Mohon tunggu...
Yohanes Jeng
Yohanes Jeng Mohon Tunggu... Novelis - Filsafat

Mengubah dunia dengan mengubah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Budaya Postmodernisme dan Postmodernitas

6 Desember 2020   18:42 Diperbarui: 6 Desember 2020   19:08 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kritik Neo-Marxis Terhadap Postmodernisme:

Fredric Jameson (1934): postmodernisme sebagai logika budaya kapitalisme akhir.

Salah satu catatan postmodernisme yang paling awal dan paling berpengaruh adalah sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1984 di New Left Review oleh kritikus sastra terkemuka Fredric Jameson. Jameson melihat postmodernisme dan kapitalisme terkait erat bahwa: "setiap posisi pada postmodernisme dalam budaya ... pada saat yang sama merupakan suatu sikap politik yang implisit atau eksplisit tentang sifat kapitalisme multinasional saat ini".

Dalam menjelaskan kebangkitan postmodernisme artistik, Jameson menggunakan kerangka kerja neo-Marxis. Dia menyarankan bahwa kita telah memasuki fase kapitalisme akhir yang ditandai dengan sirkulasi tanda dan simbol yang tiada henti dan arus informasi global. Konsumsi gambar hedonistik adalah inti dari tahap kapitalisme ini. Postmodernisme merefleksikan ekonomi berbasis citra baru yang merupakan "logika budaya kapitalisme akhir". Ini juga beroperasi dengan cara-cara ideologis untuk mencegah orang terhubung dengan sejarah dan identitas kolektif mereka. Ini menimbulkan kebingungan dan kedangkalan. Jameson berusaha memerangi postmodernisme, sehingga dia menyarankan agar kita memahami logika spasial barunya dan mengembangkan perangkat kritis untuk membaca artefak budaya postmodern.

David Harvey (1935) dan Akumulasi Fleksibel 

Geografer David Harvey (1935) memberikan pandangan neo-Marxian lain tentang postmodernisme. Seperti Jameson, Harvey menggantungkan analisisnya pada periodisasi fase dalam perkembangan kapitalis. Ia mengamati bahwa fokus pada sebagian besar abad ke-20, berada di era Fordisme, yaitu era pabrikan mobil Henry Ford. Konsep tersebut mengacu pada produksi massal industri barang standar (kawe). Hal itu karena, didorong oleh kenyataan pasar yang mulai jenuh dengan barang yang mahal, penerimaan pajak menurun, dan inflasi tidak terkendali. Para kapitalis menanggapi dengan sistem yang disebut Harvey sebagai akumulasi fleksibel. Kunci dari akumulasi fleksibel adalah kemampuan untuk mengubah lini produk dengan cepat dan memproduksi barang kecil untuk pasar khusus. Hal ini akan mendorong peningkatan jumlah produksi karena meningkatnya jumlah konsumsi karena terjangkau oleh masyarakat. akibatnya konsumerisme dan kapitalisme terus berputar pada era postmodern ini.

Konsisten dengan logika Marxis, Harvey melihat tren yang didorong oleh kapital ini menyebar ke kehidupan budaya yang lebih luas dan menentukan. Kita hidup di dunia di mana media, mode-mode, dan gambar menjadi semakin penting. Hasilnya adalah budaya yang dicirikan oleh kedangkalan di mana produk tanpa henti saling menggantikan dan di mana pencarian gaya kosong telah menggantikan pencarian keaslian, sejarah, dan narasi.

Scott Lash (1945): postmodernisme sebagai de-diferensiasi 

Scott Lash (1945) secara luas bersimpati pada pemahaman Marxian tentang postmodernisme. Lash mengklaim bahwa postmodernisme adalah kritik terhadap modernitas yang semuanya tentang de-diferensiasi (tentang pembedaan). Misalnya:

  • batas antara budaya, ekonomi, dan politik sedang runtuh;
  • dalam lingkup budaya itu sendiri, Kantian membedakan antara estetika dan moral juga sedang problematized;
  • perbedaan antara budaya tinggi dan rendah menjadi lebih sulit untuk dibuat;
  • disiplin akademis tidak lagi berbeda satu sama lain.

Lash mengidentifikasi dua jenis postmodernisme yang berbeda, yakni spectral dan organic. Pertama sesuai dengan pemahaman konvensional (kesepakatan umum) tentang postmodern. Ini tentang permainan, simulacrum (citra atau gambaran), konsumerisme individualis, dan kedangkalan. Kedua, terkait dengan kebangkitan gerakan sosial baru (women, greens, gays, dll.) Hal ini didasarkan pada refleksivitas, pencarian makna, dan kolektivisme dalam menghadapi masyarakat kapitalis yang maju. Baginya, postmodernisme dapat mendukung toleransi dan perbedaan. Sehingga postmodernisme telah bekerja untuk menggoyahkan identitas dan menghasilkan ambivalensi melalui gambaran tentang pembengkokkan gender. Dengan demikian, ruang terbuka untuk posisi subjek baru yang menarik yang menantang tatanan normatif yang diberlakukan oleh nilai-nilai budaya modernis.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun