Sel adalah bagian-bagian terkecil penyusun suatu organisme. Robert Hooke pada tahun 1665 mulai melakukan pengamatan terhadap sel gabus yang ada pada tumbuhan seperti sel gabus tanaman ketela.
Dari hasil pengamatannya menggunakan mikroskop sederhana, Hooke menemukan bahwa sel adalah ruangan-ruangan kecil yang dibatasi oleh dinding. Penelitian sel kemudian dilanjutkan oleh Robert Brown (1831) dan dari pengamatan Brown, Ia menemukan keberadaan inti sel (nucleus) didalam sel yang diduga awalnya amat berperan dalam perkembangan makhluk hidup melalui segala proses yang terjadi dalam sel.
Peran inti sel ini kemudian dikuatkan oleh penelitian Matthias J. Schleiden dan Theodore Schwann (1838) yang meneliti bahwa sel terus tumbuh dan dapat memperbanyak diri, menjadikan sel sebuah unit struktural dalam sebuah makhluk hidup.
Penelitian lanjutan oleh Max Schultze (1861) yang menemukan bahwa sel bermetabolisme untuk berkembangbiak, menjadikan sel sebuah unit fungsional terkecil dalam makhluk hidup.
Rudolf Virchow melalui penelitiannya mengemukakan bahwa sel berasal dari sel sebelumnya (omnis cellula de cellula). Didukung oleh penelitian Gregor Mendel (1863) yang mengemukakan bahwa sel adalah unit hereditas terkecil yang berarti susunan kromosom sel makhluk hidup selalu sama.
Dari 2 penelitian terakhir, yaitu oleh Rudolf Virchow dan Gregor Mendel, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada akhirnya sel akan selalu sama sifat kromosomnya dan akan selalu berkembang menjadi sel baru.
Inilah yang akan menjadi prinsip dasar dari pencarian metode kesehatan yang akan mulai menyembuhkan penyakit dengan membantu tubuh dengan mengganti sel-sel yang rusak dengan sel baru yang dicangkokkan dari sel individu lain, yang lebih dikenal dengan istilah Stem cell atau sel induk.
"Sebenarnya, secara alami tubuh manusia pun bisa memperbarui sistemnya. Hal itu karena semua jaringan di tubuh bermula dari sel induk, sel yang belum terbentuk, yang berkembang menjadi jaringan dewasa atau organ spesifik." (Fathana, 2015)
Sel induk atau stem cell memiliki pengertian  adalah sel ini belum mengalami penuaan dan belum memiliki fungsi spesifik yang harus dilakukan oleh sel atau lebih dikenal dengan istilah belum terdiferensiasi.
Sebagaimana sel belum memiliki fungsi spesifik, maka sel ini mampu berubah-rubah sesuai penempatan dari sel ini di dalam tubuh manusia.
Contoh analogi dari pernyataan ini adalah bisa diandaikan bahwa tubuh kita adalah sebuah gelas dan sel induk adalah sebuah air, sedangkan sel terdiferensiasi adalah sebuah es batu.
Tentu saja dalam mengisi rongga di botol secara sempurna lebih mudah dilakukan oleh air daripada hanya dilakukan oleh es batu saja, tetapi agar didapatkan manfaat lebih dapat dicampurkan air dengan es batu agar didapat air yang lebih dingin.
Karena sel yang telah terdiferensiasi memiliki bentuk dan fungsi yang sudah tetap, yaitu padat dan dapat menurunkan suhu, maka sel terdiferensiasi hanya punya satu tugas tetap dan sudah tidak sefleksibel saat sebelum didinginkan, yaitu sel induk.
Sel induk sendiri memiliki karakteristik yang fleksibel, mudah mengikuti wadahnya karena belum terdiferensiasi menjadi bentuk sel yang tetap.
Sel induk juga perlu diproses agar menjadi sel terdiferensiasi yang memiliki fungsi lebih, dalam analogi dicontohkan dengan cara didinginkan sampai dibawah titik beku dan menjadi es batu. Inilah keunggulan sebuah sel induk yaitu kemampuannya yang dapat berubah-rubah menjadi sel tubuh berbeda mengikuti penempatan sel ini.
Sel ini juga memiliki kemampuan menetap dan memperbarui diri atau kemampuan regenerasi dengan membelah diri serta berubah menjadi sel lain agar memperbaiki sel-sel yang telah rusak dan tidak dapat lagi meregenerasi, seperti contohnya sel induk mampu berubah menjadi sel darah merah untuk menjadi transpor oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh.
Contohnya lagi sel ini mampu berubah menjadi sel darah putih yang mampu menjadi system imun dalam tubuh, menjaga kinerja sel lain agar tidak terganggu oleh keberadaan virus, parasit, dan lain-lain di dalam tubuhartinya. Hal ini telah dijabarkan oleh Fathana dalam artikelnya (lihat sumber).
Meskipun belum menunjukkan adanya perkembangan pesat dari penemuan kesehatan di bidang terapi sel induk, sudah ada beberapa penyakit yang dapat diatasi melalui metode Cell-based therapy.
Penyakit yang dapat diobati antara lain sirosis hati, gagal ginjal, penyakit pankreas, jantung koroner, parkinson, cerebral palsy, stroke, diabetes, patah tulang dan kehilangan tulang akibat patah tulang, kebutaan glukoma mata, autis, Â dan lainnya.
Namun sel induk tidak hanya sembarang diinjeksikan di bagian tubuh yang membutuhkan, namun ada serangkaian proses yang diperlukan.
Kepala UPT Cell Induk RSCM Dr. dr. Ismail HD, Sp.OT (K) menyatakan bahwa saat ini baru diterapkan dua fase uji sel induk pada pasien di Indonesia.
Fase pertama adalah pengujian pada manusia sehat, dengan tujuan mencari efek samping dari sel induk yang akan ditanamkan pada tubuh donor. Fase kedua, akan diujikan pada orang-orang dengan penyakit tertentu yang tidak ada pilihan lain dalam mengobati penyakit itu untuk menguji tingkat keefektifan sel induk dalam menyembuhkan penyakit tersebut.
Fase ketiga yaitu melakukan banding antara pengobatan standar dengan pengobatan terapi sel induk untuk mengetahui mana yang lebih efektif dalam menyembuhkan penyakit yang sama. Dan fase keempat yaitu post-marketing atau pemasaran. Namun karena keterbatasan sumber daya dan belum massalnya metode penyembuhan ini di masyarakat sampai perlunya dipasarkan secara bebas, maka saat ini di Indonesia cukup dengan dua tahap awal saja.
Menurut Dr Cosphiadi Irawan, SpPDKHOM, takaran sel induk yang diberikan bergantung pada jumlah yang dibutuhhkan oleh pasien. Semisalkan pasien menderita penyakit lupus, diberikan sel induk 1-2 juta per kilogram berat badan pasien. Jika berat badan pasien 50 kilogram, maka dosis terendahnya adalah menyuntikkan 50 juta sel induk, dan dosis maksimal sebesar 100 juta sel induk. (Putra, 2017). Hal ini bukan angka tetap yang bisa langsung diaplikasikan pada pasien karena masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi jumlah dosis sel induk yang diberikan.
Sel induk sendiri dapat ditemukan di anggota tubuh manusia dewasa, seperti di sumsum tulang dan lemak manusia. Sel induk juga dapat diambil dari sel jaringan tali pusat bayi dan darah tali pusat bayi (umbilical cord blood). Sel induk ini juga dapat ditemukan di ekstrak tumbuhan. Namun sumber yang dikenal kontroversial bukan dari tubuh orang dewasa namun sel induk dari embrio atau janin.
Mengapa sumber sel induk diambil dari embrio? Karena secara logika, bisa diperkirakan bahwa sel induk di tubuh orang dewasa juga bisa menua dan mulai bekerja lebih lambat daripada saat masih usia muda. Maka dari inilah mulai dicari darimana sumber paling muda untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas sel induk selama mungkin di dalam tubuh penerima donor sel induk, yaitu dari janin atau darah dan jaringan tali pusat bayi yang baru lahir. Memang bila dinalar kembali, sel induk yang diambil tentu saja menjadi yang paling muda, dan karena berasal dari manusia juga, artinya selama didonorkan ke orang dewasa agar melakukan fungsinya di tubuh orang dewasa tersebut lebih menjanjikan karena usianya yang masih muda. Namun tentu saja hal ini tidaklah etis di segi norma dan agama karena yang diambil berasal dari janin atau yang telah mengalami fertilisasi dan memiliki kehidupan.
Dr.H.A.F. Wibisono, MA dari Muhammadiyah mengatakan, penggunaan sel induk embrionik untuk keperluan apa pun tidak diperbolehkan kecuali saat terapi itu menjadi satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa manusia. (Kompas, 2008, "Sel Induk Embrionik untuk Pengobatan Dilarang Agama") Dari sini mulai timbul masalah karena kode etik kita sebagai manusia hakikatnya secara agama kita dilarang untuk mengambil hak hidup seseorang, dimana juga telah diatur dalam Undang-Undang.
Tetapi masih ada celah dalam peraturan ini yaitu apabila sumber daya yang diperlukan sudah tidak dipakai oleh sang janin, seperti contohnya dalam penggunaan bayi tabung, masih terdapat sisa-sisa sel yang tidak terpakai lagi oleh bayi bila proses bayi tabung telah usai. Begitu pula dengan darah dan jaringan tali pusat bayi yang telah lahir.
Ada pula permasalahan yang ditemui bila diputuskan dengan sangat terpaksa bahwa harus diakukan pengambilan sel induk dari janin, yaitu sel induk yang diambil masih tidak stabil perkembangannya karena tidak cocok dengan tubuh penerima donor ataupun karena sel yang bahkan belum mengalami metabolismenya sendiri. Efek samping dari ketidakstabilan sel ini adalah sel induk ini bisa menimbulkan tumor ataupun sel kanker di tubuh karena terus-menerus membelah diri menjadi terlalu banyak dan akan membebani sistem tubuh lainnya. Oleh sebab itu sel induk yang diambil dari janin masih dianggap belum aman dalam perkembangannya dan hanya dilakukan bila sangat terpaksa tidak ada alternatif pengobatan lain.
Dalam hal ini akan muncul pertanyaan "Kira-kira apakah penggunaan sel induk masih bisa dikategorikan tidak melanggar kode etik?" Maka akan muncul jawaban bahwa tergantung darimana didapatkannya sumber sel induk ini. Bila sel induk memang diambil dari calon janin dan memang terbukti adanya aborsi terhadap calon janin ini, maka ada pelanggaran kode etik. Bukan hak kita untuk mengambil hak hidup orang lain apalagi bila telah berlangsung proses fertilisasi. Sekaligus ada permasalahan dari sel induk yang diambil dari janin yaitu kestabilan sel induk masih sangat tidak aman karena ditakutkan malah menimbulkan sel tumor dan sel kanker apabila pertumbuhannya tidak terkendali. Akibatnya bukan hanya satu nyawa melayang, tetapi bisa juga nyawa kedua, yaitu nyawa penerima donor yang akan ikut melayang.
Jadi sekalipun hanya itu satu-satunya jalan menyembuhkan penyakit, tetapi resikonya tidak sebanding dengan apa yang akan didapat. Namun seiring berkembangnya ilmu biologi dan kedokteran, ditemukan pula sumber sel induk yang tidak berasal dari janin ataupun bayi yang baru lahir. Sel induk juga bisa ditemukan didalam sumsum tulang dan juga lemak tubuh. Karena sumsum tulang mampu meregenerasi perkembangan tubuh kita apabila sel-sel dalam tubuh kita ada yang mengalami kerusakan.
Maka dari itulah mengapa tulang yang mengalami fraktur (patah tulang) bisa menyambung kembali meski kadang tidak akan sekuat tulang yang belum pernah cidera. Meskipun usianya tidak semuda dari sel yang diambil dari tali pusat bayi yang baru lahir, namun sel induk semacam ini yang diambil dari tubuh pasien bisa meminimalisir resiko akan ketidakcocokan antara pendonor dan penerima donor sel induk karena berasal dari tubuh pasien yang sama.
Tentu selama penulis melakukan pencarian informasi, muncul pertanyaan yang menjadi penutup tulisan penulis yaitu "Apakah sel induk bisa menjadi solusi dalam regenerasi sel, terutama untuk regenerasi terus-menerus hingga muncul kehidupan yang kekal?" dan menurut hipotesis penulis adalah sebagai berikut; kita sebagai manusia tidak ditakdirkan sempurna, begitu pula dengan hidup selamanya, lagipula tidak mungkin bisa terus-menerus melakukan injeksi sel induk tanpa adanya efek samping, meskipun dari sumber yang paling seimbang sekalipun.
Sama seperti bagaimana obat menyembuhkan penyakit jangka pendek, namun bisa menjadi sampah kimiawi dalam tubuh manusia yang berefek jangka panjang, masih ada kemungkinan bahwa sel induk paling stabil juga akan dapat menimbulkan perkembangan sel yang tidak terkontrol karena adanya sifat dominasi dan resesif antara tubuh pasien dengan sel induk karena mengalami kelebihan muatan sel baru, yang lagi-lagi dapat menimbulkan sel tumor dan sel kanker.
Daftar Sumber
Moenadjat, Yefta dkk. "The application of human umbilical cord blood mononuclear cells in the management of deep partial thickness burn" Medical Journal of Indonesia, 2013.
http://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/view/534 Diakses pada 29 Agustus 2018, pukul 23:03
Sandra, Ferry dkk. "GliSODin Meningkatkan Potensi Sel Induk" Fak. Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Maret-April 2010. Diakses pada 29 Agustus 2018, pukul 23:13
Fathana, Anne Anggraeni "Teknologi Sel Induk, Ketika yang Tak Mungkin Menjadi Nyata...". 22 Juni 2015. https://lifestyle.kompas.com/read/2015/06/22/150746323/Teknologi.Sel.Induk.Ketika.yang.Tak.Mungkin.Menjadi.Nyata . Diakses pada 29 Agustus 2018, pukul 05:04
Putra, Lutfy Mairizal "Bagaimana Perkembangan Terapi Sel Induk di Indonesia?" 12 Oktober 2017. Â https://sains.kompas.com/read/2017/10/12/160700523/bagaimana-perkembangan-terapi-sel-induk-di-indonesia- Diakses pada 28 Agustus 2018, pukul 22:18
 "Sel Induk Embrionik untuk Pengobatan Dilarang Agama", 26 Juli 2008. .https://nasional.kompas.com/read/2008/07/26/22151682/sel.induk.embrionik.untuk.pengobatan.dilarang.agama. Diakses pada 28 Agustus 2018, pukul 22:34
http://cellmalaysia.com/apakah-sel-induk-itu/ Diakses pada 28 Agustus 2018, pukul 21:45
http://www.cosmopolitan.co.id/article/read/3/2014/3989/the-magic-cell Maret 2013. Diakses pada 30 Agustus 2018, pukul 04:32
http://www.hematology.org/Thehematologist/Profiles/1259.aspx Mei-Juni 2011. Diakses pada 30 Agustus 2018, pukul 05:32
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H