Mohon tunggu...
Yolanda S Rumahorbo
Yolanda S Rumahorbo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Happy Life

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Persebaran, Adaptasi, dan Kelangsungan Hidup Tanaman Endemik Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur

10 November 2024   21:20 Diperbarui: 10 November 2024   21:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(website : detik.com)

Tanaman Edelweis (Anaphalis javanica)

Edelweis (Anaphalis javanica) adalah salah satu tanaman endemik yang hanya ditemukan di dataran tinggi pegunungan Indonesia, termasuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur. Tanaman ini sering disebut sebagai "bunga abadi" karena dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrem dan keindahannya yang tetap terjaga meskipun telah mengering. Pada umumnya, edelweis tumbuh di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Keberadaan edelweis ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pegunungan sebagai tempat perlindungan dan sumber makanan bagi sejumlah spesies serangga dan hewan kecil (Pratiwi & Haryanto, 2020).

Unsur Iklim mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Edelweis

Unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan edelweis mencakup suhu udara, curah hujan, kelembapan, angin, dan intensitas cahaya matahari. Unsur-unsur tersebut membantu edelweis untuk bertahan hidup dan berkembang, terutama di lingkungan pegunungan yang ekstrem. (Zakaria, 2016). Suhu udara optimal untuk edelweis berkisar antara 15-20C. Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhannya. Edelweis memiliki adaptasi khusus terhadap suhu rendah, memungkinkan mereka bertahan di malam hari yang dingin. Tanaman ini juga memiliki jaringan khusus untuk menahan kelembapan, menjaga mereka tetap hidup di suhu pegunungan yang fluktuatif. (Hernowo & Wardani, 2019)

Selain itu, curah hujan berperan penting dalam menyediakan air bagi edelweis, meskipun tanaman ini cukup tahan terhadap kondisi kering. Curah hujan tahunan yang ideal berkisar antara 1.500 hingga 2.000 mm per tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembusukan akar, sementara curah hujan rendah dapat memperlambat laju pertumbuhannya. Kondisi moderat memungkinkan akar edelweis untuk menyerap cukup air tanpa risiko berlebihan. (Sudirjo & Ambarwati, 2021)

Kelembapan udara juga mempengaruhi tanaman ini. Edelweis dapat bertahan pada kelembapan rendah, karena memiliki adaptasi untuk menyimpan air dalam daun-daunnya yang berbulu lebat. Kelembapan yang terlalu tinggi cenderung meningkatkan risiko jamur pada daun, yang dapat merusak tanaman. Kelembapan ideal berkisar antara 50-60%. Dengan kondisi kelembapan ini, edelweis dapat menjaga keseimbangan air di dalam jaringan tumbuhannya. (Rahayu, 2018)

Angin juga menjadi unsur penting yang mempengaruhi pertumbuhan edelweis. Pada ketinggian yang tinggi, angin bertiup lebih kencang, yang dapat mengeringkan tanah dan daun tanaman. Namun, angin ini juga membantu dalam penyerbukan alami karena bunga edelweis yang berukuran kecil tidak menarik banyak serangga. Penyerbukan yang dibantu angin memperbesar peluang perkembangbiakan alami edelweis. (Nugroho, 2020)

Intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi proses fotosintesis pada edelweis. Di daerah pegunungan, cahaya matahari cukup kuat, terutama di siang hari, yang memungkinkan proses fotosintesis berlangsung optimal. Edelweis membutuhkan sinar matahari penuh sepanjang hari agar dapat tumbuh subur. Cahaya matahari yang cukup membantu edelweis dalam pembentukan energi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan dan pembentukan bunga (Setiawan, 2019). Selanjutnya, faktor fotoperiode atau durasi pencahayaan juga mempengaruhi siklus pertumbuhan edelweis. Tanaman ini membutuhkan fotoperiode yang panjang, yakni paparan sinar matahari lebih dari 12 jam sehari, agar dapat berbunga dengan optimal. Pada ketinggian tertentu, fotoperiode ini terpenuhi, sehingga edelweis dapat tumbuh dengan baik. (Pramono, 2020)

Unsur iklim yang ekstrem di pegunungan juga membantu edelweis berkembang secara alami dengan tingkat kompetisi yang rendah dari tanaman lain, mengingat sedikit tanaman yang mampu bertahan di lingkungan tersebut. Edelweis berkembang di tanah yang miskin unsur hara dan berpasir, yang tidak ideal bagi banyak tanaman lain. Lingkungan ekstrem ini memfasilitasi edelweis untuk mendominasi area tersebut. (Sukmawati, 2018)

Karakteristik Iklim Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang terletak di Jawa Timur, memiliki iklim unik yang dipengaruhi oleh letak geografisnya di kawasan pegunungan dan ketinggiannya yang berkisar antara 1.000 hingga 3.676 meter di atas permukaan laut. Iklim pegunungan di wilayah ini ditandai oleh suhu yang sejuk hingga dingin sepanjang tahun, dengan variasi suhu harian yang cukup ekstrem. Pada siang hari, suhu dapat mencapai sekitar 20--25C, sementara pada malam hari bisa turun drastis hingga di bawah 0C di beberapa lokasi. Fluktuasi suhu yang ekstrem ini menjadi salah satu karakteristik utama iklim di kawasan Bromo Tengger Semeru (Setiawan, 2021).

Curah hujan di taman nasional ini juga bervariasi tergantung pada ketinggian dan posisi geografisnya. Bagian paling bawah taman nasional cenderung menerima curah hujan lebih tinggi dibandingkan bagian yang lebih tinggi, karena pengaruh angin yang membawa uap air dan mendorong pembentukan awan di lereng gunung. Secara umum, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mengalami musim kemarau (berlangsung dari Mei hingga Oktober) dan musim hujan (berlangsung dari November hingga April). Musim hujan dapat membawa curah hujan yang tinggi, sementara musim kemarau biasanya cukup kering dan dingin, terutama pada malam hari (Sutrisno & Prasetyo, 2020).

Salah satu faktor iklim unik di kawasan ini adalah keberadaan fenomena inversi suhu, di mana suhu di lapisan udara rendah justru lebih dingin daripada lapisan yang lebih tinggi. Fenomena ini terjadi terutama pada pagi hari dan menjadikan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terasa sangat dingin di area lembah dan dasar kaldera. Inversi suhu ini menciptakan kabut tebal yang menutupi kawasan Bromo dan sekitarnya pada pagi hari, menambah suasana mistis yang sering menarik minat wisatawan. Namun, fenomena ini juga memengaruhi distribusi vegetasi, dengan beberapa jenis tanaman hanya bisa bertahan di area tertentu (Pratiwi & Haryanto, 2019).

Selain itu, radiasi matahari di kawasan pegunungan ini lebih intensif dibandingkan dengan dataran rendah, terutama pada musim kemarau ketika langit cerah dan awan jarang terbentuk. Tingkat radiasi yang tinggi memengaruhi pola adaptasi vegetasi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, terutama tanaman endemik seperti edelweis, yang mampu bertahan dengan perlindungan alami terhadap radiasi ultraviolet. Tanaman-tanaman di kawasan ini umumnya memiliki adaptasi khusus, seperti daun berbulu halus atau pigmen pelindung, untuk melindungi diri dari efek radiasi yang tinggi (Astuti et al., 2020).

Angin di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga merupakan elemen penting dalam iklim kawasan ini. Angin bertiup dengan kencang, terutama pada musim kemarau, akibat perbedaan tekanan udara antara dataran rendah dan pegunungan. Angin kencang ini membantu mengurangi kelembaban di kawasan tersebut, yang menyebabkan udara terasa lebih kering. Kondisi angin yang kencang ini juga berpengaruh terhadap distribusi debu vulkanik dari Gunung Bromo dan Semeru, yang dapat mencapai area yang cukup luas dan mempengaruhi kualitas udara serta proses fotosintesis tanaman (Kusnadi & Sari, 2021).

Pada musim kemarau, tingkat kelembaban di taman nasional ini relatif rendah, yang menyebabkan tanah di sekitar kawasan Bromo Tengger Semeru menjadi kering dan berdebu. Debu vulkanik dari aktivitas Gunung Bromo dan Semeru sering kali beterbangan di udara dan menciptakan pemandangan yang khas dengan "lautan pasir" di sekitar kawasan kawah Bromo. Kondisi kering ini juga memengaruhi ekosistem lokal, karena hanya spesies tanaman tertentu yang mampu bertahan dalam kondisi tanah yang tandus dan minim air, seperti rumput alang-alang dan beberapa spesies bunga pegunungan (Rahayu & Santoso, 2022).

Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi memberikan tantangan tersendiri bagi ekosistem di taman nasional ini. Curah hujan yang intens dapat menyebabkan tanah menjadi labil, meningkatkan risiko longsor di beberapa area dengan lereng curam. Selain itu, kondisi basah di musim hujan mendukung pertumbuhan vegetasi yang lebih subur dan memperkaya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa tanaman dan bunga pegunungan yang sebelumnya tidak aktif selama musim kemarau mulai tumbuh dan berkembang dengan subur pada musim hujan (Pratama, 2019).

Kondisi Iklim mempengaruhi Persebaran, Adaptasi, dan Kelangsungan Hidup Tanaman Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Tanaman edelweis (Anaphalis javanica) yang tumbuh di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki karakteristik adaptasi unik yang sangat bergantung pada kondisi iklim pegunungan yang ekstrem. Tanaman ini tumbuh subur di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, di mana suhu rata-rata harian relatif rendah dan tingkat radiasi matahari lebih tinggi dibandingkan dataran rendah. Lingkungan yang dingin ini memaksa edelweis untuk mengembangkan kemampuan adaptasi, seperti memiliki daun berbulu halus yang melindunginya dari suhu dingin serta mengurangi kehilangan air melalui proses transpirasi (Pratiwi & Haryanto, 2020).

Persebaran edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dipengaruhi oleh faktor suhu yang konstan rendah dan minim fluktuasi. Tanaman ini mampu bertahan dalam kondisi suhu ekstrem yang bisa mencapai titik beku pada malam hari. Ketahanan terhadap suhu rendah ini didukung oleh kemampuan edelweis untuk menurunkan laju metabolisme pada suhu rendah, sehingga mengurangi kebutuhan energi. Selain itu, adaptasi ini membantu tanaman tetap hidup dalam kondisi kekurangan air, yang umum terjadi di daerah ketinggian, terutama pada musim kemarau (Siregar, 2021).

Iklim di kawasan Bromo Tengger Semeru yang cenderung kering pada musim kemarau, dengan tingkat curah hujan yang rendah, juga memengaruhi pola persebaran edelweis. Tanaman ini memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan air dalam jaringannya, sehingga mampu bertahan pada musim kering. Struktur daun yang berbulu berfungsi sebagai pelindung dari dehidrasi, memungkinkan edelweis tetap hijau dan segar meskipun kekurangan air. Hal ini menunjukkan adaptasi tanaman ini terhadap lingkungan yang gersang sekaligus menjelaskan mengapa tanaman ini dapat bertahan di lokasi-lokasi dengan curah hujan yang rendah (Astuti et al., 2019).

Radiasi ultraviolet (UV) yang tinggi di pegunungan juga merupakan tantangan lingkungan bagi edelweis. Untuk melindungi dirinya dari radiasi berlebihan, tanaman ini mengembangkan pigmen tertentu pada daun yang bertindak sebagai filter UV alami. Pigmen ini tidak hanya melindungi jaringan tanaman dari kerusakan sel akibat radiasi UV tetapi juga memberikan warna khas pada daun edelweis. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana iklim dan faktor-faktor alam lainnya mendorong adaptasi spesifik pada edelweis agar dapat bertahan hidup di ketinggian (Setiawan, 2018).

Adaptasi edelweis terhadap suhu rendah dan radiasi UV tinggi juga berperan penting dalam kelangsungan hidupnya. Tanaman ini tumbuh dengan laju yang sangat lambat, yang memungkinkan pembentukan jaringan tanaman yang lebih tebal dan kuat, sehingga mampu bertahan lebih lama dibandingkan tanaman lain. Kemampuan bertahan dalam kondisi lingkungan yang sulit ini membuat edelweis dikenal sebagai tanaman yang "abadi," yang tetap indah dan kokoh meskipun berada di lingkungan yang keras (Rahayu & Santoso, 2022).

Selain itu, persebaran edelweis juga sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim global yang menyebabkan peningkatan suhu secara umum. Peningkatan suhu di daerah pegunungan berpotensi merusak ekosistem edelweis karena tanaman ini tidak toleran terhadap suhu tinggi. Suhu yang semakin hangat dapat menyebabkan edelweis berpindah ke daerah yang lebih tinggi untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhannya. Jika tren ini berlanjut, persebaran edelweis di Bromo Tengger Semeru bisa mengalami penurunan (Pratama, 2020).

Perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim juga memengaruhi kelangsungan hidup edelweis. Curah hujan yang semakin tidak menentu dapat mengganggu siklus pertumbuhan edelweis yang membutuhkan periode kering untuk pertumbuhannya. Ketidakpastian ini menyebabkan beberapa tanaman tidak dapat beradaptasi secara cepat, sehingga menurunkan daya tahan edelweis terhadap perubahan musim yang drastis. Perubahan iklim juga dapat memicu pertumbuhan spesies invasif yang mengancam keberadaan edelweis (Siregar, 2021).

Faktor angin di daerah pegunungan juga memengaruhi persebaran dan adaptasi edelweis. Angin yang kuat dan dingin di ketinggian dapat merusak tanaman yang tidak memiliki struktur yang kokoh. Edelweis mengembangkan batang yang kuat serta sistem akar yang dalam untuk mempertahankan posisinya di tanah meskipun terkena angin kencang. Adaptasi ini membantu edelweis bertahan dari angin ekstrem dan mencegah erosi tanah di sekitar tanaman, yang juga bermanfaat bagi ekosistem pegunungan secara keseluruhan (Astuti et al., 2019).

Sifat adaptif edelweis terhadap kondisi iklim ekstrem ini menjadikannya spesies indikator perubahan ekosistem pegunungan. Keberadaan atau penurunan populasi edelweis dapat menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar, seperti perubahan suhu dan kelembaban. Sebagai tanaman endemik yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, edelweis menjadi penting untuk pemantauan ekologi jangka panjang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Pratiwi & Haryanto, 2020).

Secara keseluruhan, kelangsungan hidup edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sangat bergantung pada stabilitas kondisi iklim. Setiap perubahan dalam suhu, curah hujan, radiasi, atau angin dapat memengaruhi pola persebaran dan kemampuan adaptasinya. Oleh karena itu, upaya pelestarian edelweis perlu memperhatikan aspek iklim serta dampak potensial dari perubahan iklim global untuk memastikan keberlangsungan tanaman ini sebagai bagian dari kekayaan flora Indonesia yang khas (Rahayu & Santoso, 2022).

Bentuk dan Mekanisme Adaptasi Tanaman Edelweis terhadap Perubahan Iklim di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

  • Adaptasi Morfologi

Tanaman Edelweis memiliki adaptasi morfologi yang mendukung keberlangsungan hidupnya di lingkungan yang terbatas sumber daya dan bersuhu ekstrem. Daun Edelweis yang tebal dan berbulu membantu tanaman mempertahankan kelembapan dan melindunginya dari suhu rendah. Bulu halus di daun mengurangi penguapan sehingga kelembapan tetap terjaga meskipun tanah pegunungan seperti di Bromo Tengger Semeru sering kering. Bentuk daun yang kecil dan sempit juga mengurangi dampak angin kencang yang bisa meningkatkan laju penguapan. Sukmawati (2018) menyebutkan bahwa bulu halus pada daun Edelweis membantu menjaga suhu internal tanaman, sehingga dapat bertahan di iklim dingin malam hari dan panas siang hari pada ketinggian tersebut.

  • Adaptasi Fisiologi Terhadap Kelembapan

Pada lingkungan pegunungan yang cenderung kering, Edelweis menyesuaikan diri secara fisiologis untuk mengatur keseimbangan air. Tanaman ini menyimpan air dalam jaringan parenkim sebagai cadangan saat kelembapan rendah. Menurut Hernowo & Wardani (2019), mekanisme ini memungkinkan Edelweis mengontrol laju transpirasi melalui stomata sehingga dapat tetap melakukan fotosintesis meski suplai air terbatas. Adaptasi ini juga membantu Edelweis bertahan dalam kondisi kekeringan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim, seperti berkurangnya curah hujan di wilayah konservasi.

