Mohon tunggu...
Yoan SabiliAmra
Yoan SabiliAmra Mohon Tunggu... Penulis - Filsafat

Saya hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Selayang Pandang: Metafisika dan Argumen Ketuhanan Alvin Plantinga

25 Mei 2024   22:36 Diperbarui: 25 Mei 2024   22:45 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Berbicara mengenai ketuhanan juga tidak lekang dari pendasaran terhadap filsafat ketuhanan, yang memiliki kerangka pemikiran kritis, sistematik, metodis dan secara mendasar mengenai tentang Tuhan, maka kendati dari filsafat ketuhanan juga akan mengobservasi bagaimana kepercayaan akan Tuhan dapat di pertanggung jawabkan secara rasional, maka objeknya adalah kesadaran manusia akan Tuhan, maka kesadaran itu telah timbul misalnya seperti yang ditemukan pada entitas agama, kepercayaan, maupun pengertian mengenai pengetahuan manusia[1]. Secara eksplisit bahwa filsafat ketuhanan selalu berkaitan dengan memikirkan apa yang berhubungan dengan Tuhan secara objektif dan sistematik, maka jika pendasaran mengenai argumen filsafat ketuhanan ialah mempertanggungjawabkan kepercayaan mengenai iman akan adanya Tuhan secara rasional, dengan demikian akan mengambil posisi yang apabila dapat ditunjuk mengani apa yang di imani, serta kehidupan yang di jalani berdasarkan iman itu adalah kesesuaian mengenai sumber iman itu, jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan.[2]

Pemikiran Alvin Plantinga mengenai ketuhanan secara khusus sudah tercantum di beberapa karya tersohor nya, dimulai dari proyek besar akademis besar pertama Plantinga di dalam disertasinya yang membahas etika dan naturalisme, titik pokok dalam karya nya itu ialah perdebatan utamanya mengenai hubungan tidak adanya kewajiban moral yang sejati jika naturalisme benar dan tidak ada pribadi seperti Tuhan, maka Naturalisme, menurut Plantinga, secara koherensi dapat menjelaskan mengapa kita lebih menghargai perilaku tertentu dibandingkan yang lain, dan mengapa kita merasa ngeri dengan perilaku tertentu, namun naturalisme tidak dapat menjelaskan 'keharusan' moral yang sejati. Setelah menyelesaikan disertasinya, Plantinga mulai mengerjakan isu-isu kompleks seperti argumen ontologis, verifikasionisme, dan masalah kejahatan, berbagai problem ini akan menjadi topangan besar Plantinga dalam monografi pertamanya: God and Other Minds.  didalam God and Other Minds, Plantinga mempertimbangkan penerimaan secara rasional dari kepercayaan kepada Tuhan. Sehingga sesudah mempertimbangkan secara hirearki argumen-argumen tradisional mengenai kepercayaan kepada Tuhan (teleologis, kosmologis, dan ontologis), ia berargumentasi bahwa tidak ada satu pun esensi argumen yang pada akhirnya mampu berhasil. Selain itu, Plantinga berpendapat bahwa argumen-argumen atheologis tradisional mengenai (masalah kejahatan, verifikasionisme, paradoks kemahamukasaan, dan penyangkalan ontologis terhadap keberadaan Tuhan) semuanya sama-sama memiliki ketidak sempurnaan. Dengan tidak adanya argumen yang berhasil baik yang mendukung atau menentang kepercayaan pada Tuhan, Plantinga menyarankan bahwa kepercayaan pada Tuhan harus dipandang sebagai analogi dengan kepercayaan akan keberadaan pikiran lain. Meskipun tidak ada argumen positif yang mendukung keberadaan mereka, kepercayaan akan keberadaan pikiran lain dan kepercayaan akan keberadaan Tuhan bisa jadi bersifat rasional.[3]

Alvin Plantinga dengan nama asli yaitu Alvin Carl Plantinga lahir pada sekitar 15 November 1932 di Ann Arbon, Michigan, dari pasangan Cornelius Plantinga dan Lettie Plantinga. Kedua dari pasamgan kakek-nenek Plantinga di besarkan di gereja-gereja Calvinis yang berasal dari apa yang disebut Afscheiding (pemisahan)  pada tahun 1834 di mana banyak para jemaat memisahkan diri dari gereja negara Belanda dan telah menciptakan Gereformeeerde Kerken[4], yang didedikasikan untuk praktik Calbinisme historis.[5] Meskipun secara situasi terdapat penganiayaan yang signifikan. Ayah Plantinga yaitu Cornelius A. Plantinga, saat itu merupakan seorang mahasiswa pascasarjana dalam bidang jurusan filsafat. Ibu Plantinga, yaitu Lettie Plantinga (nee bossenbroek), lahir di dekat Alto, Wisconsin[6] Kakek-nenek Alvin Plantinga telah membawa penekanan khusus pada pendidikan, terutama dalam pendidikan tinggi, dan keyakinan merekatelah memiliki pendirian bahwa keyakinan agama adalah sebuah realitas sentral dalam kehidupan di Belanda hingga mereka berpindah berimigrasi ke Amerika Serikat. Nilai pendidikan, khususnya pendidikan agama telah di tunjukan oleh kakek nya sendiri, yaitu Andrew Plantinga Setelah melihat putranya Cornelius (ayah Alvin) tidak tertarik mengikuti jejaknya sebagai petani di Sheldon, Iowa, melainkan lebih tertarik pada buku, Andrew (kakek Alvin) mengambil keputusan untuk memindahkan seluruh keluarganya ke Belanda, Michigan agar Cornelius bisa bersekolah di Sekolah Menengah Kristen Calvinis. Setelah lulus, Cornelius kuliah di Calvin College, belajar di bawah bimbingan William Harry Jellema, memutuskan untuk menjadi seorang filsuf, dan akhirnya melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Michigan dan Universitas Duke.[7]

Kehidupan akademis Plantinga pada sekitar tahun 1957,  sudah mulai mengajar di Program Studi Directed di Yale, walaupun program mengajarnya di Yale di lewati dengan waktu yang begitu singkat, karena ada indikasi tanggapan terhadap permintaan yang sangat ambisius dari George Nakhnikian, sehingga Plantinga berpindah dan menerima posisi mengajar di departemen filsafat di Wayne State University. Dan Plantinga mengalami masa di mana situasi intelektual di Wayne state sangat baik, walaupun gambaran intelektual di Wayne State sangat subur, Alvin Plantinga tetap menolak ajakan untuk tinggal disana, sehingga pada akhirnya di tahun 1963 Plantinga menerima tawaran mengajar menggantikan Herry Jellema di Calvin. Plantinga memutuskan untuk meninggalkan Harvard dan pindah ke Calvin College, dengan landasan alasan komitmen nya terhadap Gereja Reformasi Kristen dan teologi Reformed yang dipraktikannya. Menurut Plantinga nilai untuk bekerja di Calvin telah memberikannya kesempatan untuk berfilsafat dengan memiliki suasana komitmen atas teistik, eklesiologis, dan teologis yang sama. [8]

Alvin Plantinga telah tinggal di Calvin selama sembilan belas tahun, akan tetapi hal yang mengejutkan ialah ketika Plantinga menerima posisi akademisi di Universitas Notre Dame sebagai Profesor Filsafat dari John A. O'Brien, dikarenakan melihat secara potensial Plantinga yang memiliki nilai baik yang berasal dari Calvin College, hal ini pun tentu menjadi titik motivasi bagi Plantinga, dalam meningkatkan royalti untuk menjadi direktur di pusat Filsafat Agama, dan mengajar untuk para mahasiswa dengan gelar Ph.D. Akan tetapi harapan besar yang timbul dari Plantinga ialah ketika ia sangat berkeinginan untuk membagikan dan memberikan sebagian apa yang telah Plantinga pelajari tentang Filsafat Agama.[9]

Alvin Plantinga telah meluncurkan minat dan karirnya terhadap bidang epistemologi keagamaan, pada God and Other Minds memajukan sisi minat Plantinga pada berbagai persoalan metafisika seperti konsep keniscayaan, khususnya yang diterapkan oleh gagasan mengenai "makhluk yang di perlukan" yang berkaitan terhadap argumen ontologis yang telah memunculkan gagasan tersebut. Pertimbangan mengenai berbagai topik ini akan mebawanya kepada serangkaian pertanyaan yang berkaitan langsung dengan metafisika, modalitas penyelidikan terhadap hakikat kebutuhan dan kemungkinan dunia yang secara niscaya terjadi, berupa juga sifat-sifat esensial dan sejenisnya. Pada buku Plantinga yang berjudul The Nature of Necessity, buku yang merupakan anlisisis paling mendalam tentang metafisika modalitas, merupakan salah satu karya terpenting tentang metafisika yang di tulis dalam lima puluh tahun terakhir, bagi Plantinga serangkaian itu adalah sebuah alat untuk bermaksud mengatakan bahwa keterkatikan Plantinga secara filosofis murni terhadap persoalan pertanyaan-pertanyaan metafisika, dan menjawab aneka pertanyaan metafisik ini akan memungkinkan mengungkapkan beberapa isu kunci sepuutar argumen ontologis dan yang lebih penting lagi, mengenai masalah kejahatan pada taraf ontologis teologis.[10]

Berkaitan dengan uraian argumen mengenai kosmologis, ontologis, dan teleologis, Plantinga sepenuhnya setuju dengan aransemen dari argumen tradisional untuk keberadaan Tuhan, dan segala keyakinan itu akhirnya akan berhasil, jika sebuah proposisi universal yang di terima oleh manusia secara intelektual akan menemukan arahan kesimpulan yang tidak rasional untuk di tolak, Plantinga berpendapat bahwa argumen dari teistik tradisional tidak cukup mampu secara koherensi karena tidak satupun dari mereka memiliki premis semacam itu, Namun, terhadap Proofialists, Plantinga berpendapat bahwa keyakinan bahwa Tuhan itu ada bisa sangat rasional, masuk akal, dan sesuai secara intelektual bahkan jika tidak ada argumen teistik yang baik[11] Dalam bagian tiga di karya God and Other Minds, Plantinga menguraikan pendapat bahwa argumen standar untuk berpikir pada pijakan ada pikiran selain pikiran sendiri yang gagal untuk kesimpulan argumen teistik tradisional, namun penerimaan yang lain secara solipsisme berpendapat juga bahwa; tidak ada yang secara khusus untuk serius berpikir bahwa adalah bodoh atau tidak secara rasional untuk percaya pada keberadaan pikiran selain pikiran sendiri, tentunya, jika ada sesuatu yang rasional untuk dipercaya, adalah rasional untuk percaya bahwa ada pikiran lain. Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan pada Tuhan dan kepercayaan pada pikiran lain itu setara dalam sebuah makna jika salah satu dari mereka rasional maka begitu juga yang lain, Plantinga menyimpulkan secara sederhana bahwa "jika kepercayaan saya pada pikiran lain adalah rasional, demikian juga kepercayaan saya kepada Tuhan."[12] Dalam artikel di antara tahun 1970-1980, Plantinga telah mengembangkan dan membela mengenai pandangan bahwa kepercayaan rasional kepada Tuhan tidak memerlukan usaha bukti secara proposisional, pada perkembangan selama kurun priode 'The Reformed Objection to Natural Theology'  Plantinga berpendapat dalam lingkup keyainan kristen bahwa tidak perlu memerlukan argumen atau bukti proposisional agar kepercayaan mereka kepada Tuhan memiliki pembenaran rasional dan bahwa argumen semacam itu biasanya bukan merupkan bagian dari sumber kepercayaan orang percaya[13]Dalam sepintas mengenai 'apakah percaya kepada Tuhan itu dasar dengan benar?' Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan mengenai Tuhan tidak selalu berorientasi terhadap pelanggaran kewajiban intelektual seseorang, entah dalam konteks harus dipahami secara teleologis (dalam hal konsekeunsi), atau secara aretis (dalam hal kebajikan) dan juga secara deontologis (dalam hal prima facie atau tugas utama). Sehingga Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu masuk akal dan tepat tanpa bukti dengan cara yang percis sama seperti keyakinan perseptual, ingatan, keyakinan, dan entitas keyakinan itu lah yang akan menganggap keadaan suatu mental pada orang lain benar-benar memilik dasar.[14]

Pandangan yang lain dari Plantinga pun menegaskan bahwa beberapa jenis mengenai kepercayaan tentang Tuhan khususnya sebagian besar yang tumpang tindih dengan segala keyakinan, pun demikian adalah benar secara dasar, bahwa keyakinan dasar adalah keyakinan yang tidak dibentuk atas dasar kepercayaan lain, hal itu akan benar-benar mendasar jika nilai dari subjek dibenarkan dalam proses membentuknya. Jelas bahwa sebuah keyakinan dibentuk hanya semata-mata atas dasar pengalaman yang di duga sebagai dari subjek keyakinan yang dihitung dari dasar. Selain itu secara objek yang nampak bahwa tidak semua kepercayaan tentang Tuhan yang akan dianggap sebagai dasar dari Plantinga akan diuraikan dari bentuk yang berdasarkan presentasi pengelaman subjek seseorang. Sebagai contoh ketika seseorang mengambil keyakinan tentang Tuhan yang diperoleh dari anak ke orang tuanya sebagai landasan dasar yang benar.

Plantinga juga berprasangka bahwa keyakinan dasarnya yang benar tentang Tuhan itu tidak memiliki dasar, alasannya karena dalam beberapa hal telah terdiri uraian keadaan yang telah menimbulkan keyakinan.[15] Dibalik itu kita juga mampu secara menguntukan untuk membandingkan dukungan yang Plantinga berikan untuk posisi epistemologis kita masing-masing mengenai keyakinan dasar yang tepat tentang Tuhan, Plantinga mendukung argumen posisinya dengan dua cara, pertama Plantinga meluncurkan kritik internal terhadap "fondasionalisme klasik"[16]. yang terdapat batasan dalam membatasi dasar yang tepat untuk proposisi yang terbukti dengan sendirinya, dan itu tidak mampu di perbaiki, atau terbukti dengan indera, sehingga akan membekukan keyakinan tentang Tuhan dari berbagai fondasi, kedua, selain menjawab keberatan tertentu terhadap posisinya, maka plantinga mengklaim bahwa metode dari uraian yang tepat untuk mengembangkan prinsip-prinsip pembenaran adalah implikasi terhadap induktif, berangkat dari kasus-kasus individual yang cukup jelas tentang keyakinan yang dibenarkan atau tidak dibenarkan. Jadi Plantinga menganggapnya cukup jelas pada refleksi, dalam beberapa kasus, bahwa keyakinan mengenai Tuhan adalah dasar yang benar. Dia mengakui bahwa banyak orang akan tidak setuju, tetapi mencatat bahwa kita terbiasa dengan ketidaksepakatan yang meluas dalam hal-hal filosofis.[17] Pembelaan Plantinga atas pondasi posisinya dikerangkai dengan sungguh hati-hati dan sangat to the point. Namun dmeikian, terkecuali untuk kritik negatif dalam pembelaan ialah pembelaan internal.

Plantinga juga tidak mempermasalahkan penyederhaan dalam fondasionalisme, justru sebaliknya Plantinga menegaskan bahwa beberapa keyakinan yang tidak terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau yang tidak dapat di perbaiki adalah dasar yang benar, secara penekanan ia kembali menolak fondasinalisme klasik dan akan memperluas struktur pendukung fondasi pada fondasionalisme lemah yang di kerangkai oleh Plantinga sebagai pandangan bahwa, 1). Setiap struktur neotik rasional memiliki fondasi dan 2) dalam struktur neotik rasional, dalam ketyakinan non-dasar akan sebanding dengan ruas kekuatan dalam mendukung dari bentuk fondasi untuk memasukan kepercyaan kepada Tuhan, argumen Plantinga terhadap fondasinalisme klasik dapat di katakan demikian:

Menurut pandangan fondasionalisme klasik, hanya ada keyakinan yang benar-benar tertentu (yang terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau tidak dapat diperbaiki) yang benar-benar mendasar.

 Jika fondasionalisme klasik benar, maka, karena sangat banyak keyakinan kita tidak benar-benar pasti, sangat banyak keyakinan kita tidak benar-benar mendasar, termasuk keyakinan bahwa ada objek fisik imortal di dunia eksternal-ke-pikiran, bahwa bayangan masa depan akan menyerupai masa lalu, dan esensi dari persepsi inderawi dan memori umumnya dapat diandalkan, sehingga ada pikiran sadar selain milik sendiri,  bahwa Bumi telah ada selama lebih dari lima menit, dan seterusnya.

Bertentangan dengan fondasionalisme klasik, masuk akal untuk berpikir bahwa keyakinan yang tercantum dalam (2) benar-benar mendasar.

Selain itu, fondasionalisme klasik tidak konsisten dan koheren secara referensial; Hal tu tidak sepenuhnya pasti, itu tidak terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau tidak dapat diperbaiki, dan itu tidak dapat diturunkan dari pernyataan yang terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau tidak dapat diperbaiki. maka

Maka. fondasionalisme klasik adalah salah[18]

 

1. Pemikiran Singkat Alvin Plantinga atas Argumen Tuhan dan Kejahatan 

Salah satu aspek penting yang tercantum didalam  karya Plantinga yang berjudul God Freedom, And Evil adalah ketika Plantinga berpendapat bahwa komponen utama yang penting dari filsafat agama ialah menyangkut mengenai keyakinan, khususnya keyakinan bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa memang ada semacam entitas yang di klaim para teis untuk sekedar disembah dan di percaya, Keyakinan ini jelas menimbulkan propaganda atas banyaknya kalangan yang belum menerima hal ini secara universal, dan tak sedikit juga banyak yang menolaknya, beberapa orang juga mengkalim bahwa hal itu jelas keliru dan tidak rasional untuk diterima. Dengan begitu respon sebagai tanggapan, beberapa upaya teolog dan filsuf teistik telah mencoba memberikan argumen atau bukti yang berhasil untuk menjelaskan keberadaan Tuhan, dan usaha ini disebut sebagai teologi alami sekedar hanya untuk menunjukan bahwa kepercayaan agam mampu diterima secara rasional. Plantinga menguraikan bahwa bagaimana misalkan jika kita memulai dengan apa yang telah Plantinga reduksi sebagai teologi alami, ada upaya jajaran untuk percaya bahwa Tuhan ada. Mungkin bagian teologi alami yang paling umum diterima dan cukup mengesankan ialah yang berhubungan dengan apa yang disebut dengan masalah kejahatan. Banyak filsuf percaya bahwa keberadaan kejahatan merupakan titik kesulitan bagi penganut teis, sehingga banyak yang pervaya juga bahwa keberadaan kejahatan (atau setidaknya jumlah dan jenis kejahatan yang kita temukan) membuat kepercayaan kepada Tuhan tidak masuk akal atau jatah tidak dapat diterima.[19] Dunia memang mengandung banyak kejahatan, beberapa di antaranya dikatalogkan oleh David Hume:

Tetapi meskipun penghinaan eksternal ini, kata Dernea, dari binatang, dari manusia, dari semua elemen, yang menyerang kita membentuk katalog kesengsaraan yang mengerikan, mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang muncul di dalam diri kita sendiri, dari kondisi pikiran dan tubuh kita yang kacau. Berapa banyak yang terbaring di bawah siksaan penyakit yang masih ada? Dengarkan pencacahan menyedihkan dari penyair besar.

Intestine stone and ulcer, colic-pangs, Demoniac frenzy, moping melancholy, And moon-struck madness, pining atrophy, Marasmus, and wide-wasting pestilence. Dire was the tossing, deep the groans: Despair Tended the sick, busiest from couch to couch. And over them triumphant Death his dart Shook: but delay'd to strike, though oft invok 'd With vows, as their chief good and final hope.

 

Gangguan pikiran, lanjut Demea, meskipun lebih rahasia, mungkin tidak kurang suram dan menjengkelkan. Penyesalan, rasa malu, kesedihan, kemarahan, kekecewaan, kecemasan, ketakutan, kesedihan, keputusasaan - siapa yang pernah menjalani hidup tanpa terobosan kejam dari para penyiksa ini? Berapa banyak yang hampir tidak pernah merasakan sensasi yang lebih baik? Tenaga kerja dan kemiskinan, yang begitu dibenci oleh semua orang, adalah jumlah tertentu dari jumlah yang jauh lebih besar; dan beberapa orang istimewa yang menikmati kemudahan dan kemewahan tidak pernah mencapai kepuasan atau kebahagiaan sejati. Semua barang kehidupan yang bersatu tidak akan membuat orang yang sangat bahagia, tetapi semua penyakit yang bersatu akan membuat celaka; dan salah satu dari mereka hampir (dan yang bisa bebas dari setiap orang), tidak, seringkali tidak adanya satu kebaikan (dan yang dapat memiliki semua) sudah cukup untuk membuat hidup tidak memenuhi syarat[20]

2. Plantinga dan mengenai pertanyaan: Mengapa Tuhan mengizinkan kejahatan

Plantinga cukup menegasikan dalam menangani kejahatan dengan asumsi bahwa secara jelas dunia telah mengandung banyak kejahatan. Dan diskusi teoologis sering diawali oleh sebuah pertanyaan. Bagi Plantinga bahwa jika Tuhan sama baik hati seperti yang telah di klaim oleh para teis Kristen, Tuhan pasti sama tercengang nya dengan kita atas semua kejahatan yang telah terjadi ini. Akan tetapi jika Tuhan maha kuasa seperti yang sudah di klaim oleh para teisme maka mungkin Tuhan telah berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu tentang hal itu. Jadi mengapa Tuhan mengizinkannya? Mengapa Tuhan tidak mengatur hal-hal agar kejahatan ini tidak terjadi? Bagi Plantinga Itu seharusnya cukup mudah bagi seseorang yang sekuat Tuhan.[21] Seperti yang dikatakan Hume:

Apakah dia bersedia mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Jika demikian maka dia tidak maha kuasa. Lantas apakah dia mampu, tetapi tidak mau? maka kemudian dia jahat. Apakah dia mampu dan seakligus mau? Lalu  jika benar, maa dari mana datang nya kejahatan?

dan

Mengapa ada kesengsaraan dan penderitaan di dunia ini? ini tentu saja buka rekayasa dan kebetulan. Jadi pasti ada penyebabnya. Apakah ini bersumber dari intensi ilahi. Akan tetapi Tuhan itu sempurna dan memiliki kebaikan. Dan apakah ini bertentangan dengan intensi nya? Tetapi Tuhan itu mahakuasa. Dan tidak ada yang bisa menggoyahkan kekuatan dari argumentasi ini, begitu singkat dan jelas.[22]

Dari uraian itu pun Hume menekankan bahwa jika Tuhan sangat baik dan juga mahakuasa, mengapa telah ada kejahatan di dunia ini? Dan mengapa Tuhan mengizinkannya. Bagi Plantinga saat ini mungkin telah tertanam satu jawaban untuk menentukan alasan mengenai Tuhan dalam mengizinkan kejahatan atau untuk menciptakan dunia yang telah mengandung kejahatan, yaitu bahwa "mungkin kejahatan diperlukan, dalam beberapa metode, untuk melengkapi keberadaan kebaikan", maka klaim jawaban atas pertanyaan Hume akan mengandung sifat yang teodisi[23] Bagi seorang teis mungkin ingin memiliki sebuah teodisi, megenai jawaban atas pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan kejahatan secara umum atau kategori tertentu, seperti kematian dan penderitaan seseorang yang dekat dengan nya, dan mengalami penderitaan yang lain semacam nya. Sehingga apa jadinha jika tidak ada argumen teodisi untuk menjawab problem ini atau anggaplah seorang Teis tidak tahu mengapa Tuhan mengizinkan kejahatan, mungkin bagi seorang teis menganggap bahwa mungkin Tuhan memiliki alasan lain yang baik akan hal itu, tetapi alasan itu nampaknya rumit untuk kita pahami., atau seorang teis belum mengungkapkannya karena alasan lain, Fakta bahwa teis tidak tahu mengapa Tuhan mengizinkan kejahatan adalah, mungkin, fakta yang menarik tentang teis, tetapi dengan sendirinya itu menunjukkan sedikit atau tidak ada yang relevan dengan rasionalitas kepercayaan kepada Tuhan.[24]

Jika kita merujuk terhadap hal yang lain, maka apakah teis telah bertentangan dengan dirinya sendiri? Pada sebuah artikel yang dibahas oleh John Mackie[25] yang berjudul "kejahatan dan kemahakuasaan" Makcie berpendapat bahwa, "Saya pikir, bagaimanapun, bahwa kritik yang lebih jitu dapat dibuat dengan cara masalah tradisional kejahatan. Di sini dapat ditunjukkan, bukan bahwa kepercayaan agama tidak memiliki dukungan rasional, tetapi bahwa mereka secara positif tidak rasional, bahwa beberapa bagian dari doktrin teologis esensial tidak konsisten satu sama lain." Dari argumen ini apakah Mackie telah benar? apakah teis telah bertentangan dengan dirinya sendiri?. Akan tetapi setidaknya kita akan mengajukan pertanyan sebelum lebih lanjut tentang, apa yang telah dikalim di sini?. Keyakinan yang di prioritaskan oleh teistik itunapakah mengandung sebuah inkonsistensi atau kontradiksi, tentu saja, namun apa tepatnya inkonsistensi  atau kontradiksi?. Ada beberapa uraian bentuk dalam kontradiksi eksplisit adalah mengenai proposisi dari jenis tertentu, misalnya proposisi konjungtif, satu konjungsi di antaranya adalah tentang penolakan atau negasi dari konjungsi lainnya. Sebagai contoh, Paul adalah pemain tenis yang baik, dan itu salah bahwa Paul adalah pemain tenis yang baik. (Orang jarang menyatakan kontradiksi eksplisit). Apakah Mackie menuduh teis menerima kontradiksi semacam itu? Agaknya tidak; apa yang dia katakan adalah: "Dalam bentuknya yang paling sederhana, masalahnya adalah ini: Tuhan itu mahakuasa; Tuhan sepenuhnya baik; namun kejahatan itu ada. Tampaknya ada beberapa kontradiksi antara ketiga proposisi ini, sehingga jika salah satu dari dua dari mereka benar, yang ketiga akan salah. Tetapi pada saat yang sama ketiganya adalah bagian penting dari sebagian besar posisi teologis; Teolog, tampaknya, harus segera mematuhi dan tidak dapat secara konsisten mematuhi ketiganya."[26]

