Meskipun digambarkan secara singkat, namun berbagai detail yang melengkapinya mampu menjadikan adegan tersebut layaknya pertandingan asli yang saat ini bisa kita lihat di youtube. Sehingga tiap adegan rally dan smash yang tercipta, mampu membuat jantung ini ikut berdegup kencang. Persis seperti kala kita menyaksikan pertandingan bulutangkis di televisi.
Pun begitu dengan berbagai shoot lainnya untuk menunjukkan detail suasana Jakarta era 80 dan 90'an. Restoran Chinese food di salah satu sudut kota Jakarta, Plaza Melawai, hingga toko kaset yang menjadi ikon 90'an, mampu ditampilkan dengan detail yang menawan dan ditangkap dengan sangat apik oleh sinematografer Yunus Pasolang (Marlina, Fiksi, Headshot).
Memang masih ada beberapa kekurangan terkait pace di 1/3 akhir film yang nampak terburu-buru dieksekusi demi mencapai konklusinya. Cukup mencederai pace yang sudah terbangun apik sedari awal.
Sehingga beberapa adegan memang nampak ditampilkan layaknya sebuah klip video yang tak benar-benar ada konklusinya alias dibiarkan menggantung. Padahal menurut penulis, jika durasi film ini ditambahkan 30 menit saja untuk memberikan gambaran detail pada karakter lain yang mungkin memiliki 'efek samping' atas prestasi Susi maupun pidato Susi yang menggebu, film ini pasti akan semakin mantap.
Meskipun memang hal tersebut adalah bagian daripada minor flaws yang sejatinya tak mencederai apiknya sisi teknis yang digarap di film ini secara keseluruhan.
Penampilan Menawan Para Aktor dan Aktris
Tak hanya Laura Basuki yang mampu menampilkan sosok Susi Susanti muda dengan cukup otentik, Dion Wiyoko sebagai Alan Budikusuma pun demikian. Mereka tak hanya akurat dalam memberikan tampilan gestur tubuh masing-masing, namun juga mampu memberikan bumbu romantis yang cukup menggemaskan lewat adegan cinta-cintaan mereka di luar lapangan.
Tidak Seratus Persen Akurat, Namun Cukup untuk Membakar Semangat Nasionalisme