahkan 30 menit saja untuk memberikan gambaran detail pada karakter lain yang mungkin memiliki 'efek samping' atas prestasi Susi maupun pidato Susi yang menggebu, film ini pasti akan semakin mantap.
Meskipun memang hal tersebut adalah bagian daripada minor flaws yang sejatinya tak mencederai apiknya sisi teknis yang digarap di film ini secara keseluruhan.
Penampilan Menawan Para Aktor dan Aktris
Tak hanya Laura Basuki yang mampu menampilkan sosok Susi Susanti muda dengan cukup otentik, Dion Wiyoko sebagai Alan Budikusuma pun demikian. Mereka tak hanya akurat dalam memberikan tampilan gestur tubuh masing-masing, namun juga mampu memberikan bumbu romantis yang cukup menggemaskan lewat adegan cinta-cintaan mereka di luar lapangan.
Tidak Seratus Persen Akurat, Namun Cukup untuk Membakar Semangat Nasionalisme
Namun sejatinya hal tersebut adalah hal biasa di dalam produksi sebuah film biopik. Begitupun dengan film Susi Susanti: Love All ini.
Porsi latihan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang begitu berat, sejatinya memang kurang di expose pada film ini. Entah karena durasi atau memang fokus kepada hal lainnya semisal visualisasi percintaan mereka, namun kita memang tidak pernah benar-benar diperlihatkan kondisi latihan yang sebenarnya dari Susi Susanti dan kontingen Indonesia lainnya.
"Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur," kata Alan mengenang, kepada Historia.id
Namun sejatinya, ketidakakuratan beberapa momen sejarah dalam film ini tak lantas melunturkan kualitas lain yang melingkupi film ini. Susi Susanti masih menjadi film yang mampu membakar semangat nasionalisme yang memang saat ini sedang dibutuhkan oleh negara ini.
Beberapa momen dramatis untuk menunjukkan rasa cinta terhadap Indonesia juga mampu ditampilkan dengan sangat baik. Bahkan beberapa momen tersebut juga mampu 'berbicara' cukup banyak meskipun kemudian disampaikan secara subtil.
Konflik pelengkap yang muncul dari isu rasisme yang diangkat pun sejatinya cukup baik dalam menyampaikan pesan toleransi dalam film ini. Etnis Cina yang memang sempat menjadi bahan perundungan di era tersebut, lantas digambarkan dalam momen menyentuh sekaligus menyakitkan.
Di satu sisi nampak membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, namun di satu sisi juga menunjukkan dengan gamblang bahwa bangsa ini memang pernah berada dalam masa kegelapannya.
Tak hanya kesulitan mendapat pengakuan sebagai warga negara dari pemerintah, kondisi fisik yang berbeda pun menjadi tujuan utama perundungan kala itu. Apalagi kemudian semakin menjadi-jadi kala pergolakan 1998 mencederai toleransi itu.
Dan masa-masa gelap tersebut bukan tidak mungkin akan kembali lagi jika kita kemudian abai untuk menjaga persatuan tersebut. Abai dalam mendahulukan sifat utama yang harus dimiliki sesama manusia yaitu kasih.
Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku, etnis dan agama. Dan terus akan seperti itu hingga di masa depan. Tak boleh mencederainya hanya demi kepentingan politis tertentu.
Sehingga praktis, Love All bukan hanya sekadar jargon yang menunjukkan sebutan khas dalam bulutangkis, namun menjadi semacam pesan cinta kepada sesama dan Indonesia, yang memang ingin disampaikan film ini.
Pelepas Dahaga di Tengah Keengganan Kita pada Film Biopik
Mungkin hanya beberapa saja film biopik nasional yang berhasil menuai sukses luar biasa. Contohnya seperti Sang Pencerah yang mencapai angka 1 juta penonton, A Man Called Ahok di angka 1,4 juta penonton dan tentu saja Habibie & Ainun yang sampai menyentuh angka 4 juta penonton. Sisanya, cenderung kurang dari 1 juta bahkan hanya ada di kisaran 100-300 ribu seperti Chrisye, Sang Kiai dan tentu saja Susi Susanti yang sampai saat ini baru menyentuh angka penonton sebesar 177 ribu-an.
Hanya saja, Habibie & Ainun memang memiliki unsur cinta-cintaan yang lebih dominan dibanding biopik perjalanan BJ. Habibie menuju puncak karirnya sebagai Presiden itu sendiri. Sehingga film ini memang lebih bisa merangkul banyak kalangan.
Sementara Susi Susanti dan beberapa film biopik lainnya yang meskipun dilengkapi unsur romansa, namun tetap mengedepankan cerita sejarahnya sehingga tidak begitu 'ramah' untuk semua kalangan.
Namun di satu sisi penonton kita memang masih abai dalam menerima film biopik. Keengganan penonton untuk menikmati sejarah (meskipun dalam medium yang menyenangkan) masih menjadi momok bagi para pelaku industri film.
Kalau bukan biopik yang kental nuansa percintaannya, terkenal akan kontroversinya atau bukan diperankan oleh aktor yang popularitasnya paling tinggi, film biopik pasti akan kesulitan menapaki tangga box office nasional kita.
Namun setidaknya, pujian dan rasa terima kasih masih bisa diberikan kepada segenap produser, studio dan tentu saja sutradara Sim F, yang berani mengangkat genre berbeda lewat film ini di tengah gempuran film nasional dan internasional yang berkutat pada genre horor dan action selama beberapa bulan terakhir ini.
Penulis jelas merekomendasikan film ini di sisa hari penayangannya. Bagi yang penasaran dengan 'oase' ini, silakan cek aplikasi ticketing bioskop agar segera memesan 1 kursi di posisi terbaik. Sungguh, sangat disayangkan jika kemudian kita melewatkan film ini layaknya sebuah fatamorgana.
Skor: 8/10Â untuk aksi Susi Susanti yang menawan di layar bioskop!
Salam Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI