Mohon tunggu...
Yesi yesi
Yesi yesi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Menulis hanya sebagian dari hobi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan dengan Non Muslim

30 April 2023   13:13 Diperbarui: 30 April 2023   13:31 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian Pernikahan dengan Non Muslim

Pernikahan adalah sunnatullah untuk mendapatkan keturunan. Islam sebagai agama memandang pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan bernilai ibadah, oleh karena itu pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan ketetapan Allah dalam al-Qur'an dan Sunah Rasul. Pengertian nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. Dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri.[1]

 Sedangkan menurut istilah para ulama, Abu Zahra dalam kitab al-Ahwal al-Syakhsiyah menyebutkan bahwa nikah merupakan suatu akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita yang saling mencintai, saling membantu, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.  

Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Sementara itu, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

 Sedangkan pernikahan beda agama menurut pendapatnya Rusli dan R. Tama, pernikahan dengan non Muslim adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat selanjutnya menurut Abdurrahman, pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.[2] 

 Maka dengan demikian pernikahan dengan non Muslim merupakan hubungan antar dua pemeluk  agama yang berbeda baik itu antara Muslim dengan Nasrani ataupun Yahudi dan diikat dalam satu pertalian yaitu pernikahan.

 

Urgensi Pernikahan

Pernikahan merupakan hal yang sakral dan dianjurkan dalam Islam. Karena dengan menikah selain untuk melaksanakan sunnatullah juga untuk menghasilkan keturunan. Penting atau tidaknya menikah tergantung bagaimana kesiapan kita dalam melaksanakan pernikahan. 

Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah dalam artian boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum menikah juga tidak selalu jadi wajib ataupun sunnah tetapi bisa jadi haram karena hal-hal tertentu. Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

 

Analisis Istinbath Hukum Islam tentang Pernikahan dengan Non Muslim

 

Agama-agama yang ada dimuka bumi ini dapat diklasifikasikan menjadi (1) Agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan Islam dan; (2) non samawi: Majusi, Watsani, Saba'i, dan lain-lain.  Apa yang disebut sebagai agama wahyu/samawi diklasifikasikan sebagai Ahli Kitab, sedangkan agama non wahyu (agama ardhz) ini diklasifikasikan sebagai musyrik atau kafir. [3]

Namun demikian, untuk melihat apakah agama non wahyu ini dapat diklasifikasikan kepada musyrik atau ahli kitab, maka di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Imam Syafi'i mengidentifikasi Ahli Kitab sebagai anak cucu Yahudi dan Kristen Israel, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa mayoritas para fuqoha berpendirian siapa saja yang mengikuti ajaran Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan termasuk kategori Ahli Kitab, bukan hanya Yahudi dan Kristen. 

Oleh karena itu, mereka yang mengikuti shuhuf Ibrahim atau Zabur yang diwahyukan kepada Nabi Dawud, dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Sementara itu, sebagian kecil Ulama Salaf mengatakan bahwa masyarakat yang memiliki kitab suci dapat dikatagorikan sebagai Ahli Kitab, termasuk kaum Majusi.[4]

 Dengan demikian, dapat dikategorikan agama yang tidak memiliki Nabi dan kitab suci sebagai musyrik dan yang memiliki kitab suci selain Islam, yakni Yahudi dan Nasrani disebut ahlul kitab. Perkawinan karena perbedaan agama dapat dikelompokkan menjadi:

 

1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik (non Muslim)

 

Islam melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik, begitu pula sebaliknya, yakni pernikahan antara pria musyrik dengan wanita muslim, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 221:

 "Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (Q.S Al-Baqarah [2]: 221).

 Berdasarkan ayat tersebut, maka pernikahan antara pria/wanita muslim dengan pria/wanita musyrik hukumnya haram. Namun demikian, klasifikasi wanita musyrik yang haram dinikahi itu masih terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para ulama. lbnu Jarir at-Thabari dan Muhammad Abduh berpandangan bahwa wanita musyrik yang dilarang untuk dinikahi itu ialah wanita musyrik dari bangsa Arab saja. Karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur'an tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. 

Menurut pendapat ini, seorang muslim boleh menikah dengan wanita musyrik tetapi bangsa non-Arab, seperti wanita Cina, Jepang, India yang diduga pada waktu itu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. [5]

 Namun, Sebagian besar ulama berpendapat bahwa semua musyrik baik dari bangsa Arab maupun non Arab, selain ahli kitab yakni Yahudi, dan Nasrani tidak boleh dinikahi. Jadi apapun agama atau kepercayaan selain Yahudi, Nasrani clan Islam termasuk pada kategori musyrik yang secara tegas diharamkan untuk dinikahi. Pendapat ini sebagai pendapat sahabat Ibnu Abbas dan empat orang tabi'in ; Ikrimah, Hasan al Bashri, Mujahicl dan Al Robi' bin Anas. 

Meraka menyatakan bahwa pengertian al Musyrikat dalam Q.S. Al Baqarah : 221 itu mencakup wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab dan bangsa lain. Kemudian ketentuan hukumnya dihapus (mansukh) oleh Q.S. Al Maidah : 5 yang membolehkan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab.[6]

 

Berdasarkan penjelasan di atas, ada konsekuensi yang ditimbulkan daripadanya, bahwa pernikahan antara pria/wanita muslim dengan pria/wanita musyrik tidak diperbolehkan dan haram hukumnya untuk dinikahi.

 

2. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli kitab

 

Menurut jumhur Ulama pria muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) hal ini didasarkan pada Q.S Al-Maidah [5]: 5:

 

 

"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (Q.S Al-Maidah [5]: 5)

 Dengan melihat ayat tersebut, para ulama fikih berbeda pendapat dalam menyikapi kebolehan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab. Kelompok pertama berpendapat bahwa pria muslim boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Alasan kehalalan menikahi wanita ahli kitab di samping berdasarkan al-Quran surat al-Maidah ayat 5 sebagai takhsis (kekhususan) ditunjang pula oleh sunah Nabi di mana Nabi pemah menikah dengan wanita ahlul kitab yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen) serta Usman pernah menikah dengan Nailah binti Firafisah. 

Demikian pula seorang sahabat Nabi, Hudzaifah bin Yaman, pemah kawin dengan seorang wanita Yahudi. Dalam prakteknya, terdapat sebagian sahabat yang menikahi wanita kitabiyah seperti Thalhah dan lbnu Ubaidah.

 Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa hukum pria muslim menikahi wanita ahli kitab adalah haram karena perempuan ahli kitab termasuk musyrik. Alasan kelompok kedua ini dikuatkan juga dengan ayat Al-qur'an Q.S Yusuf [12]: 106 yang artinya: "dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam kedaan mempersekutukan Allah (dengan sembah-sembahan lain."[7]

 Pernikahan dengan non Muslim ini apabila dilaksanakan menurut penulis ditakutkan akan banyak mudharatnya. Mudharat yang akan timbul antara lain banyaknya pernikahan dengan wanita non muslim akan berpengaruh terhadap banyaknya wanita muslim yang tidak menikah dengan laki-laki muslim, suarni dapat terpengaruh oleh agama istrinya dan menimbulkan kesulitan hubungan suami dan istri serta pendidikan anak-anaknya

 

3. Pernikahan antara wanita muslim dengan pria non Muslim

 

Seluruh jumhur ulama sepakat bahwa wanita muslim haram dinikahi oleh pria non muslim, baik itu pria penganut agama yang mempunyai kitab suci (Kristen daan Yahudi) maupun pemeluk agama yang mempunyai kitab yang sama dengan kitab suci (Buda dan Hindu) ataupun keyakinan yang tidak punya kitab suci atau yang serupa dengan kitab suci. Hal ini didasarkan pada firmal Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 221 dan Q.S Al-Muthmainah [60]: 10:

 

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka." (Q.S S Al-Muthmainah [60]: 10)

 

Merujuk pada ayat Al-Qur'an tersebut, maka para ulama telah sepakat bahwa haram hukumnya perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Namun yang perlu diketahui juga, apa sebenarnya alasan rasional diharamkannya? Hal ini dapat terjawab bahwa antara orang Islam dengan orang kafir terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Orang Islam sepenuhnya meyakini kepada Allah, para nabi, kitab suci, malaikat, dan hari kiamat. Adapun orang musyrik tidak percaya kepada semua itu. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya beralih kepada kepercayaan mereka.

 

Menurut Sayyid Sabiq, hikmah diharamkannya perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim karena seorang suami memiliki hak untuk memimpin istrinya dan istri wajib taat kepada suaminya. Suami yang kafir tidak mengakui agama istrinya yang muslimah, bahkan ia mendustakan kitab suci dan nabi. Bagaimana kehidupan ru-mah tangga akan berlangsung langgeng jika terjadi perbedaan keyakinan yang prinsip antara suami dan istri? Sungguh ini hal yang sangat sulit bahkan mustahil bagi terwujudnya keluarga yang bahagia.

 

Sedangkan menurut pendapatnya Masyfuk Zuhdi, hikmah lain diharamkannya perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, karena dikhawatir- kan wanita muslimah akan kehilangan kebebasan beragama dan menja- lankan ajaran-ajarannya kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula dengan anak-anak yang lahir akan sangat dipengaruhi oleh bapaknya dan mengikuti agama bapaknya karena sang bapak ada- lah kepala keluarga yang sesekali bisa memaksa.[8]

 

  • Pendapat menurut Imam Madzhab

 

1. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Abu Hanifah

 

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang keharaman menikahi wanita musyrik karena mengacu kepada firman Allah S.W.T. dalam Surat Al-Baqarah Ayat 221.[9]

 

2. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Malik

 

Madzhab Maliki tentang perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada diwilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. 

Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anakanaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram; dan 2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarangsecara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan pendekatan sad alzariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan), jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka diharamkan.[10]

 

3. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Syafi'i

 

Pendapatnya Imam Syaf'i didsarkan pada Q.S Al-Muthmainah ayat 10. Beliau = berpendapat bahwa apabila seorang wanita masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah seorang dari kedua orang tuanya masuk Islam, sementara da masih anak-anak dan belum mencapai usia balig. Maka haram atas setiap lelaki musyrik, ahli kitab, atau penyembah berhala untuk menikahinya dalam segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia memahaminya, maka saya melarang wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.

 Namun bila disebutkan kepadanya sifatsifat Islam namun ia tidak memahaminya, maka saya lebih menyukai untuk laki-laki musyrik dilarang untuk menikahinya. Imam Syafii juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanitawanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah S.W.T. menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani. 

Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu. Dihalalkan pula menikahi wanita-wanita dari golongan Syabiun dan Samirah dari kalangan yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka dan memakan hewan sembelihan mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian diharamkan menikahi wanitawanita mereka sebagaimana diharamkannya menikahi wanita-wanita Majusi.[11]

 

4. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Hambali

 

Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafii. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul[12]

 

Kesimpulan

Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pernikahan beda agama karena perbedaan penafsiran pengertian antara ahli kitab dengan musyrikin. Ada yang menyamakan antara ahli kitab dengan musyrik karena substansi perilaku ahli kitab itu sendiri. Dengan demikian, ketentuan hukum pernikahannya ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Pernikahan beda agama itu tidaklah dapat membawa manfaat. Justru bisa jadi sebaliknya akan menjadikan kemudharatan bagi generasi mendatang. Sebab menyatukan dua pemikiran yang seakidah saja belum tentu bisa semudah yang dibayangkan apa lagi jika menyatukan dua pemikiran yang berbeda keyakinannya. 

Hal ini akan berdampak negatif baik bagi keutuhan rumah tangga, keyakinan maupun pendidikan anak. Allah dan Rasul-Nya sangat menekankan untuk berhati-hati dalam hal memilih pasangan hidup, sebab memilih pasangan yang salah dapat mendatangkan bencana bagi keluarga itu sendiri lantaran pasangan hidup yang dipilihnya tidak paham permasalahan agama atau bahkan tidak seakidah yang kemudian akan melahirkan generasi-generasi yang tidak mendapatkan pendidikan Islam dengan baik.

Referensi 

[1] Abdul Haris Naim. Fiqih Munakahat. ( Kudus:Stain Kudus.) hlm. 17

[2] O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996), hlm. 35.

[3] Abdul, Madjid, MA, "Masail/ Fiqhiyah", cet. III, (PT. Garuda Bina Indah, Pesuruan Jatim, 1992), hlm. 4-5.

[4] Zakaria Syafe'i, Kontrovesi Hukum Perkawinan Beda Agama (Al-Qalam),   Vol. 24   No.1 Januari-April 2007), hlm. 123-124.

[5]ibid..., hlm. 125-126.

[6] Saipudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Prenadamedia Group, Jakarta, 2016), hlm. 4-5.

[7] ibid.. , hlm. 9-10.

[8] ibid.., , hlm. 15.

[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu. (Jakarta: Gema Insani. 2011). hlm. 272.

[10] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. (2009). Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. hlm. 37.

[11]Imam Syafi'i. (2010). hlm. 433.

[12] Ibid..., hlm. 325.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun