Selama dalam perjalanan menuju 'tempat latihan' itu dia yang menyetir. Aku duduk di sampingnya. Aku dimintanya untuk memperhatikan apa yang dia lakukan. Sambil dia juga menerangkan secara gamblang apa dan bagaimana.
Dengan kepatuhan dan perhatian penuh aku ikuti semua yang dikatakan dan ditunjukkan. Mata dan nalarku mengikuti semua gerak-gerik yang ia lakukan. Sesekali aku bertanya bila yang kulihat tak kupahami. Â
Ketika berada di pertengahan sebuah tanjakan kecil ia berhenti. Ia membuka pintunya dan keluar dari mobil. Â Sebelum ia menutup pintunya, ia berkata sambil menunjuk kursinya yang sudah kosong.
"Silakan, Pak." Serunya memintaku mengisi jok di balik stir. Ia lalu melangkahkan kakinya dan berjalan ke arahku mengitari bemper depan. Aku terpaksa bergeser berpindah ke arah kananku. Duduk di posisinya dan dia di posisiku semula. Aku keringat dingin.
"Silakan, Pak!" Untuk kedua kalinya ia mempersilakan.
"Gimana?" Tanyaku gugup setelah 'mendiami' joknya yang sudah tak 'berpenghuni.'
"Bapak bisa naik motor laki, kan?"
Tanpa butuh banyak waktu, aku bilang: "Bisa!"
"Sama aja," katanya memberi dorongan.
"Injak kopling, masuk gigi satu, dan gas pelan-pelan. Udah." Ia menerangkan lebih detail. Dengan taat aku turuti petunjuknya.
Oke. Langsung enak. Langsung bisa maksudku. Hari itupun aku berkeliling areal itu dengan riang bukan kepalang. Walaupun jalannya mobil masih seperti kuda ngambek. Tersendat-sendat.