Dalam penelitian ini, kontribusi nilai tambah terhadap nilai output sebesar 58,28% artinya dari nilai output Rp 1.051 per kg terdapat 58,28% nilai tambah dari output gula merah tebu.Â
Berdasarkan hasil analisis Hayami, nilai tambahnya positif > 0 yaitu sebesar 58,28% artinya pengembangan agroindustri gula merah tebu memberikan nilai tambah bagi pengrajin. Selain itu, berdasarkan kriteria Reyne (1987) nilai tambah pengolahan gula merah tebu dikategorikan tinggi yaitu berada di diatas 40%.
Pendapatan tenaga kerja langsung merupakan hasil dari perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah tenaga kerja. Pendapatan tenaga kerja langsung adalah pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari setiap pengolahan satu kilogram bahan baku. Pendapatan tenaga kerja langsung yang diberikan pada setiap pengolahan satu kilogram bahan baku yang diolah menjadi gula merah tebu adalah Rp 505/kg, sehingga bagian tenaga kerja dalam usaha ini sebesar 48%.Â
Besarnya proposi bagian tenaga kerja ini tidak mencerminkan besarnya perolehan tenaga kerja. Angka ini hanya menggambarkan perimbangan antara besarnya bagian pendapatan (labor income) dengan bagian pendapatan pemilik usaha. Apabila tingkat keuntungan yang diperoleh (dalam persen) tinggi, maka agroindustri tersebut meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Â
Apabila rasio imbalan tenaga kerja terhadap nilai tambah tinggi, maka agroindustri berperan memberikan pendapatan bagi pekerjanya, sehingga lebih berperan dalam mengatasi masalah pengangguran melalui pemerataan kesempatan kerja. Analisis selanjutnya adalah nilai keuntungan yang diperoleh pengrajin gula merah tebu.Â
Nilai keuntungan tersebut merupakan selisih antara nilai tambah dengan imbalan tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan sebagai nilai tambah bersih karena sudah dikurangi dengan imbalan tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh pengrajin gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sebesar Rp 545,76/kg bahan baku, dengan nilai keuntungan sebesar 51,94%.
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Berdasarkan analisis nilai tambah, margin yang didapatkan dari selisih antara nilai output dengan harga bahan baku adalah Rp 1.579,66/kg. Besarnya margin ini lalu didistribusikan kepada pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain, dan keuntungan usaha. Balas jasa terbesar yang diperoleh perusahaan berasal dari keuntungan pemilik modal, yaitu sebesar 34,55% artinya sumbangan input lain menyumbang Rp 34,55 dalam setiap Rp 100 margin perusahaan. Balas jasa terbesar kedua adalah sumbangan input lain sebesar 33,49%. Hal ini berarti sumbangan input lain cukup banyak berkontribusi dalam pembentukan margin, yaitu Rp 33,49 dalam setiap Rp 100 margin. Selain itu, pendapatan tenaga kerja langsung sebesar 31,96%.
Besarnya nilai tambah ditentukan oleh besarnya nilai output, harga bahan baku dan harga input lain. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai tambah dapat menunjukkan apakah usaha tersebut padat modal atau padat karya. Dilihat dari aspek agroindustri, industri gula merah di Madiun mayoritas masih bersifat industri padat karya yang dijalankan dengan teknologi sederhana dan permodalan yang kecil. Hal tersebut merupakan kendala utama dalam upaya pengembangan industri gula merah menjadi industri madya maupun industri modern.
Strategi Pengembangan Home Industry Gula Merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun
Analisis Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan Eksternal (Peluang dan Ancaman) Home Industry Gula Merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Berdasarkan hasil analisis dan pembangunan masalah yang dihadapi home industry gula merah dapat diambil kesimpulan bahwa usaha ini memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan. Namun, untuk memperoleh suatu kondisi tersebut diperlukan strategi pengembangan dengan membandingkan faktor internal dan faktor lingkungan eksternal yang ada untuk prospek jangka panjang. Strategi pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan analisis SWOT dengan hasil sebagai berikut :