Maka demikian menurut, Mackie setidaknya seorang teis menerima sekelompok atau satu rangkaian set dati tiga proposisi tersebut, dan keterhubungan dari tiga rangkaian itu memiliki nilai yang inkonsosten. Rangkaian-rangkain dari set ini tentu adalah (Set A):

(1) Tuhan adalah mahakuasa

(2) Tuhan sepenuhnya baik

dan

(3) Adanya kejahatan

Plantinga menyebutkan bahwa ini sebagai set A; klaim dari Mackie adalah bahwa A merupakan set yang inkonsisten. Tetapi bagaimana satu dari set ini bisa di klaim sebagai set yang inkonsisten atau kontradiktif, akan mengikuti definisi kita mengenai kontradiksi eksplisit, kita bisa saja berkata bahwa satu sset proposisi adalah kontradiktif secara eksplisit jika salah satu anggota dari set itu merupakan penolakan atau negasi terhadap anggota lainnya. Tetapi tentu saja set yang kita sedang bahas ini merupakan set yang tidak kontradiktif secara eksplisit; apa yang merupakan penolakan terhadap (1), (2) dan (3) secara berurutan adalah

(1') Tuhan tidak mahakuasa  (atau adalah hal yang salah jika dikatakan bahwa Tuhan adalah mahakuasa)

(2') Tuhan tidak sepenuhnya baik

dan

 (3') Tidak ada kejahatan.[27]

tidak satu pun dari proposisi ini yang telah tercantum di dalam set A. Tentu saja banyak set yang secara jelas tampak kontradiktif didalam hal penting, tetapi bukan kontradiktif secara eksplisit. Sebagai contoh adalah set B:

(4) Jika semua manusia adalah fana, maka Socrates adalah fana

(5) Semua manusia adalah fana

(6) Socrates tidak fana

Menurut Plantinga, set ini tidak kontradiktif secara eksplsit, tetapi jelas sejumlah makna yang cukup signifikan dari istilah ini adalah bahwa dengan mempergunakan secara fungsional aturan-aturan lohika umum, hukum logika proposisional dan teori mengenai kuantifikasi yang telah ditemukan didalam semua teks pengantar subjek ini, setidaknya kita bisa mendeduksi suatu kontradiksi secara eksplisit dari set B ini. Atau dengan kata lain, kita bisa mempergunakan hulum logika untuk sekedar mendeduksi suatu proposisi dari set tersebut, uraian proposisi yang ketika akan di tambahkan, akan menghasilkan satu set baru yang inkonsistensi secara eksplisit. Karena dengan mempergunakan hukum modus ponens (jika p, maka q; p, maka q) kita mampu mendeduksi.

(7) Socrates adalah fana

dari  (4) dan (5). Hasil dari penambahan (7) ke set B adalah set yang terdiri dari (4, 5, 6, 7). Set ini tentu saja kontradikftif secara eksplisit, yaitu bahwa (6) merupkan penolakan terhadap (7). Kita bisa berasumsi bahwa setiap set yang telah memiliki karakteristik seperti set B ini merupakan kontradiktid secara formal. Jadi set yang kontradiktif secara formal adalah bagian set yang dari anggota-anggotanya bisa dideduksi mengeni suatu kontradiksi eksplisit berdasarkan hukum logika. Apakah klaim mengenai Mackie adalah bahwa set A kontradiktif secara formal?

Jika itu merapakan klaim Mackie, maka dia sudah keliru. Karena tidak ada hukum logika yang memungkinkan kita untuk mendeduksi penolakan terhadap salah satu bagian proposisi dalam set A dari anggota-anggota lain. Set A juga bukan berarti kontradiktif secara formal.[28]

Pertahanan Kehendak bebas Plantinga dan argumen kejahatan

Plantinga memberikan penekanan secara khusus terhadap kehendak bebas, dengan berbagai pemeriksaan lebih dekat, untuk menyatakannya dengan lebih akurat, dan juga mempertimbangkan segala keberatanyya, dan usaha Plantinga akan menguraikan bahwa hasil itu akan berhasil. Sebelumnya kita akan memperlihatkan bahwa Plantinga berpendapat bahwa diantara keadaan-keadaan baik ada beberapa yang bahkan Tuhan tidak dapat diwujudkan tanpa menghadirkan suatu kejahatan: berbagai alat-alat itu adalah suatu yang memerlukan keperluan dalam keadan-keadaan kejahatan. Pembelaan mengenai kehendak bebas dapat di pandang sebagai upaya untuk menunjukan bahwa mungkin ada berbagai jenis kebaikan yang sangat berbeda yang itu tidak dapat dihasilkan oleh Tuhan tanpa adanya mengizinkan kejahatan, ini  merupakan keadaan baik yang tidak termasuk kejahatan.[29] Plantinga berpendapat bahwa, dunia yang berisi tentang makhluk yang secara sigmifikam bebas (dan untuk bebas melakukan lebih banyak kebaikan daripada tindakan jahat) merupakan hal yang lebih berharga, dengan kesetaraan makhluk yang berkeadilan, daripada dunia yang tidak mengandung makhluk bebas sama sekali. Tuhan mampu menciptakan makhluk bebas, tetapi Tuhan sendiri tidak dapat menyebabkan atau menentukan kepada para makhluk untuk melakukan apa yang benar.[30]

Lantas bagaimana cara memaknai kinerja mengenai pertahanan kehendak bebas? Dan apa yang di motivasikan dengan pembela kehendak bebas ketika dia mengatakan bahwa orang-orang adalah mengetahui mungkin secara bebas? Apa yang sesuai dengan pertahanan kehendak bebas adalah uraian argumen untuk sehubungan dengan suatu tindakan. Jika manusia bebas sehubungan dengan segala bentuk tindakan tertentu, maka dia bebas untuk melakukan tindakan itu secara bebas, dan tidak ada hukum dan kondisi kausal yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan sebuah tindakan, atau bahwa seseorang tidak akan melakukannya.[31] Adalah situasi kekuasaanya, pada paruh waktu yang di pertanykan , untuk hanya melakukan tindakan itu dan juga berada di kekuasaannya jika tidak melakukan tindakan itu. Bagi Plantinga kebebasan semacam ini tidak di gariskan dengan keadaan yang tidak mampu di perkirakan, Plantinga mengandaikan bahwa jika kita mungkin mampu memprediksi apa yang akan kita lakukan didalam suatu situasi tertentu sekalipun dalam situasi tersebut kita bebas untuk melakukan suatu hal yang lain, jika seseorang mengenal baik satu sama lain, mungkin orang akan bisa memprediksi apa tindakan seseorang sebagai sikap reaksi terhadap suatu rangkaian kondisi tertentu, dan tetapi menurut Plantinga bahwa kita bisa bebas dalam menentukan segala keterkaitan dengan bentuk tindakan itu.[32] Selanjutnya Plantinga berkata bahwa suatu tindakan adalah signifikan secara moral, bagi seseorang, jika adalah salah baginya untuk melakukan tindakan itu dan benar jika tidak melakukannya, dan begitu sebaliknya. Sebagai contoh misalkanya ketika kita menepati sebuah janji, maka itu merupakan sifat yang signifikan secara moral bagi kita. Maka andaikan kita berkata bahwa jika seseorang adalah bebas secara signifikan, pada situasi tertentu, maka orang itu pada saat itu memang bebas dalam keterehubungannya dengan suatu tindakan yang signifikan secara moral. Dan yang terakhir, Plantinga mendasari bahwa kita harus membedakan antara kejahatan moral dan kejahatan natural, kejahatan moral adalah mengenai hasil dari aktivitas bebas manusia, sedangkan kejahatan natural adalah bentuk kejahatan yang berbeda.[33]

Pertama-tama, Plantinga telah membagi perbedaan yang di buat antara kejahtan moral dan kejahatan natural. Yang pertama, pembagian itu berupa sifat kejahatan yang dihasilakn dari pilihan kehendak manusia, dan kejahatan yang tidak melibatkan kehendak manusia. Sebagai contoh misalnya penderitaan mengenai terjadinya gempa bumi, akan menjad bagian kasus dari kejahatan natural, dan kejahatan yang di akibatkan kekejaman manusia akan menjadi kasus kejahatan moral. Dalam uraian perbedaan ini tentu akan banyakk sekali pertanyaan yang dapat di ajukan dala keadaan itu, misalnya uraian sederahana pembelaan kehendak bebas biasanya dinyatakan dengan cara seperti berikut. "Dunia yang berisi makhluk yang dengan bebas melakukan tindakan baik dan jahat, dan melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, kan lebih berharga daripada dunia yang hanya berisi quasi automata yang selalu melakukan apa yang benar, karena sejatinya mereka tidak dapat melakukannya sebaliknya.Bagi Plantinga, sekarang Tuhan dapat menciptakan makhluk bebas, tetapi Tuhan sendiri tidak dapat secara kausal atau sebaliknya menenrukan mereka hanya untuk melakukan apa yang benar, karena jika seorang melakukannya, mereka tidak melakukan apa yang benar dengan bebas. Dengan begitu untuk menciptakan makhluk yang mampu melakukan kebaikan moral, Tuhan harus menciptakan makhluk yang mampu melakukan kejahatan moral; Tetapi Tuhan tidak dapat menciptakan kemungkinan kejahatan moral dan pada saat yang sama melarang aktualitasnya. Dan ternyata, beberapa makhluk bebas yang diciptakan Tuhan menggunakan kebebasan mereka untuk melakukan apa yang salah: karenanya kejahatan moral. Fakta bahwa makhluk bebas kadang-kadang keliru, bagaimanapun, sama sekali tidak menentang kemahakuasaan Tuhan atau melawan kebaikan-Nya; karena Tuhan dapat mencegah terjadinya kejahatan moral hanya dengan menghilangkan kemungkinan kebaikan moral.[34] Dengan cara ini beberapa teis tradisional telah mencoba untuk menjelaskan atau membenarkan bagian dari kejahatan yang terjadi dengan menganggapnya sebagai kehendak manusia daripada kehendak Tuhan. Setidaknya ada tiga jenis keberatan terhadap gagasan ini dapat ditemukan baik dalam tradisi maupun dalam literatur saat ini. Sehingga Plantinga akan mencoba mengembangkan dan mengklarifikasi Pembelaan Kehendak Bebas dengan menyatakannya kembali dalam menghadapi keberatan-keberatan ini.

Plantinga juga menegaskan dalam intuisi kehendak bebas bahwa semua tindakan seseorang bisa saja di tentukan secara kausal dalam kesempatan apapun untuk menentukan pilihan dalam melakukan tindakan apapun yang berbeda dari yang dia lakukan dan dia buat. Masih bisa dikatakan benar jika dia melakukan tindakan yang sebaliknya, Memang, dia tidak bisa memilih untuk melakukan sebaliknya; Tetapi ini konsisten dengan mengatakan bahwa jika dia melakukannya, segalanya akan berjalan berbeda. Bagi Plantinga, keberatan mengenai pembelaan terhadap Kehendak bebas ini tampaknya sama sekali tidak masuk akal, sebagai gambaran, orang mungkin juga mengklaim bahwa berada di penjara tidak benar-benar membatasi kebebasan seseorang untuk tidak di penjara, dan dia akan bebas untuk datang pergi sesuka hatinya. Plantinga juga menguraikan sebuah keberatan kehendak bebas yang lebih berat, seperti gambaran bahwa, tentunya adalah mungkin untuk melakukan hanya apa yang benar, bahkan jika seseorang bebas untuk melakukan yang salah. Ada kemungkinan, dalam arti secara logis yang luas, bahwa ada sebuah dunia yang berisi makhluk bebas yang selalu melakukan apa yang benar. Tentu saja dibaliknya tidak ada kontradiksi atu inkonsistensi dalam argumen ini. Tetapi Tuhan itu mahakuasa, kekuatannya memiliki batasan yang tidak logis, jadi jika mungkin ada sebuah dunia yang dimana telah berisi makhluk yang bebas melakukan apa yang salah tetapi tidak pernah melakukannya, maka Tuhan yang mahakuasa dapat menciptakan dunia seperti itu. Namun, bagi Plantinga jika demikian, Pembelaan Kehendak Bebas harus keliru dalam desakannya pada kemungkinan bahwa Tuhan itu mahakuasa tetapi tidak dapat menciptakan dunia yang mengandung kebaikan moral tanpa mengizinkan kejahatan moral. J. L. Mackie telah menyatakan keberatan ini dalam uraiannya:

Jika Tuhan telah membuat manusia sedemikian rupa sehingga dalam pilihan bebas mereka, mereka kadang-kadang lebih memilih apa yang baik dan kadang-kadang apa yang jahat, mengapa Dia tidak membuat manusia sedemikian rupa sehingga mereka selalu bebas memilih yang baik? Jika tidak ada kemustahilan logis dalam seseorang secara bebas memilih yang baik pada satu kesempatan, atau pada beberapa kesempatan, tidak mungkin ada ketidakmungkinan logis dalam memilih yang baik secara bebas pada setiap kesempatan. Maka, Tuhan tidak dihadapkan pada pilihan antara membuat automata yang tidak bersalah dan membuat makhluk yang, dalam bertindak bebas, kadang-kadang akan salah; Ada terbuka baginya kemungkinan yang jelas lebih baik untuk membuat makhluk yang akan bertindak bebas tetapi selalu berjalan dengan benar. Jelas, kegagalannya Memanfaatkan kemungkinan ini tidak konsisten dengan keberadaannya yang mahakuasa dan sepenuhnya baik.[35]

Lantas apa maksud yang telah di uraikan oleh Mackie disini? dalam representasi Plantinga dari uraian itu bahwa, pertahanan kehendak bebas adalah mungkin bahwa Tuhan itu mahakuasa dan bahwa Tuhan tidak dapat menciptakan dunia yang megandung kebaikan moral tanpa menciptakan dunia yang mengandung kejahatan moral. Akan tetapi jawaban dan respon Mackie ialah pembatasan kuasa-nya untuk menciptakan ini tidak sepadan secara konsisten dengan kemahakuasaan Tuhan. Karena pasti ada segala kemungkinan bahwa ada dinia yang berisi orang-orang yang sangat berbudi luhur yang secara signifikan bebas akan tetapi selalu melakukan apa yang benar. Secara jelas tentunya ada segala kemungkinan dunia yang mengandung kebaikan moral tetapi tidak ada kejahatan moral. Tetapi Tuhan, jika Dia mahakuasa, dapat menciptakan dunia apa pun yang mungkin Tuhan pilih. Jadi tidak mungkin, bertentangan dengan Pertahanan Kehendak Bebas, baik bahwa Tuhan itu mahakuasa dan bahwa Tuhan  dapat menciptakan dunia yang mengandung kebaikan moral hanya dengan menciptakan dunia yang mengandung kejahatan moral.[36]

Kehendak bebas disisi lain misalnya seperti yang di utarakan oleh A. J . Ayer memiliki nilai yang percis secara esensial, kehendak bebas yang menyangkut antara sisi moral dan natural, maka Ayer berpendapat bahwa, ketika kita mengatakan bahwa telah melakukan sesuatu atas kehendak bebas kita sendiri, tersirat bahwa kita dapat bertindak sebaliknya; dan hanya ketika diyakini bahwa kita dapat bertidnak sebaliknya maka kita dianggap bertanggung jawab secara moral atas apa yang telah kita lakukan, karena seseorang tidak dianggap bertanggung jawab secara moral atas suatu tindakan yang tidak dalam kekuasaanya untuk dihindari. Tetapi jika perilaku manusia sepenuhnya diatur oleh hukum sebab akibat, tidak begitu jelas mengenai bagaimana tindakan apa pun yang mampu dilakukan dapat dihindari. Sekarang umumnya diasumsikan bahwa seseorang mampu bertindak bebas, dalam arti yang diperlukan untuk membuat mereka bertanggung jawab secara moral, dan bahwa perilaku manusia sepenuhnya diatur oleh hukum kausal, dan itu merupakan konflik secara nyata antara dua asumsi yang telah menimbulkan masalah filososfis mengenai kehendak bebas.[37] Ayer menunjukan keresahan secara intuitif juga mengenai kehendak bebas atas moralitas yang telah di atur oleh hukum sebab akibat.

Kehendak bebas ketuhanan yang di alami Plantinga oleh argumen Mackie nampaknya akan bergeser terhadap pandangan yang serupa dengan filsuf Jerman G. W. Leibniz, menurut Leibniz, dunia ini dunia nyata, harus menjadi yang terbaik dari semua dunia yang mungkin, alasannya adalah sebelum Tuhan menciptakan apapun, Tuhan telah di hadapkan dengan sejumlah besar pilihan; Tuhan bisa menciptakan atau mewujudkan salah satu dari banyak sekali dunia yang mungkin berbeda. Menjadi sangat baik, Tuhan pasti telag memilih untuk menciptakan dunia terbaik yang Tuhan bisa; dan menjadi mahakuasa, Tuhan mampu menciptakan dunia apapun yang mungkin dia sukai. Oleh sebab itu, Tuhan pasti telah memiliki yang terbaik dari semua dunia yang mungkin; dan karenabya dunia ini, yang dia ciptakan, pastilah baik[38]. Leibniz juga memahami bahwa semesta dimaknai sebagai tatanan harmonisasi yang di ciptakan dan di atur oleh Tuhan, yang di dalamnya terdapat lingkup yang harmoni dalam segala sesuatu yang didasarkan, dari konsepsi ini maka di uraikan visi etis yang mengurangi seminimal mungkin 'bahan' utama moralitas, selaras dengan keyakinan 'minimalis/ awal Leibniz bahwa hipotesis terbaik adalah hipotesis yang menjelaskan sebgaian besar fenomena dengan cara yang paling dasar dan sederhana, kebajikan moral dasarnya adalah keadilan, yang di maknai sebagai cinta universal atau kebajikan yang didasarkan ppada kebajikan dianoetic dasar[39]

Menurut Plantinga, sekarang mungkin Mackie akan setuju dengan anggapan Leibniz bahwa jika Tuhan mahakuasa, Tuhan bisa menciptakan dunia apa pun yang Tuhan suka dan akan menciptakan dunia terbaik yang Tuhan bisa. Akan tetapi sementara Leibniz akan menatik keismpulakn bahwa dunia ini, telah terlepas dari penampakannya, harus menjadi yang terbaik, Malah malah menyimpulkan bahwa tidak ada Tuhan yang mahakuasa dan sepenuhnya baik, Karena bagi Mackie cukup jelas bahwa dunia saat ini bukanlah yang terbaik dari semua dinia yang mungkin. Pembelaan mengenai argumentasi Khendak Bebas itu pada akhirnya merujuk terhadap ketidak setujuan mengenai tanggapan Leibniz. Alasam Makcie pertama-tama dia mungkin berkata bahwa apa alasan untuk menganggap bahwa ada yang terbaik dari semua dunia yang mungkin? Tidak seberapa ppeduli betapa menakjubkannya dunia ini sehingga mempertahankan tidak peduli berapa banyak orang yang menikmati kebahagiaan yang tak tercampur, bukankah mungkin secara niscaya ada dunia yang lebih baik yang berisi lebih banyak orang yang menikmati kebahagiaan yang bahkan lebih murni, Tetapi apa yang benar-benar bersifat teristik, dan sentral bagi Pertahanan Kehendak Bebas adalah klaim bahwa Tuhan, meskipun mahakuasa, tidak mengaktualisasikan sembarang dunia yang mungkin Dia sukai.[40]

Banyak dari kalangan filsuf tampaknya menganggap bahwa argumen Plantinga atau varian yang diuraikan dengan akurat darinya atau sama sekali menghancurkan jenis argumen "logis" dari kejahatan yang dikembangkan dalam Mackie. Dalam buku Graham Oppy Arguing abouts Gods, Oppy tidak yakin bahwa ini merupakan hal penilaian yang benar tentang keadaan situasi saat ini. Pertama, Oppy berpikir bahwa pembelaan kehendak bebas Plantinga melibatkan inkonsistensi yang sampai sekarang tidak terdeteksi. Kedua, Oppy berpikir bahwa bahkan jika pertahanan kehendak bebas Plantinga konsisten, dan itu berkaitan dengan beberapa justifikasi asumsi metafisik yang telah dipertanyakan. Ketiga, kemudian jika asumsi mengenai metafisik yang menjadi sandaran pembelaan kehendak bebas Plantinga dapat di pertanyakan, ada pertanyaan serius yang harus diajukan tentang asumsi moral yang dibuat dalam kerangka pembelaan itu. Sehingga akhirnya Oppy berpikir bahwa, jika bahkan pembelaan kehendak bebas Plantinga dapat diterima ada argumen yang terkait erat dengan yang di kembangkan oleh Mackie, yang tidak rentan terhadap varian pertahanan kehendak bebas Plantinga, akan tetapi yang jelas itu akan layak untuk di justifikasi lebih lanjut.[41]

Argumen logis Plantinga mengenai kejahatan moral pun sunguh sebuah pertanyaan yang mengklaim bahwa secara logis dalam uraian klaim berikut ini;

1. Makhluk yang sempurna ada

2. Setiap makhluk yang sempurna adalah mahakuasa

3. Setiap makhluk sempurna adalah mahatau

4. Setiap makhluk sempirna sangat baik

5. Jika ada makhluk yang sempruna, maka itu adalah satu-atunya pencipta alam semesta

6. Kejahatan moral ada.

tanggapan Plantinga terhadap argumen yang telah di uraikannya itu pada dasarnya, adalah untuk menggambarkan dunia yang mungkin secara logis dimana uraian dari 1-6 semuanya benar. Oppy mencoba untuk memberikan penangguhan yang cukup mungkin tentang jenis dunia niscaya yang telah di bayangkan Plantinga, dan jenis konsepsi ruang logis yang harus dimiliki seseorang jika seseorang menganggap bahwa apa yang telah dijelaskan adalah memnag bahwa dunia yang mungkin secara logis. Jika kita memiliki alasan kuat untuk mempercayai hal ini, maka kita tidak perlu melanjutkan ke pemeriksaan argumen logis yang merupakan target kita saat ini. Mungkin juga, setiap dunia yang mungkin adalah dunia di mana ada makhluk yang sempurna; Jika demikian, maka perhatian kita semata-mata diarahkan pada semua dunia yang mungkin.[42]

Pembelaan atas kehendak bebas Plantinga itu pada akhirnya Oppy menawarkan beberapa hal untuk setidaknya dalam anggapan bahwa dalam satu dunia ini tidak akan berisi apapun terkecuali keberadaan yang cukup sempurna dan mengenai apa yang dibutuhkan bagi keberadaan yang terkait mengenai hakikat dari yang sempurna itu. Sementara yang lainnya akan hanya berisi suatu keberadaan yang sempurna dan hal-hal lain yang ada sebagai konsekuensi dari berbagai aktivitas kreatif dari suatu keberadaan yang cukup sempurna. Di antara beberapa dunia-dunia yang mungkin tersebut, maka ada beberapa kemungkinan yang tidak terkandung mengenai daya agen-agen kognitif yang memiliki kebebasan. Akan tetapi, kepentingan kita berada pada sebuah dunia yang mungkin itu di mana terdapat keberdaanya yang sempurna yang telah menciptakan alam semesta dimana didalamnya terdapat agen-agen yang bebas.[43]

Daftar Pustaka

A.J. Ayer. "Freedom And Necessity". Cataloguing in Publication Data, Free will,  Edited by. GARY WATSON.( Published in the United States by Oxford University Press, New York). (1982).

Alvin Plantinga. "The Free Will Defence". di dalam judul buku The Philosophy Of Religion, editor. Basil Mitchell (London: Oxford Uiversity Press, (1977)

Alvin Plantinga. Edited By James E. Tomberlin, Peter V An Inwagen. D. Reidel Publishing Company. (1985).

Alvin Plantinga. God Freedom and Evil (Allah, kebebasan dan kejahatan). Diterjemahkan oleh IrwanTjulianto, dari karya original yaitu; God Freedom and Evil. penerbit; momentum christian literature. (1997).

Alvin Plantinga. God Freedom, And Evil.  William B. Eerdmans Publishing Company. (1974).

Alvin Plantinga. God Freedom, And Evil.  William B. Eerdmans Publishing Company. (1974)

David Hume. Dialogues Concerning Natural Religion. edition was created and published by Global Grey. (1776).

Erik Baldwin, Tyler Dalton McNabb. Plantingian Religious Epistemology and World Religions Prospects and Problems. Published by Lexington Books, London. (2019) 

Franz Magnis Suseno. Menalar Tuhan. Penerbit Pt Kanisius, Daerah Istimewa Y ogyakarta. (2006).

Graham Oppy. Arguing About Gods. By Cambridge University Press, New York. (2006)

Graham Oppy. Memperdebatkan Tuhan, Penerbit Antinomi, diterjemahkan dari karya asli; Arguing Abouts Gods,  diterbitkan oleh Cambridge University Press (2006).

James Beilby. Epistemology as Theology An Evaluation of Alvin Plantinga's Religious Epistemology. Published by Routledge, First published by Ashgate Publishing. (New York, USA). (2005).

James Beilby. Epistemology as Theology An Evaluation of Alvin Plantinga's Religious Epistemology. 

James Beilby. Epistemology as Theology An Evaluation of Alvin Plantinga's Religious Epistemology. 

John Mackie, "Evil And Omnipotence". di dalam judul buku The Philosophy Of Religion, editor. Basil Mitchell (London: Oxford Uiversity Press, 1977)

Maria Rosa Antognazza. Leibniz An Intellectual Biography. Cambridge University Press Cambridge, New York. (2009).

William P. Alston. Perceiving God The Epistemology of Religious Experience, (by Cornell University, New York). (1991).

Xaverius Chandra. Bahan Ajar Filsafat Ketuhanan. Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Surabaya. (2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun