Mohon tunggu...
Yolanda S Rumahorbo
Yolanda S Rumahorbo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Happy Life

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Persebaran, Adaptasi, dan Kelangsungan Hidup Tanaman Endemik Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur

10 November 2024   21:20 Diperbarui: 10 November 2024   21:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang terletak di Jawa Timur, memiliki iklim unik yang dipengaruhi oleh letak geografisnya di kawasan pegunungan dan ketinggiannya yang berkisar antara 1.000 hingga 3.676 meter di atas permukaan laut. Iklim pegunungan di wilayah ini ditandai oleh suhu yang sejuk hingga dingin sepanjang tahun, dengan variasi suhu harian yang cukup ekstrem. Pada siang hari, suhu dapat mencapai sekitar 20--25C, sementara pada malam hari bisa turun drastis hingga di bawah 0C di beberapa lokasi. Fluktuasi suhu yang ekstrem ini menjadi salah satu karakteristik utama iklim di kawasan Bromo Tengger Semeru (Setiawan, 2021).

Curah hujan di taman nasional ini juga bervariasi tergantung pada ketinggian dan posisi geografisnya. Bagian paling bawah taman nasional cenderung menerima curah hujan lebih tinggi dibandingkan bagian yang lebih tinggi, karena pengaruh angin yang membawa uap air dan mendorong pembentukan awan di lereng gunung. Secara umum, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mengalami musim kemarau (berlangsung dari Mei hingga Oktober) dan musim hujan (berlangsung dari November hingga April). Musim hujan dapat membawa curah hujan yang tinggi, sementara musim kemarau biasanya cukup kering dan dingin, terutama pada malam hari (Sutrisno & Prasetyo, 2020).

Salah satu faktor iklim unik di kawasan ini adalah keberadaan fenomena inversi suhu, di mana suhu di lapisan udara rendah justru lebih dingin daripada lapisan yang lebih tinggi. Fenomena ini terjadi terutama pada pagi hari dan menjadikan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terasa sangat dingin di area lembah dan dasar kaldera. Inversi suhu ini menciptakan kabut tebal yang menutupi kawasan Bromo dan sekitarnya pada pagi hari, menambah suasana mistis yang sering menarik minat wisatawan. Namun, fenomena ini juga memengaruhi distribusi vegetasi, dengan beberapa jenis tanaman hanya bisa bertahan di area tertentu (Pratiwi & Haryanto, 2019).

Selain itu, radiasi matahari di kawasan pegunungan ini lebih intensif dibandingkan dengan dataran rendah, terutama pada musim kemarau ketika langit cerah dan awan jarang terbentuk. Tingkat radiasi yang tinggi memengaruhi pola adaptasi vegetasi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, terutama tanaman endemik seperti edelweis, yang mampu bertahan dengan perlindungan alami terhadap radiasi ultraviolet. Tanaman-tanaman di kawasan ini umumnya memiliki adaptasi khusus, seperti daun berbulu halus atau pigmen pelindung, untuk melindungi diri dari efek radiasi yang tinggi (Astuti et al., 2020).

Angin di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga merupakan elemen penting dalam iklim kawasan ini. Angin bertiup dengan kencang, terutama pada musim kemarau, akibat perbedaan tekanan udara antara dataran rendah dan pegunungan. Angin kencang ini membantu mengurangi kelembaban di kawasan tersebut, yang menyebabkan udara terasa lebih kering. Kondisi angin yang kencang ini juga berpengaruh terhadap distribusi debu vulkanik dari Gunung Bromo dan Semeru, yang dapat mencapai area yang cukup luas dan mempengaruhi kualitas udara serta proses fotosintesis tanaman (Kusnadi & Sari, 2021).

Pada musim kemarau, tingkat kelembaban di taman nasional ini relatif rendah, yang menyebabkan tanah di sekitar kawasan Bromo Tengger Semeru menjadi kering dan berdebu. Debu vulkanik dari aktivitas Gunung Bromo dan Semeru sering kali beterbangan di udara dan menciptakan pemandangan yang khas dengan "lautan pasir" di sekitar kawasan kawah Bromo. Kondisi kering ini juga memengaruhi ekosistem lokal, karena hanya spesies tanaman tertentu yang mampu bertahan dalam kondisi tanah yang tandus dan minim air, seperti rumput alang-alang dan beberapa spesies bunga pegunungan (Rahayu & Santoso, 2022).

Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi memberikan tantangan tersendiri bagi ekosistem di taman nasional ini. Curah hujan yang intens dapat menyebabkan tanah menjadi labil, meningkatkan risiko longsor di beberapa area dengan lereng curam. Selain itu, kondisi basah di musim hujan mendukung pertumbuhan vegetasi yang lebih subur dan memperkaya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa tanaman dan bunga pegunungan yang sebelumnya tidak aktif selama musim kemarau mulai tumbuh dan berkembang dengan subur pada musim hujan (Pratama, 2019).

Kondisi Iklim mempengaruhi Persebaran, Adaptasi, dan Kelangsungan Hidup Tanaman Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Tanaman edelweis (Anaphalis javanica) yang tumbuh di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki karakteristik adaptasi unik yang sangat bergantung pada kondisi iklim pegunungan yang ekstrem. Tanaman ini tumbuh subur di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, di mana suhu rata-rata harian relatif rendah dan tingkat radiasi matahari lebih tinggi dibandingkan dataran rendah. Lingkungan yang dingin ini memaksa edelweis untuk mengembangkan kemampuan adaptasi, seperti memiliki daun berbulu halus yang melindunginya dari suhu dingin serta mengurangi kehilangan air melalui proses transpirasi (Pratiwi & Haryanto, 2020).

Persebaran edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dipengaruhi oleh faktor suhu yang konstan rendah dan minim fluktuasi. Tanaman ini mampu bertahan dalam kondisi suhu ekstrem yang bisa mencapai titik beku pada malam hari. Ketahanan terhadap suhu rendah ini didukung oleh kemampuan edelweis untuk menurunkan laju metabolisme pada suhu rendah, sehingga mengurangi kebutuhan energi. Selain itu, adaptasi ini membantu tanaman tetap hidup dalam kondisi kekurangan air, yang umum terjadi di daerah ketinggian, terutama pada musim kemarau (Siregar, 2021).

Iklim di kawasan Bromo Tengger Semeru yang cenderung kering pada musim kemarau, dengan tingkat curah hujan yang rendah, juga memengaruhi pola persebaran edelweis. Tanaman ini memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan air dalam jaringannya, sehingga mampu bertahan pada musim kering. Struktur daun yang berbulu berfungsi sebagai pelindung dari dehidrasi, memungkinkan edelweis tetap hijau dan segar meskipun kekurangan air. Hal ini menunjukkan adaptasi tanaman ini terhadap lingkungan yang gersang sekaligus menjelaskan mengapa tanaman ini dapat bertahan di lokasi-lokasi dengan curah hujan yang rendah (Astuti et al., 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun