Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Susi Susanti: Love All", Drama Olahraga Apik di Tengah Keengganan pada Film Biopik

13 November 2019   13:57 Diperbarui: 14 November 2019   19:51 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ah, mungkin sudah sangat telat jika penulis baru membahas film ini sekarang. Sangat telat karena penulis pun baru sempat menyaksikan film ini kemarin sore, di bioskop yang tak jauh dari kantor. Untungnya, masih ada bioskop yang menayangkan film ini sehingga penulis tidak ketinggalan tontonan yang memang sudah dinantikan cukup lama ini.

Tentu penulis tidak perlu menuliskan lagi sinopsisnya karena tentunya sudah banyak bertebaran di berbagai blog film dan media sosial. Lagipula, siapa sih yang tidak tahu betapa legendarisnya seorang Susi Susanti? Heuheu. Pun ulasan film ini sejatinya juga sudah dibahas oleh beberapa Kompasianer beberapa waktu yang lalu.

So, melalui tulisan ini penulis akan mencoba membahas film ini dari beberapa sisi yang berbeda, yang semoga bisa memberikan pandangan lain bagi para pembaca yang masih penasaran dengan film ini namun belum sempat ke bioskop.

Jadi tak usah berlama-lama, yuk kita masuk ke pembahasannya.

Sajian Biopik dengan Visual yang Menggugah

Beritagar.id
Beritagar.id
Satu kata yang terucap pertama kali kala penulis melihat visualisasi film ini adalah 'mengagumkan'. Ya, betapa aspek visual benar-benar menjadi strong point film ini yang membedakannya dengan biopik nasional lain yang sudah lebih dulu muncul.

Bukan berarti biopik lainnya lantas memiliki visual buruk. Hanya saja, Susi Susanti mampu melampaui aspek visual tersebut hingga membuatnya nampak artistik.

Tata artistik dari art director Frans Paat lah yang sekali lagi menunjukkan hasil kerjanya yang menawan di film ini setelah sebelumnya juga menunjukkan prestasi yang gemilang lewat film Perempuan Tanah Jahanam.

Pemilihan tone yang lebih ke warna coklat sejatinya juga merupakan pilihan tepat. Karena tak hanya mampu membuat efek dramatis film ini mencapai klimaksnya, namun juga mampu menghidupkan warna-warni latar dan pakaian yang memang disesuaikan dengan era 80 dan 90'an.

Wartakota.tribunnews.com
Wartakota.tribunnews.com
Tak hanya itu, untuk menunjukkan momen-momen pergolakan batin seorang Susi Susanti pun mampu diterjemahkan ke dalam detail visual yang mengagumkan. Seperti kala ia dirundung rasa takut saat berada di final Sudirman Cup, di mana suasana stadion yang begitu riuh tiba-tiba menjadi blackout dan meninggalkan Susi Susanti seorang di sana, menjadi salah satu adegan dramatis yang begitu menggugah.

Apalagi kemudian disempurnakan dengan rekonstruksi apik pertandingan fenomenal Susi Susanti kala berlaga di final Sudirman Cup 1989 melawan pebulutangkis Korea Selatan Lee Young-suk dan juga final Olimpiade Barcelona 1992 melawan Bang Soo-hyun.

Meskipun digambarkan secara singkat, namun berbagai detail yang melengkapinya mampu menjadikan adegan tersebut layaknya pertandingan asli yang saat ini bisa kita lihat di youtube. Sehingga tiap adegan rally dan smash yang tercipta, mampu membuat jantung ini ikut berdegup kencang. Persis seperti kala kita menyaksikan pertandingan bulutangkis di televisi.

Pun begitu dengan berbagai shoot lainnya untuk menunjukkan detail suasana Jakarta era 80 dan 90'an. Restoran Chinese food di salah satu sudut kota Jakarta, Plaza Melawai, hingga toko kaset yang menjadi ikon 90'an, mampu ditampilkan dengan detail yang menawan dan ditangkap dengan sangat apik oleh sinematografer Yunus Pasolang (Marlina, Fiksi, Headshot).

Memang masih ada beberapa kekurangan terkait pace di 1/3 akhir film yang nampak terburu-buru dieksekusi demi mencapai konklusinya. Cukup mencederai pace yang sudah terbangun apik sedari awal.

Twitter @filmsusisusanti
Twitter @filmsusisusanti
Pun beberapa adegan memorable lain juga dilewatkan begitu saja semisal Alan yang juga meraih emas di olimpiade. Adegan di podium arena Pavello de la Mar Bella pun nampak jadi kurang emosional, lantaran ditampilkan sekenanya saja. Begitupun lagu Indonesia Raya yang dipotong begitu saja.

