Mohon tunggu...
Yessi Talibo
Yessi Talibo Mohon Tunggu... Mahasiswa - connoisseur

Perempuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan

10 Mei 2022   16:57 Diperbarui: 11 Mei 2022   00:30 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghabiskan waktu liburan di kampung rupanya bukan ide yang buruk, setelah suntuk akan suasana kota yang padat dan sibuk, serta lelah berkecimpung dengan tugas kuliah yang berjibun akhirnya aku bisa bersantai di rumah masa kecil yang selalu menawarkan kebahagiaan hakiki ini. 

Sudah berapa minggu aku di sini, di tempat yang masih belum tersentuh bangunan pencakar langit yang tanpa manusia sadari akan membahayakan bumi dan diri mereka sendiri. Untung saja di tempatku berpijak sekarang, pepohonan hijau masih terlihat di mana-mana bahkan di rumah ini aku menangkap aneka pohon dan bunga hasil dari tangan nenek. Selain desa yang masih asri, tradisi juga masih diterapkan meskipun sudah tersentuh teknologi.

Aku kembali berkutat dengan bacaan, membaca rangkaian aksara yang melekat dalam selembar kertas. Di sini sunyi, tidak ada suara manusia karena aku pun sedang serius membaca hanya terdengar suara kendaraan berlalu lalang karena rumah yang kutempati sekarang dekat dengan jalan raya. Lalu tanpa kusangka, Tasya orang yang aku tunggu datang menghampiriku. Aku menangkap senyum ganjil darinya barangkali merasa bersalah karena membuatku menunggunya terlalu lama. Tanpa memusingkan hal itu aku langsung mempersilahkan dirinya duduk di sofa, berbasa-basi sebentar lalu mengambilkan buku yang kemarin belum sempat ia tamatkan.

Tasya, sepupuku mengucapkan terima kasih, aku hanya mengangguk seraya menghempaskan tubuhku di sandaran sofa. Kembali hening menguasai tetapi tak bertahan lama karena ia membuka sesi bicara.

"Mana nenek?" tanyanya.

Aku menatapnya lalu berkata, "Kayaknya di belakang."

Mendengar ucapanku ia hanya menganggukkan kepala lantas terpaku lagi pada bacaan.

Aku tahu dari gerak-geriknya, ia berusaha membuat dirinya nyaman dengan mengajakku berbicara. Dia memang sepupu yang sedikit pendiam dan kikuk sekaligus berhati-hati.

"Kenapa nggak datang kemarin? Ramai padahal."

Dia terlihat kikuk, tidak mampu menjawab hanya cengiran yang ia tampilkan, aku menggelengkan kepala.

"Tapi papa kamu memang nggak ada," kataku lagi.

Lalu tahu-tahu nenek masuk ke ruang tengah--- tempat kami dari arah dapur. Membawa nampan yang aku tidak tahu apa itu, tetapi aromanya harum sekali. Buah nangka kah?

"Katanya mau datang tetapi sampai sekarang papa kamu nggak muncul," gerutu nenek.

Aku yang mendengarnya tertawa, sedangkan Tasya sendiri meringis.

"Kata papa di sana ada duka dan lagi Evan ada pertandingan taekwondo makanya nggak datang dari kemarin."

Ia menjelaskan, aku tersenyum simpul ternyata hubungan antara Tasya dan papanya terjalin cukup baik apalagi hubungan Evan, adik tirinya.

"Papamu yang telfon?" aku bertanya basa-basi. Lantas mengalirlah obrolan ringan yang melibatkan kami.

Saat obrolan semakin jauh, kami berdua memutuskan untuk mengunci mulut kami masing-masing dan kembali serius untuk membaca buku.

Namun suara hujan yang jatuh perlahan-lahan mengalihkan segala atensiku pada buku. Suaranya yang khas menggodaku untuk merasakan bagaimana airnya yang dingin menyentuh seluruh kulitku. Aku melirik ke luar dengan penuh minat apalagi suara hujan semakin deras seolah merayuku lebih.

"Tasya, mandi hujan yuk," aku mengajaknya.

Ia terpaku beberapa saat seolah menimbang apakah ingin atau tidak tetapi gelengan kepala darinya membuatku agak kecewa. Setelah sekali lagi menawarkannya untuk bermain hujan dan dapat ditebak bahwa ia tidak ingin. Aku memutuskan untuk mandi hujan sendiri, di bawah pengawasan Tasya, aku melompat keluar merasakan titik-titik hujan yang dingin dan menenangkan. Sertamerta aku terbayang kembali euforia masa kecil yang membahagiakan sekaligus membuat rindu.

Air mancur buatan yang muncul dari genteng kala hujan menerpaku yang berdiri di bawahnya, dinginnya air membuatku bergumam dan menggigil tetapi aku tidak ingin mengakhirinya lebih awal. Aku malahan menangkap raut tidak percaya darinya, barangkali ia memikirkan tingkahku yang tak ubahnya seperti bocah.

"Kak Yessi pernah mandi hujan di kos, nggak?"

Aku langsung menggeleng. "Kamu?"

Gantian Tasya yang menggelengkan kepala. "Nggak pernah sih, lagipula kosan tempat yang agak asing menurutku. Jadi malu kalau hujan-hujanan di sana."

Aku mengangguk mengerti, setelah terdiam beberapa lama, ia pamit masuk ke dalam meninggalkanku aku yang dilingkupi hujan.

                                         ...

Di cuaca seperti ini, tidak afdol rasanya tanpa mie kuah panas ditambah telur yang menyertai. Maka selepas membersihkan diri, aku dan Tasya lekas memasak mie instan.

Aku menatap penuh minat pada mangkuk di depanku. Lantas kembali melirik Tasya yang sedang memakan mie dengan antusias. 

Astaga! Urusan makanan memang selalu menjadi prioritas. Walau makanan kami kelihatan sederhana tetapi faktanya mie instan menjadi makanan penyelamat anak kos di akhir bulan.

Sekali lagi bukan ide yang buruk untuk berlibur di kampung halaman, menemui sanak keluarga, melihat pemandangan alam yang membentang terutama bernostalgia pada kenangan masa kecil yang telah lewat. Bukankah semuanya sepadan? Memang kota menjanjikan kemewahan dan kemudahan tetapi kampung halaman adalah tempat yang tepat untuk pulang.

Saat makan seperti ini, mulut gatal rasanya untuk tak mengurai kembali hasil bacaan. Jadi aku mengajak Tasya untuk berdiskusi tentang novel yang sedang aku baca dan kebetulan sekali ia juga menguasai isi dari novel ini.

Kami berdua terlibat dalam diskusi yang panjang, membicarakan tentang aktivis yang hilang di tahun 1998, membaca novel Laut Bercerita membangkitkan gairahku untuk meraup bacaan yang serupa. Karena novel ini pula aku semakin tertarik untuk terjun dalam dunia sastra. Aku ingin mengenalnya lebih dalam seperti Laut Wibisono yang menggelutinya.

Aku ingin jika suatu saat dapat menuangkan gagasanku pada sebait kalimat yang menjadi acuan bukan hanya menjadi sampah di kepala.

Hujan dan mangkok yang isinya telah tandas menyertaiku dalam semangat yang kian menyala.

Aku ingin seperti Laut Wibisono atau siapa pun yang bukan lagi menganggap sastra adalah salah satu seni tetapi seperti aliran nadi yang menyertai.

Saleo, 6 Mei 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun