Sikap keagamaannya masih bersifat respetif (menerima) meskipun banyak bertanya
Pandangan ketuhannya masih bersifat anthropormorph (dipersifikasikan)
Penghayatan rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagau kegiatan ritual.
Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosycritic ( menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang karena mendengarkan ucapan-ucapan orang tua, melihat sikap dan perilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah, dan pengalaman dan meniru ucapan dan perbuatan orang tuanya. Sesuai dengan perkembangan intelektualnya (berpikirnya) yang terungkap dalam kemampuan berbahasa, yaiotu sudah membentuk kalimat, mengajukan pertanyaan dengan kata-kata : apa, siapa, dimana, dari mana, dan kemana. Maka anak sudah dapat diajarkan syahadat, bacaan dan Gerakan sholat, doa-doa dan hafalan surat pendek.
Elkind mengembangkan teori Piaget ke dalam pola perkembangan keagamaan pada anak. Elkind (dalam Suyadi, 2010 : 133) menyatakan bahwa Ketika nak tumbuh dewasa muncul dengan empat tipe kebutuhan mental yaitu :
Pencarian untuk konservasi, pada tahap ini anak-anak menganggap bahwa hidup adalah abadi
Pencarian representasi (masa pra-sekolah) hal ini penting pada masa ini adalah gambaran mental dan perkembangan Bahasa
Pencarian relasi (pertengahna kanak-kanak) pada tahap ini anak-anak sudah mulai mengalami kematangan mental, sehingga mereka merasakan hubungan dengan Tuhan.
Pencarian tentang pemahaman, selama anak-anak tumbuh dewasa mereka memahami jalinan persahabatan dan perkembangan kemampuan anak untuk berteori.
Harms menyimpulkan bahwa hanya ada tiga tahapan tentang pemikiran atau perkembangan beragama pada anak. Perkembangan beragama menurut Harms pada tahap firetale (usia 3-6 tahun). Pada tahap ini anak merepensentasikan keadaan Tuhan seperti raksasa, hantu, malaikat, bersayap, dan lain sebagainya.