  • Mekanisme Penyesuaian Fotosintesis

Fotosintesis adalah proses vital yang mendukung energi tanaman, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Edelweis mampu beradaptasi untuk mengoptimalkan fotosintesis di bawah intensitas cahaya tinggi di ketinggian. Pramono (2020) menemukan bahwa Edelweis dapat menyesuaikan fotosintesisnya agar tetap efisien meski intensitas cahaya berubah, baik saat matahari terik siang hari maupun saat cahaya lebih rendah pagi atau sore hari. Adaptasi ini memberi Edelweis keunggulan dalam lingkungan dengan intensitas cahaya tinggi seperti di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

  • Kemampuan Bertahan di Tanah Miskin Unsur Hara

Tanah di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru biasanya berpasir dan kurang subur. Edelweis mengatasi ini dengan adaptasi khusus untuk menyerap nutrisi secara efisien dari tanah yang minim unsur hara. Akar Edelweis yang berstruktur serabut lebat membantu meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan air dan mineral. Rahayu (2018) mengungkapkan bahwa akar Edelweis bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah seperti mikoriza, yang membantu tanaman menyerap fosfor dan nitrogen, unsur penting bagi pertumbuhannya. Adaptasi ini mendukung kelangsungan hidup Edelweis di tanah pegunungan yang kekurangan nutrisi.

  • Adaptasi terhadap Suhu Ekstrem

Suhu di pegunungan Bromo Tengger Semeru dapat sangat bervariasi, dengan malam yang dingin dan siang yang terik. Untuk mengatasi kondisi ini, Edelweis mengandalkan mekanisme yang dikenal sebagai termoregulasi pasif. Daun dan batangnya yang tebal mampu menjaga suhu internal tetap stabil dan melindungi jaringan tanaman dari fluktuasi suhu. Nugroho (2020) menyebutkan bahwa Edelweis dapat menyesuaikan laju metabolisme sesuai suhu lingkungan, sehingga dapat bertahan dalam suhu malam yang rendah.

 

  • Respon Terhadap Kelembapan Udara yang Rendah

Sebagai tanaman pegunungan, Edelweis dapat bertahan di udara yang rendah kelembapannya. Adaptasi ini penting di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang kerap mengalami udara kering. Edelweis memiliki lapisan lilin pada daun yang mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Setiawan (2019) menemukan bahwa lapisan lilin ini juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap paparan sinar UV yang kuat di ketinggian, menjaga kesehatan jaringan tanaman.

  • Kemampuan Beradaptasi dengan Angin Kencang

Angin kencang merupakan tantangan utama bagi tanaman pegunungan. Edelweis beradaptasi melalui bentuk morfologi seperti daun dan batang yang pendek dan kokoh, yang membantu mengurangi risiko kerusakan. Angin kencang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga membantu penyerbukan tanaman ini, yang tidak banyak menarik serangga penyerbuk. Sukmawati (2018) mencatat bahwa penyerbukan yang dibantu angin meningkatkan efektifitas reproduksi Edelweis di ketinggian.

  • Adaptasi Terhadap Perubahan Curah Hujan

Perubahan iklim sering menyebabkan fluktuasi curah hujan yang berdampak pada tanaman. Edelweis mampu menyimpan air di jaringan batangnya, sehingga memiliki cadangan air saat curah hujan rendah. Selain itu, akar yang luas memungkinkannya menyerap air dari lapisan tanah dalam. Wulandari & Yulianto (2022) menyebutkan bahwa Edelweis mampu beradaptasi dengan kekeringan yang lebih panjang sebagai bagian dari strategi menghadapi variabilitas curah hujan akibat perubahan iklim.

  • Adaptasi Fenologi Terhadap Perubahan Musim

Perubahan iklim dapat mempengaruhi siklus hidup Edelweis, termasuk waktu berbunga dan berbuah. Ramadhan (2023) mencatat bahwa Edelweis mampu menyesuaikan waktu berbunga sesuai kondisi iklim, menunda berbunga untuk menghemat energi selama kemarau panjang. Adaptasi ini memberi fleksibilitas bagi Edelweis menghadapi perubahan iklim yang memengaruhi pola musim di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

  • Konservasi dan Ancaman Perubahan Iklim di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Meskipun Edelweis telah beradaptasi dengan baik di lingkungan pegunungan, perubahan iklim memberikan tantangan yang makin besar. Suhu yang meningkat, perubahan pola curah hujan, dan kekeringan yang makin sering mengancam habitat Edelweis. Untuk melindungi Edelweis, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru telah melakukan upaya konservasi, termasuk pemantauan populasi dan pemulihan habitat. Upaya konservasi ini perlu terus didukung oleh penelitian berkelanjutan untuk memahami lebih lanjut respons Edelweis terhadap perubahan iklim agar strategi adaptasi tanaman ini tetap optimal dalam kondisi lingkungan yang berubah.

Potensi dan Risiko Kepunahan Tanaman Edelweis di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Pengambilan Edelweis secara sembarangan untuk dijadikan suvenir atau hiasan dapat mengancam keberlangsungan populasinya di habitat alami. Selain itu, kehadiran wisatawan yang melintasi area tumbuh Edelweis dapat merusak akar dan struktur tanah, sehingga mengurangi kemampuan tanaman ini untuk bertahan hidup. Sukmawati (2018) mencatat bahwa aktivitas wisata yang tidak terkendali menyebabkan penurunan populasi Edelweis di beberapa lokasi, terutama di jalur pendakian yang ramai dikunjungi.

Aktivitas wisatawan, ditambah dengan dampak perubahan iklim yang memicu hujan lebat, juga meningkatkan risiko erosi dan longsor di area Edelweis tumbuh. Ketika tanah di sekitar tanaman terkikis, Edelweis kehilangan tumpuan yang stabil, membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan. Menurut penelitian Sudirjo & Ambarwati (2021), Edelweis memiliki peran penting dalam mencegah erosi dengan menstabilkan tanah. Namun, kerusakan vegetasi akibat ulah manusia atau perubahan iklim dapat meningkatkan risiko longsor, yang pada akhirnya mengancam keberadaan Edelweis di alam.

Sebagai daya tarik wisata yang populer, Edelweis memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Jika Edelweis mengalami kepunahan, daya tarik wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bisa menurun, yang berdampak pada penghasilan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada pariwisata. Ramadhan (2023) mengungkapkan bahwa beberapa penduduk setempat bergantung pada kunjungan wisatawan untuk mendapatkan pemasukan, dan hilangnya Edelweis dapat mengurangi minat wisatawan untuk mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Kesimpulan

Edelweis Jawa (Anaphalis javanica), keberadaannya memiliki nilai penting bagi ekosistem pegunungan sebagai habitat bagi sejumlah serangga dan membantu menjaga stabilitas tanah. Tanaman ini dapat ditemui di salah satu pegunungan di Indonesia, yaitu pegunungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kondisi iklim pegunungan yang ekstrem di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, seperti fluktuasi suhu, radiasi UV yang tinggi, dan curah hujan yang tidak menentu, memengaruhi pertumbuhan Edelweis. Tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap suhu rendah, curah hujan terbatas, dan tingkat kelembapan rendah, yang membantu tanaman ini bertahan di lingkungan yang sulit. Berbagai adaptasi morfologi, seperti daun berbulu untuk mengurangi penguapan dan akar yang dalam untuk menyerap air, memungkinkan Edelweis hidup di tanah yang minim hara. Namun, perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu dan pola curah hujan yang tidak stabil mengancam keberlanjutan Edelweis, terutama ketika perubahan ini melebihi kemampuan adaptasinya.

Selain perubahan iklim, ancaman terhadap Edelweis juga datang dari aktivitas wisata yang merusak, seperti pengambilan Edelweis sebagai suvenir dan kerusakan habitat akibat erosi. Aktivitas wisata yang tidak terkontrol mengakibatkan penurunan populasi Edelweis di jalur pendakian yang ramai. Selain itu, hilangnya Edelweis akan berdampak pada daya tarik pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, diperlukan upaya konservasi yang berkelanjutan, seperti pengawasan habitat, edukasi wisatawan, dan penelitian adaptasi Edelweis terhadap perubahan iklim untuk melindungi kelestarian tanaman ini di habitat alaminya di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun