Fase ketiga yaitu melakukan banding antara pengobatan standar dengan pengobatan terapi sel induk untuk mengetahui mana yang lebih efektif dalam menyembuhkan penyakit yang sama. Dan fase keempat yaitu post-marketing atau pemasaran. Namun karena keterbatasan sumber daya dan belum massalnya metode penyembuhan ini di masyarakat sampai perlunya dipasarkan secara bebas, maka saat ini di Indonesia cukup dengan dua tahap awal saja.
Menurut Dr Cosphiadi Irawan, SpPDKHOM, takaran sel induk yang diberikan bergantung pada jumlah yang dibutuhhkan oleh pasien. Semisalkan pasien menderita penyakit lupus, diberikan sel induk 1-2 juta per kilogram berat badan pasien. Jika berat badan pasien 50 kilogram, maka dosis terendahnya adalah menyuntikkan 50 juta sel induk, dan dosis maksimal sebesar 100 juta sel induk. (Putra, 2017). Hal ini bukan angka tetap yang bisa langsung diaplikasikan pada pasien karena masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi jumlah dosis sel induk yang diberikan.
Sel induk sendiri dapat ditemukan di anggota tubuh manusia dewasa, seperti di sumsum tulang dan lemak manusia. Sel induk juga dapat diambil dari sel jaringan tali pusat bayi dan darah tali pusat bayi (umbilical cord blood). Sel induk ini juga dapat ditemukan di ekstrak tumbuhan. Namun sumber yang dikenal kontroversial bukan dari tubuh orang dewasa namun sel induk dari embrio atau janin.
Mengapa sumber sel induk diambil dari embrio? Karena secara logika, bisa diperkirakan bahwa sel induk di tubuh orang dewasa juga bisa menua dan mulai bekerja lebih lambat daripada saat masih usia muda. Maka dari inilah mulai dicari darimana sumber paling muda untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas sel induk selama mungkin di dalam tubuh penerima donor sel induk, yaitu dari janin atau darah dan jaringan tali pusat bayi yang baru lahir. Memang bila dinalar kembali, sel induk yang diambil tentu saja menjadi yang paling muda, dan karena berasal dari manusia juga, artinya selama didonorkan ke orang dewasa agar melakukan fungsinya di tubuh orang dewasa tersebut lebih menjanjikan karena usianya yang masih muda. Namun tentu saja hal ini tidaklah etis di segi norma dan agama karena yang diambil berasal dari janin atau yang telah mengalami fertilisasi dan memiliki kehidupan.
Dr.H.A.F. Wibisono, MA dari Muhammadiyah mengatakan, penggunaan sel induk embrionik untuk keperluan apa pun tidak diperbolehkan kecuali saat terapi itu menjadi satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa manusia. (Kompas, 2008, "Sel Induk Embrionik untuk Pengobatan Dilarang Agama") Dari sini mulai timbul masalah karena kode etik kita sebagai manusia hakikatnya secara agama kita dilarang untuk mengambil hak hidup seseorang, dimana juga telah diatur dalam Undang-Undang.
Tetapi masih ada celah dalam peraturan ini yaitu apabila sumber daya yang diperlukan sudah tidak dipakai oleh sang janin, seperti contohnya dalam penggunaan bayi tabung, masih terdapat sisa-sisa sel yang tidak terpakai lagi oleh bayi bila proses bayi tabung telah usai. Begitu pula dengan darah dan jaringan tali pusat bayi yang telah lahir.
Ada pula permasalahan yang ditemui bila diputuskan dengan sangat terpaksa bahwa harus diakukan pengambilan sel induk dari janin, yaitu sel induk yang diambil masih tidak stabil perkembangannya karena tidak cocok dengan tubuh penerima donor ataupun karena sel yang bahkan belum mengalami metabolismenya sendiri. Efek samping dari ketidakstabilan sel ini adalah sel induk ini bisa menimbulkan tumor ataupun sel kanker di tubuh karena terus-menerus membelah diri menjadi terlalu banyak dan akan membebani sistem tubuh lainnya. Oleh sebab itu sel induk yang diambil dari janin masih dianggap belum aman dalam perkembangannya dan hanya dilakukan bila sangat terpaksa tidak ada alternatif pengobatan lain.
Dalam hal ini akan muncul pertanyaan "Kira-kira apakah penggunaan sel induk masih bisa dikategorikan tidak melanggar kode etik?" Maka akan muncul jawaban bahwa tergantung darimana didapatkannya sumber sel induk ini. Bila sel induk memang diambil dari calon janin dan memang terbukti adanya aborsi terhadap calon janin ini, maka ada pelanggaran kode etik. Bukan hak kita untuk mengambil hak hidup orang lain apalagi bila telah berlangsung proses fertilisasi. Sekaligus ada permasalahan dari sel induk yang diambil dari janin yaitu kestabilan sel induk masih sangat tidak aman karena ditakutkan malah menimbulkan sel tumor dan sel kanker apabila pertumbuhannya tidak terkendali. Akibatnya bukan hanya satu nyawa melayang, tetapi bisa juga nyawa kedua, yaitu nyawa penerima donor yang akan ikut melayang.
Jadi sekalipun hanya itu satu-satunya jalan menyembuhkan penyakit, tetapi resikonya tidak sebanding dengan apa yang akan didapat. Namun seiring berkembangnya ilmu biologi dan kedokteran, ditemukan pula sumber sel induk yang tidak berasal dari janin ataupun bayi yang baru lahir. Sel induk juga bisa ditemukan didalam sumsum tulang dan juga lemak tubuh. Karena sumsum tulang mampu meregenerasi perkembangan tubuh kita apabila sel-sel dalam tubuh kita ada yang mengalami kerusakan.
Maka dari itulah mengapa tulang yang mengalami fraktur (patah tulang) bisa menyambung kembali meski kadang tidak akan sekuat tulang yang belum pernah cidera. Meskipun usianya tidak semuda dari sel yang diambil dari tali pusat bayi yang baru lahir, namun sel induk semacam ini yang diambil dari tubuh pasien bisa meminimalisir resiko akan ketidakcocokan antara pendonor dan penerima donor sel induk karena berasal dari tubuh pasien yang sama.
Tentu selama penulis melakukan pencarian informasi, muncul pertanyaan yang menjadi penutup tulisan penulis yaitu "Apakah sel induk bisa menjadi solusi dalam regenerasi sel, terutama untuk regenerasi terus-menerus hingga muncul kehidupan yang kekal?" dan menurut hipotesis penulis adalah sebagai berikut; kita sebagai manusia tidak ditakdirkan sempurna, begitu pula dengan hidup selamanya, lagipula tidak mungkin bisa terus-menerus melakukan injeksi sel induk tanpa adanya efek samping, meskipun dari sumber yang paling seimbang sekalipun.