Tanah di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru biasanya berpasir dan kurang subur. Edelweis mengatasi ini dengan adaptasi khusus untuk menyerap nutrisi secara efisien dari tanah yang minim unsur hara. Akar Edelweis yang berstruktur serabut lebat membantu meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan air dan mineral. Rahayu (2018) mengungkapkan bahwa akar Edelweis bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah seperti mikoriza, yang membantu tanaman menyerap fosfor dan nitrogen, unsur penting bagi pertumbuhannya. Adaptasi ini mendukung kelangsungan hidup Edelweis di tanah pegunungan yang kekurangan nutrisi.
- Adaptasi terhadap Suhu Ekstrem
Suhu di pegunungan Bromo Tengger Semeru dapat sangat bervariasi, dengan malam yang dingin dan siang yang terik. Untuk mengatasi kondisi ini, Edelweis mengandalkan mekanisme yang dikenal sebagai termoregulasi pasif. Daun dan batangnya yang tebal mampu menjaga suhu internal tetap stabil dan melindungi jaringan tanaman dari fluktuasi suhu. Nugroho (2020) menyebutkan bahwa Edelweis dapat menyesuaikan laju metabolisme sesuai suhu lingkungan, sehingga dapat bertahan dalam suhu malam yang rendah.
Â
- Respon Terhadap Kelembapan Udara yang Rendah
Sebagai tanaman pegunungan, Edelweis dapat bertahan di udara yang rendah kelembapannya. Adaptasi ini penting di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang kerap mengalami udara kering. Edelweis memiliki lapisan lilin pada daun yang mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Setiawan (2019) menemukan bahwa lapisan lilin ini juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap paparan sinar UV yang kuat di ketinggian, menjaga kesehatan jaringan tanaman.
- Kemampuan Beradaptasi dengan Angin Kencang
Angin kencang merupakan tantangan utama bagi tanaman pegunungan. Edelweis beradaptasi melalui bentuk morfologi seperti daun dan batang yang pendek dan kokoh, yang membantu mengurangi risiko kerusakan. Angin kencang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga membantu penyerbukan tanaman ini, yang tidak banyak menarik serangga penyerbuk. Sukmawati (2018) mencatat bahwa penyerbukan yang dibantu angin meningkatkan efektifitas reproduksi Edelweis di ketinggian.
- Adaptasi Terhadap Perubahan Curah Hujan
Perubahan iklim sering menyebabkan fluktuasi curah hujan yang berdampak pada tanaman. Edelweis mampu menyimpan air di jaringan batangnya, sehingga memiliki cadangan air saat curah hujan rendah. Selain itu, akar yang luas memungkinkannya menyerap air dari lapisan tanah dalam. Wulandari & Yulianto (2022) menyebutkan bahwa Edelweis mampu beradaptasi dengan kekeringan yang lebih panjang sebagai bagian dari strategi menghadapi variabilitas curah hujan akibat perubahan iklim.
- Adaptasi Fenologi Terhadap Perubahan Musim
Perubahan iklim dapat mempengaruhi siklus hidup Edelweis, termasuk waktu berbunga dan berbuah. Ramadhan (2023) mencatat bahwa Edelweis mampu menyesuaikan waktu berbunga sesuai kondisi iklim, menunda berbunga untuk menghemat energi selama kemarau panjang. Adaptasi ini memberi fleksibilitas bagi Edelweis menghadapi perubahan iklim yang memengaruhi pola musim di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
- Konservasi dan Ancaman Perubahan Iklim di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Meskipun Edelweis telah beradaptasi dengan baik di lingkungan pegunungan, perubahan iklim memberikan tantangan yang makin besar. Suhu yang meningkat, perubahan pola curah hujan, dan kekeringan yang makin sering mengancam habitat Edelweis. Untuk melindungi Edelweis, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru telah melakukan upaya konservasi, termasuk pemantauan populasi dan pemulihan habitat. Upaya konservasi ini perlu terus didukung oleh penelitian berkelanjutan untuk memahami lebih lanjut respons Edelweis terhadap perubahan iklim agar strategi adaptasi tanaman ini tetap optimal dalam kondisi lingkungan yang berubah.
Potensi dan Risiko Kepunahan Tanaman Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Pengambilan Edelweis secara sembarangan untuk dijadikan suvenir atau hiasan dapat mengancam keberlangsungan populasinya di habitat alami. Selain itu, kehadiran wisatawan yang melintasi area tumbuh Edelweis dapat merusak akar dan struktur tanah, sehingga mengurangi kemampuan tanaman ini untuk bertahan hidup. Sukmawati (2018) mencatat bahwa aktivitas wisata yang tidak terkendali menyebabkan penurunan populasi Edelweis di beberapa lokasi, terutama di jalur pendakian yang ramai dikunjungi.
Aktivitas wisatawan, ditambah dengan dampak perubahan iklim yang memicu hujan lebat, juga meningkatkan risiko erosi dan longsor di area Edelweis tumbuh. Ketika tanah di sekitar tanaman terkikis, Edelweis kehilangan tumpuan yang stabil, membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan. Menurut penelitian Sudirjo & Ambarwati (2021), Edelweis memiliki peran penting dalam mencegah erosi dengan menstabilkan tanah. Namun, kerusakan vegetasi akibat ulah manusia atau perubahan iklim dapat meningkatkan risiko longsor, yang pada akhirnya mengancam keberadaan Edelweis di alam.