Sehingga beberapa adegan memang nampak ditampilkan layaknya sebuah klip video yang tak benar-benar ada konklusinya alias dibiarkan menggantung. Padahal menurut penulis, jika durasi film ini ditambahkan 30 menit saja untuk memberikan gambaran detail pada karakter lain yang mungkin memiliki 'efek samping' atas prestasi Susi maupun pidato Susi yang menggebu, film ini pasti akan semakin mantap.

Meskipun memang hal tersebut adalah bagian daripada minor flaws yang sejatinya tak mencederai apiknya sisi teknis yang digarap di film ini secara keseluruhan.

Penampilan Menawan Para Aktor dan Aktris

Brilio.net
Brilio.net
Tentu tidak berlebihan jika kemudian penulis mengatakan bahwa para aktor dan aktris di film ini mampu memberikan penampilan yang menawan. Pasalnya, setiap porsi penampilan yang diberikan ke masing-masing aktor tersebut, mampu dibayar dengan akting yang memuaskan.

Tak hanya Laura Basuki yang mampu menampilkan sosok Susi Susanti muda dengan cukup otentik, Dion Wiyoko sebagai Alan Budikusuma pun demikian. Mereka tak hanya akurat dalam memberikan tampilan gestur tubuh masing-masing, namun juga mampu memberikan bumbu romantis yang cukup menggemaskan lewat adegan cinta-cintaan mereka di luar lapangan.

Republika.co.id
Republika.co.id
Pun dengan berbagai aktor pendukung lain semisal Kelly Tandiono sebagai Sarwendah, Jenny Zhang sebagai Liang Chiu Sia, Lukman Sardi sebagai MF Siregar, Farhan sebagai Try Sutrisno dan Kin Chew Wah sebagai Tong Sin Fu, masing-masing mampu menyajikan penggambaran karakter yang maksimal sehingga mampu menjadi pelengkap atas berbagai konflik di film ini.

Tidak Seratus Persen Akurat, Namun Cukup untuk Membakar Semangat Nasionalisme

Imdb.com
Imdb.com
Tentu tidak ada film biopik di belahan dunia manapun yang sejauh ini memiliki tingkat akurasi cerita hingga 100%. Entah ada film yang salah timeline, ada yang melengkapinya dengan karakter fiktif baru, bahkan ada juga yang menutupi beberapa bagian 'menyakitkan' untuk digantikan dengan adegan alternatif yang menunjukkan sisi dramatis.

Namun sejatinya hal tersebut adalah hal biasa di dalam produksi sebuah film biopik. Begitupun dengan film Susi Susanti: Love All ini.

Porsi latihan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang begitu berat, sejatinya memang kurang di expose pada film ini. Entah karena durasi atau memang fokus kepada hal lainnya semisal visualisasi percintaan mereka, namun kita memang tidak pernah benar-benar diperlihatkan kondisi latihan yang sebenarnya dari Susi Susanti dan kontingen Indonesia lainnya.

"Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur," kata Alan mengenang, kepada Historia.id

Imdb.com
Imdb.com
brilio.netPun pada saat adegan final Barcelona di tahun 1992 yang didatangi oleh MF Siregar dan Try Sutrisno, faktanya tidak berbicara seperti itu. Siregar tak sempat menyaksikan Susi secara langsung kala berlaga di event akbar tersebut lantaran masih berjuang dalam proses pemulihan pasca operasi jantung.

Namun sejatinya, ketidakakuratan beberapa momen sejarah dalam film ini tak lantas melunturkan kualitas lain yang melingkupi film ini. Susi Susanti masih menjadi film yang mampu membakar semangat nasionalisme yang memang saat ini sedang dibutuhkan oleh negara ini.

Beberapa momen dramatis untuk menunjukkan rasa cinta terhadap Indonesia juga mampu ditampilkan dengan sangat baik. Bahkan beberapa momen tersebut juga mampu 'berbicara' cukup banyak meskipun kemudian disampaikan secara subtil.

Wartakota.tribunnews.com
Wartakota.tribunnews.com

Konflik pelengkap yang muncul dari isu rasisme yang diangkat pun sejatinya cukup baik dalam menyampaikan pesan toleransi dalam film ini. Etnis Cina yang memang sempat menjadi bahan perundungan di era tersebut, lantas digambarkan dalam momen menyentuh sekaligus menyakitkan.

Di satu sisi nampak membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, namun di satu sisi juga menunjukkan dengan gamblang bahwa bangsa ini memang pernah berada dalam masa kegelapannya.

Tak hanya kesulitan mendapat pengakuan sebagai warga negara dari pemerintah, kondisi fisik yang berbeda pun menjadi tujuan utama perundungan kala itu. Apalagi kemudian semakin menjadi-jadi kala pergolakan 1998 mencederai toleransi itu.

Dan masa-masa gelap tersebut bukan tidak mungkin akan kembali lagi jika kita kemudian abai untuk menjaga persatuan tersebut. Abai dalam mendahulukan sifat utama yang harus dimiliki sesama manusia yaitu kasih.

Cnnindonesia.com
Cnnindonesia.com

Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku, etnis dan agama. Dan terus akan seperti itu hingga di masa depan. Tak boleh mencederainya hanya demi kepentingan politis tertentu.

Sehingga praktis, Love All bukan hanya sekadar jargon yang menunjukkan sebutan khas dalam bulutangkis, namun menjadi semacam pesan cinta kepada sesama dan Indonesia, yang memang ingin disampaikan film ini.

Pelepas Dahaga di Tengah Keengganan Kita pada Film Biopik

Layar.id
Layar.id
Saya rasa, para sineas dan studio film nasional bukan tidak mau memproduksi banyak film biopik yang diangkat dari tokoh-tokoh nasional kita. Hanya saja pendapatan film biopik memang tidak pernah memuaskan, di mana selalu kalah dari genre yang lebih populer semisal drama romantis dan tentu saja horor.

Mungkin hanya beberapa saja film biopik nasional yang berhasil menuai sukses luar biasa. Contohnya seperti Sang Pencerah yang mencapai angka 1 juta penonton, A Man Called Ahok  di angka 1,4 juta penonton dan tentu saja Habibie & Ainun yang sampai menyentuh angka 4 juta penonton. Sisanya, cenderung kurang dari 1 juta bahkan hanya ada di kisaran 100-300 ribu seperti Chrisye, Sang Kiai dan tentu saja Susi Susanti yang sampai saat ini baru menyentuh angka penonton sebesar 177 ribu-an.

Hanya saja, Habibie & Ainun memang memiliki unsur cinta-cintaan yang lebih dominan dibanding biopik perjalanan BJ. Habibie menuju puncak karirnya sebagai Presiden itu sendiri. Sehingga film ini memang lebih bisa merangkul banyak kalangan.

Sementara Susi Susanti dan beberapa film biopik lainnya yang meskipun dilengkapi unsur romansa, namun tetap mengedepankan cerita sejarahnya sehingga tidak begitu 'ramah' untuk semua kalangan.

Postyrandom.com
Postyrandom.com
Itulah yang sejatinya menjadi dilema bagi sebuah film biopik. Di satu sisi film seperti ini cukup mahal biaya produksinya dan memang dibutuhkan untuk menyampaikan sejarah dalam medium yang lebih ringan. Sederhananya, film seperti inilah yang memang bertujuan untuk mencerdaskan dan menjaga sejarah bangsa kita, pahit ataupun manis, agar tidak terlupakan bagi generasi mendatang.

Namun di satu sisi penonton kita memang masih abai dalam menerima film biopik. Keengganan penonton untuk menikmati sejarah (meskipun dalam medium yang menyenangkan) masih menjadi momok bagi para pelaku industri film.

Kalau bukan biopik yang kental nuansa percintaannya, terkenal akan kontroversinya atau bukan diperankan oleh aktor yang popularitasnya paling tinggi, film biopik pasti akan kesulitan menapaki tangga box office nasional kita.

Namun setidaknya, pujian dan rasa terima kasih masih bisa diberikan kepada segenap produser, studio dan tentu saja sutradara Sim F, yang berani mengangkat genre berbeda lewat film ini di tengah gempuran film nasional dan internasional yang berkutat pada genre horor dan action selama beberapa bulan terakhir ini.

Beritagar.id
Beritagar.id
Menjadikan film ini semacam oase yang menjadi pelepas dahaga para penikmat film biopik.  Karena semua pesan yang dibutuhkan, ditampilkan dalam porsi yang pas. Menyentuh tanpa harus over dramatic dan menyentil tanpa harus over preachy.

Penulis jelas merekomendasikan film ini di sisa hari penayangannya. Bagi yang penasaran dengan 'oase' ini, silakan cek aplikasi ticketing bioskop agar segera memesan 1 kursi di posisi terbaik. Sungguh, sangat disayangkan jika kemudian kita melewatkan film ini layaknya sebuah fatamorgana.

Skor: 8/10 untuk aksi Susi Susanti yang menawan di layar bioskop!

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun